Pagi itu satu kiriman paket anonim kembali tiba di rumah Ana. Ayahnya yang menerima. Segera Anto serahkan pada putrinya. Ana sudah mulai bosan dengan hadiah-hadiah ini. Terlebih ia tak tahu siapa pengirimnya sebab seluruh tulisan yang ada di paket itu hanya deretan huruf 'X'. Ingin rasanya ia memecahkan teka-teki siapa di balik semua ini. Tapi, apa daya, tidak ada klu yang bisa membuat Ana memikirkan seseorang, kecuali Budi. Karena hanya Budi yang paling peduli padanya selama ini dan di kepala Ana masih sangat dipenuhi oleh Budi. Tapi, jika benar yang melakukannya adalah Budi, mengapa Budi tak kunjung menghubunginya hingga 4 bulan usai peristiwa itu berlalu.
Sekali lagi, Ana mengamati dan menatap lamat-lamat semua hadiah yang ia terima. Setiap inchi bagian hadiah semua diperiksa. Siapa tahu ada pertanda yang mengarah pada sang pengirim. Nihil. Ana tak menemukan apapun kecuali huruf 'X' sejauh mata memandangi tumpakan bungkus hadiah-hadiah itu.
"Ana, sini, Papah buatkan sarapan buat kamu," Anto meminta Ana menghampiri dirinya yang sibuk di dapur. Gadis itu mendatangi dapur. Benar saja. Sudah ada mash potato, sosis cocktail rebus, dan telur mata sapi. Tak ketinggalan segelas susu coklat hangat dan beberapa jenis buah yang sudah dipotong tersaji di sana.
"Wahh kelihatannya enak banget, nih! aku makan ya, Pah!" kata Ana dengan semangat. Detik berikutnya mulut Ana sudah penuh dengan makanan.
"Enak banget banget! satu lagi deh, bangettttt!" ujar Ana yang siap menyendok mash potato dari piring. Anto hanya tersenyum. Lantas pria paruh baya itu memutuskan untuk ikut duduk berhadapan dengan Ana, menyantap sarapan.
"Kamu masih belum baikan sama Muti?" tanya Anto memecah keheningan sesaat tadi.
"Papah tahu kami lagi berantem?" tanya Ana.
"Mana mungkin gak tahu kalau suara debat kalian kemarin aja kedengeran sampai blok sebelah?" kata Anto membuat Ana tersipu malu.
"Itu hal wajar dalam pertemanan. Papah yakin kalian bakal baik-baik aja kedepannya," lanjut Anto menenangkan.