Shena menaruh kasar kotak makanan pemberian Jenika di meja makan Tantra. Bocah tampan itu reflek gelagapan. “Shena, kaget tahu. Untung aku cuma sendirian. “
“Emang kalo sama Debo kenapa? “ cetus Shena.
“Debo latahan tahu.” Terang Tantra keceplosan.
“Nah, itu alasan aku gak mau kamu suruh dia deketin aku,” cecar Shena.
“Kenapa? “
“Karena aku bakal disuruh makan ayam terus sama dia kalo ngedate.”
“Ayam, ayam, ayam.” Tantra mempraktikkan.
“Tuh kan nular. Aku gak mau yah nular.”
“Terus kamu maunya apa Shena? “
“Aku mau malam ini kita ke toko buku. Lagi itu kan gak jadi.”
Tantra menghela nafas.
“Oke, ayam. Nanti malem yah.” Tantra berusaha ramah walau meledek awalnya.
Raut kesal Shena berubah drastis jadi full senyum. “Gitu dong. Makasih ayam.”
Tantra membuka pemberian Jenika. Ia cicipi makanan kesukaannya yang ternyata enak juga mengingatkan ia saat dulu masih pacaran sama Jenika. Lebih tepatnya saat benerin keran kamar mandi rumahnya. Karena di situlah Jenika mengecup pipi manisnya penuh penghayatan.
“Enak? “ tegur Shena masih berdiri di samping Tantra.
“Ya.”
“Padahal mantan yang buat loh.”
“Emang kenapa. Lagian yang dititipin juga mantan kan.”
Shena skak mat. Tulang keringnya tegang. Mulutnya tersedak kata-kata yang tidak sanggup ia balas. Layaknya baris-berbaris ia memilih balik kanan melayani pembeli yang kebetulan tiba.
Kampus Jenika kedatangan penulis terkenal. Di acara seminar yang berjudul Sastra dan Anak Muda, Jenika begitu antusias. Ada hal yang menarik dimana sang penulis membuka pertanyaan mengenai masalah percintaan. Jenika acungkan tangan. Dengan lantang ia mengeluarkan unek-uneknya soal Tantra dan dia.
“Kak, apa bunga yang hampir layu bisa diselamatkan? Bisakah dia mekar lagi meskipun sang pemilik pernah menghancurkan baik tanpa di sengaja maupun tidak? “
Sang penulis berpikir sejenak. Menafsirkan maksud dibalik kalimat kiasan itu.