Tiga bulan telah berlalu. Ana dan Budi sepakat menutup kafe untuk semenetara waktu untuk waktu istirahat dan evaluasi. Disinilah Ana, di kamar Muti.
"Parah Mut, kayaknya gue emang gak bakat bangun bisnis," cetus Ana sedih. Melihat sahabatnya yang murung, Muti sungguh terenyuh dan kasihan.
"Belum aja kali, Na. Segala hal kan perlu waktu dan proses," Muti mencoba meyakinkan Ana.
"Tiga bulan, Mut! bayangin selama tiga bulan ini sepi pelanggan. Apalagi kukis gue jarang ada yang lirik," Ana lanjut mengeluh.
"Baru juga tiga bulan. Siapa tahu kafe lo baru rame di bulan keenam atau di satu tahun pertama. Who knows?"
"Gini loh, Mut. Bahkan pengunjung aja ada yang sampe gak ngeh kalo itu kafe!"
"Maksudnya?" Muti tak langsung paham apa yang Ana katakan.
Hari itu di salah satu hari kerja. Sore hari di jam pulang kerja kondisi kafe lengang. Baru ada satu orang pelanggan di siang hari. Ana dan Budi hanya memandangi pintu. Berjaga kalau-kalau ada pelanggan yang tiba-tiba datang.
"Kalo mau istirahat dulu, istirahat aja. Kayaknya belum ada tanda bakal ada pelanggan," kata Budi yang sejak tadi telah melihat Ana yang lelah dan bosan.
"Kalo gitu gue ke ruangan staff dulu ya," Ana berlalu menuju tempat yang ia sebutkan. Namun langkahnya tertahan karena Ana mendengar ada yang masuk ke kafe. Adalah seorang pria mengenakan hoodie hitam yang tampak begitu fokus pada ponselnya yang digunakan dengan posisi landscape.
"Kopi good night nya satu, ya!" kata pria itu dan langsung kembali fokus pada ponselnya. Ana dan Budi saling pandang kebingungan. Budi dan Ana Bingung lantaran kopi yang baru disebut pria itu adalah salah satu merek kopi kemasan.
"Maaf Mas, ini menu kopi di kafe kami," kata Budi sambil menyodorkan kertas berlaminasi ke pria yang matanya masih terpaku pada layar ponselnya.
"Lah, ini kafe?" kata pria itu akhirnya mendongak kaget.
"Iya Mas, ini kafe. Di depan kan ada plangnya, 'KAFE'," kata Budi sambil menunjuk ke arah luar kafe.