Setelah mengumpulkan niat dan bergumul untuk melawan gengsi dan menurunkan ego, akhirnya Ana memberanikan diri untuk menghubungi Budi terlebih dahulu. Di luar dugaan, Budi membalasnya dengan cepat. Segera Ana mengutarakan bahwa ia ingin bertemu secepatnya. Budi mengiyakan untuk bertemu, tapi tak bisa secepatnya. Di pekan depan Budi baru bisa bertemu dengan Ana. Tempat pun Ana yang menentukan. Sebuah kafe dengan pemandangan city light yang bisa dinikmati di rooftopnya menjadi pilihan Ana.
Hari yang dinanti pun tiba. Ana mengikuti apa kata Muti, memakai cincin 'pemberian' Budi. Ana yang tiba duluan. Setengah jam kemudian Budi baru datang. Enam bulan berlalu sejak mereka terakhir bertemu, menjadikan suasana mendadak canggung. Budi tampil begitu rapih. Jauh lebih rapih dari biasanya. Pria itu mengenakan celana bahan dan baju polo dengan rambut yang distyling sedemikian rupa sehingga tampak begitu rapih dan membuat Budi tambah tampan tentu saja. Sementara Ana tak banyak berubah. Ia tetaplah gadis yang sama yang sering mengenakan celana jeans dan blouse sebagai atasan. Rambut digerai begitu saja dengan riasan sederhana.
"Sorry ya, kalo lama nunggu," kata Budi.
"Iya, gak apa-apa," timpal Ana.
"Apa kabar?" tanya Ana memulai obrolan.
"As you can see, i'm fine. At least, better then yesterday," jawab Budi yang tumben sekali menggunakan bahasa inggris. Ana semakin canggung untuk meneruskan obrolan. Karena Budi tidak berniat menanyakan hal yang sama pada Ana. Lelaki itu hanya diam begitu selesai menjawab pertanyaan Ana.