Pagi itu Hadi sedang menyirami taman dan membersihkan daun-daun kering yang berserakan. Sementara Nina baru saja membuat secangkir kopi hangat tanpa gula untuk suaminya.
"Ayah, ini kopinya mumpung masih hangat," ucap Nina dengan senyum di wajahnya yang sudah banyak keriput menghiasi. Orang yang dipanggil menoleh dan beranjak mematikan keran air dan bergabung dengan istrinya yang sudah duduk di salah satu kursi di teras.
"Hari ini Ibu jadi pergi?" tanya Hadi usai menyeruput kopinya. Orang yang ditanya tidak langsung menjawab.
"Jadi. Akhirnya ibu bisa ketemu sama Ratna. Sahabat ibu sejak SD sampai SMA itu," kata Nina dengan mata berkaca-kaca. Hadi memandangi istrinya dari sebrang meja.
"Syukurlah, ayah ikut senang. Tapi maaf, ayah gak bisa antar," ungkap Hadi dengan sedih.
"Tak apa Ayah. Biar ibu naik taksi aja nanti. Ayah istirahat aja, Ayah kan belum pulih sepenuhnya," timpal Nina sambil mengelus lengan suaminya yang juga sudah mulai renta dan sakit-sakitan karena umur yang sudah tidak muda lagi.
"Assalamualaikum!" sebuah suara berhasil membuat Nina dan Hadi bangkit dari duduk karena terkejut sekaligus bahagia karena itu adalah suara putra mereka yang tidak pulang 3 bulan terakhir.
"Budi!" seru Nina histeris. Budi langsung memeluk ibunya dengan begitu erat sambil menangis. Nina pun menangis. Hadi juga mulai terisak. Budi meregangkan pelukannya lalu beralih memeluk ayahnya.
"Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Kenapa gak ngabarin ibu dulu kalau kamu mau pulang?" tanya Nina.
"Aku sengaja mau kasih kejutan aja buat ibu sama ayah," jawab Budi. Nina tak hentinya memandangi wajah anak semata wayangnya itu.
Penampilan Budi berubah drastis. Rambutnya jadi gondrong, kumis dan janggut dibiarkan tumbuh begitu saja, kulitnya pun lebih gelap dari terakhir mereka bertemu saat Budi izin untuk menyembuhkan lukanya 3 bulan lalu.
"Ayo masuk, Nak. Ibu buatkan tempe mendoan kesukaan mu ya?" kata Nina begitu sumringah. Hadi pun ikut masuk ke rumah dengan hati yang lega.
Sementara itu di tempat lain, Ana sedang memandangi kumpulan hadiah yang akhir-akhir ini ia terima. Hadiah yang berupa makanan sebagian sudah ia konsumsi. Beberapa coklat batangan masih utuh. Beberapa buket berisi bunga pun tampak mengering karena sejak tiba tak pernah Ana perhatikan. Satu hal yang sama dari semua hadiah itu adalah semua dikirim secara anonim, tanpa nama. Entah siapa yang begitu konsisten terus memberinya hadiah seperti ini. Seolah orang itu tahu bahwa Ana sedang tidak baik-baik saja. Terbukti dari kata-kata penyemangat yang dibubuhkan di semua hadiah itu.