Setiba di rumah Tantra, Jenika disambut bahagia Ibu Hesti. Ibunya Tantra yang senang banget sama Jenika bahkan Ibu Hesti anggap dirinya sebagai anak. "Jenika, anak Ibu yang gelis,” sapanya. Jenika membalas dengan senyuman sekaligus menjelaskan tujuannya malam ini. Ibu Hesti tidak heran karena bukan pertama kalinya Jenika menginap begitu pun bapak dan adiknya yang masih SMP, Septiana. Ini sudah keempat kalinya dia menginap dengan alasan yang sama yaitu parno habis nonton film horor.
Ibu Hesti bergegas menyuruh Jenika makan malam bersama. Jenika tak butuh malu-malu untuk menjawab. Ia sigap menganggukkan kepala dan langsung cari posisi tempat duduk di samping Tantra yang sedang menyiapkan piring. Tak lama Septiana dan Bapak pulang dari Mal membeli keperluan furnitur seperti rak buku dan meja belajar untuk Septiana belajar.
"Halo, halo. Halo Mama, Tantra. Eh, ada Jenika. Nginap lagi yah,” sapa Bapak.
“Halo Kak. Nginap pasti takut sendirian ‘kan hehehehe,” tambah Septiana. Jenika menyengir malu, tak mampu menanggapi jawaban Septiana dan ayahnya Tantra.
Selesai makan, Jenika mengangkat piring kotor lalu memindahkannya ke wastafel dapur. Ia membantu Ibu Hesti mencuci piring dan perabotan kotor lainnya. Anggap saja sebagai balasan terima kasih meskipun Ibu Hesti menolaknya karena tidak enak.
Ibu Hesti bertanya soal perkembangan nilai Tantra di sekolah pada Jenika yang seketika tangannya berhenti bergerak menggosok piring yang dipenuhi busa sabun. Ia mau jujur cuma tidak enak, bohong pun juga tidak mungkin. “Gimana Jenika? Kok diam. Jujur sama Ibu. Ibu gak marah kok,” kata dia menatap serius mata Jenika.