Semua sudah kumpul di rumah Jenika melanjutkan mengerjakan soal-soal latihan try out dan ujian tengah semester yang tinggal hitungan minggu. Shena mengajari Stevan dan Jimmy yang selalu kesulitan menghadapi soal-soal bahasa inggris, Jenika membantu Desvita dan Jihan yang ingin diajari rumus geometri sedangkan Tantra sedang fokus membaca materi bahasa indonesia.
Saking fokusnya, Jimmy tiga kali menegur Tantra sampai mengelus dada kaget. “Apaan sih?” tegur Tantra.
“Fokus amat. Break dulu. Jenika lagi ke dapur nyiapin makanan. Udah pinter juga.” Jimmy membalas. Tantra menutup buku pelajaran, menimbrung mereka yang sedang bergosip.
“Lelah juga,” keluh Desvita.
“Payah lu. Baru dua jam udah give up,” balas Jihan
“Ye. Otak gue masih lemot. Gak kayak Shena dan Jenika yang gacor sampai-sampai jadi anak emas,” cetus Desvita.
Shena membanting buku tulis ke atas meja belajarnya cukup keras. Suaranya mendiamkan mereka termasuk Tantra yang menatap wajah Shena sedikit serius. Shena kemudian menarik nafas sebelum berbicara dengan nada santai. “Anak emas? Itu julukan sesat. Memaksa untuk pintar. Merasa dibanding-bandingkan bahkan dipisahkan. Jujur, gue paling benci jika ada yang anggap gue anak emas. Gue mau hidup normal, gue mau nimbrung juga sama anak-anak yang kurang nilainya bahkan jeblok. Plis yah, Gue mau disamakan,” ujar Shena.
“Gue juga. Gue gak bangga sama julukan itu. Julukan itu membuat gue jauh dan angkuh. Gue mau disamakan,” sambung Jenika tiba-tiba datang sembari membawa makanan di atas nampan yang ia genggam.