“ Bu. Tantra siuman.”
Teriak Septiana larut pagi, membangunkan Ibu Hesti, Jenika dan Shena yang sejak semalam menginap.
Benar, mata Tantra terbuka, suaranya perlahan memanggil nama kedua orang tuanya. “ Pak, Bu.”
“Tantra. Alhamdulillah. Kamu sudah siuman. Tak lama Septiana datang membawa dokter yang menangani Tantra. “Permisi, bisa saya periksa dulu.” Perintah dokter menyuruh mereka mundur. Tangan sang dokter yang sibuk menjadi pusat perhatian Ibu Hesti dan yang lainnya.
“Bu. Tuhan memang maha baik. Dia masih memberi kesempatan untuk Tantra sembuh. Perkiraan masih butuh beberapa minggu lagi untuk Tantra pulih tapi ini terlalu cepat. Tindakan selanjutnya akan saya beritahu lagi nanti,” ucap dokter sedikit semangat.
“Terima kasih Tuhan. Terima kasih dok.” Ibu Hesti terharu. Septiana memeluk rindu sang kakak yang masih amat lemas sambil menangis. “Kak, sembuh yah Kak. Aku kangen kita makan bubur komplek lagi.
Jenika cekikikan. “Iya Ta. Sampai berantem gak jelas.”
“Hahahaha. Iya.” Septiana tertawa.
Tantra menoleh ke arah Jenika dan Shena yang berdiri bersebelahan. Menyapanya sesenang mungkin meski hanya bersuara kecil. “Halo Jenika, Shena. Apa kabar kalian.”
Mereka berdua tersenyum senang. Tak ada lagi rasa kekhawatiran di mata mereka seperti kemarin-kemarin. “Baik Ta,” sahut Shena.
“Iya, aku juga baik,” sambung Jenika.
“Maafin aku yah udah bikin kalian menangis. Aku gak ada niatan menciptakan permusuhan tapi bagaimanapun aku harus jujur sama kalian, menegur kalian supaya tidak berjalan terlalu jauh. Aku gak mau kalian tersesat dalam ekspektasi yang sia-sia,” ujar Tantra masih bisa ceramah dalam keadaan otak kirinya cedera. Hebat ini bocah.
Shena dan Tantra menyimak. Ia seperti di tegur layaknya kakak kandung. “Iya Ta. Aku minta maaf. Aku bakal buang perasaan ini perlahan. Maafin aku udah buat kamu luka.” Jenika memelas.
“Ta, aku juga. Aku pernah nyakitin kamu, nuduh kamu brengsek dan menganggap kamu rendah. Maaf yah. Aku juga bakal buang perasaan suka ku,” sambung Shena.
“Aku kecelakaan bukan karena kalian yang menyakiti aku tapi aku yang menyakiti kalian terus. Aku terus diam membiarkan kalian terus menyukaiku padahal aku gak bisa balas perasaan kalian. Mungkin ini karma.”
Septiana merelai momen canggung dengan candaan yang ternyata berhasil mengubah sedih jadi tawa. “Apaan sih kalian. Kenapa jadi melo begini. Aku yakin kalian udah pada dewasa. Pasti saling memaafkan kan. Bener kan? Gak ada berantem-berantem lagi, ngambek-ngambekan lagi. Aku pengen lihat kalian akur. Please.”
“ IYA SEPTIANA,” cetus kompak Jenika, Shena, Tantra dan Ibu Hesti lalu timbul tawa yang lama hentinya. Ibu Hesti memeluk Septiana yang gampang khawatir. “ Mereka udah damai kok Septiana.”