Hari Kemarin

M Ilhamsyah
Chapter #1

AKHIR ZAMAN

Beberapa jam sebelum peristiwa itu, aku masih meyakini bahwa rumah adalah analogi yang sempurna untuk rasa nyaman. Tak peduli apakah Ayah sudah pulang atau masih menangani klien-kliennya di pusat kebugaran, aku tak pernah menolak jika harus pulang ke rumah lebih cepat dari seharusnya. Jika aku belum mendapati sosok Ayah di rumah, biasanya aku langsung menuju dapur. Secara berturut-turut mengecek meja makan, kabinet di atas kompor, lalu kulkas. Mencari makanan yang hampir tak pernah kutemukan di meja kalau aku pulang lebih awal dibanding Ayah. Kalau sudah begitu, maka aku akan menyambar sebungkus mie instan di kabinet lalu merebusnya dengan sayuran kering yang kuambil dari kulkas, melenggang santai menuju kamar, lantas melanjutkan buku yang belum selesai kubaca sembari menunggu Ayah datang dengan makanan yang lebih layak santap. Jika kalian bertanya-tanya apakah aku anak piatu karena dari tadi hanya menyebut kata ‘Ayah’ tanpa sekalipun menggulirkan nama ‘Ibu’ sebagai bagian dari hari-hariku, jawabannya adalah, orang tuaku masih lengkap kok.

Aku tak ingat sejak kapan tepatnya hubunganku dan Ibu mulai hambar karena sejauh memoriku mampu menjangkau ingatan pertama, aku sudah tak terlalu akrab dengan Ibu. Ibu jarang ada di rumah. Profesinya sebagai penyuluh kesehatan membuatnya lebih sering melintasi tapal batas antar desa di pelosok sana ketimbang melintasi ambang pintu rumahnya sendiri. Dan seperti kutipan yang entah pernah kubaca di buku apa, ‘seringkali, jarak tak hanya memisahkan ruang tetapi juga hati’, aku menyaksikan sendiri bagaimana hubungan Ayah dan Ibu kian hari kian merenggang.

Ayah dan Ibuku memang tak pernah bertengkar. Mereka tak pernah berteriak, memaki, mengadu argumen masing-masing dengan emosi membara, tak pernah. Namun, interaksi yang terjadi di antara mereka tak sedikit pun memancarkan rasa cinta. Di pagi hari, sebelum mereka berpisah untuk pergi ke tempat kerja masing-masing, kecupan Ibu di punggung tangan kanan Ayah dan kecupan Ayah di dahi Ibu tampak bagai formalitas belaka. Tanpa makna. Saat suatu waktu kami sama-sama berada di rumah, Ibu dan Ayah juga hampir tak pernah mengobrol. Ibu akan menyiapkan makanan buat kami lalu pergi ke kamarnya untuk beristirahat, sementara Ayah akan menemaniku menonton film, bermain musik, berolahraga, atau duduk saja tak jauh dariku, tenggelam dalam bacaan kami masing-masing.

Dari dulu aku menyadari, bahwa hubungan suami istri seperti itu tidak sehat, tetapi aku tidak pernah mengeluh karena Ayah bisa memberikan dua kali lipat kasih sayang dan rasa nyaman yang tak kuterima secara gamblang dari Ibu. Hanya saja, kini aku tahu satu hal. Selama ini aku mengabaikan bom waktu yang tengah mempersiapkan diri untuk meledak. Memporakporandakan keluargaku ke satu bentuk yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya.

 Semuanya bermula pada hari itu. Pada sebuah Selasa yang cerah ketika aku diperbolehkan pulang lebih awal. Alasan aku pulang cepat memang unik karena kurasa hanya satu dari satu milyar manusia di dunia ini yang kejatuhan papan tulis saat sedang mengerjakan soal, dan salah satunya adalah aku. Pergelangan tanganku terkilir karena refleks menangkap papan tulis yang lepas dari pakunya sementara bobot papan tulis itu sendiri normalnya bisa diangkat oleh sekurang-kurangnya tiga orang dewasa. Sebagai kompensasi atas aksi heroik tersebut (padahal kalaupun papan tulis itu kubiarkan jatuh, ia hanya akan menimpa lantai di bawahnya), aku dipersilakan pulang untuk istirahat di rumah. Tentunya setelah tanganku tadi diurut oleh tukang urut dekat sekolah. Sepanjang perjalanan pulang, aku tak henti sumringah karena membayangkan malas-malasan di kasur yang enak sembari ngemil dan membaca buku (apakah membaca buku termasuk kegiatan bermalas-malasan?), sementara teman-temanku di sekolah sIbuk berkutat dengan rumus-rumus tenses yang rumit. Sayangnya, skenario Tuhan tidak sejalan dengan rencana yang telah kususun. Alih-alih mengistirahatkan pikiran, aku malah disambangi satu masalah baru yang luar biasa pelik. Aku menjadi saksi atas karamnya rumah tangga orang tuaku.

“Ini saatnya, kan?” tanya Ibu saat itu dengan suara bergetar.

Ayah terlihat menghela napas. Ia menatap Ibu dengan sorot penyesalan sebelum merentangkan kedua tangannya, mengundang Ibu untuk menghambur ke pelukannya. Namun, Ibu yang terluka diserang ragu. Ia bergeming selama beberapa detik sebelum akhirnya menyerahkan diri ke pelukan Ayah tetapi dengan gerakan terseret. Menyadari Ibu yang hanya menempelkan kepalanya di dada Ayah, Ayah pun langsung memagut Ibu dengan erat. Ia kecup rambut Ibu berkali-kali yang dalam situasi normal, hal itu akan membuatku tersenyum sumringah. Sayangnya, kali ini Ayah melakukannya dalam rangka perpisahan.

“Aku tidak bisa terus pura-pura begini,” desah Ayah berat.

Ibu tak menyahut. Antara tak ingin atau memang tak sanggup bersuara tanpa terdengar rapuh. Ibu yang kutahu adalah sosok wanita tegar cenderung kaku, bukan wanita yang menggigit bibir dan mengerjap berkali-kali sebagai bentuk usahanya menahan air mata.

“Aku harus bilang yang sejujurnya ke pengadilan. Nawali tidak bisa ikut kamu,” tukas Ibu setelah hening yang lama.

Ayah tak menanggapi. Ia mengusap-usap rambut Ibu dan mendaratkan satu kecupan lama di keningnya. Ekspresi Ibu berganti-ganti antara tak rela, berusaha kuat, marah, dan kecewa.

“Saya bantu kamu siap-siap.” Ibu melepaskan dirinya dari pelukan Ayah dengan gestur canggung. “Setelah itu, kita akan kasih tahu Nawali kebenarannya. Kalau kamu tidak ingin hidup dalam kepura-puraan, aku juga tidak ingin ada yang ditutup-tutupi.”

Aku tahu Ayah tak setuju dengan perkataan Ibu, tetapi ketika kedua tangannya yang ingin merengkuh tubuh Ibu untuk kedua kalinya ditepis, Ayah tahu keputusan Ibu tak bisa dinegosiasi. Ayah mendengus pasrah.

“Sebaiknya kamu hubungi dia sekarang. Undang dia untuk makan malam di sini malam ini. Kamu dan dia harus bicara terus terang sama Nawali.” Ibu berujar tegas.

Ayah mengangkat pandangan. “Apa ini tidak terlalu cepat, sayang? Dia baru dua belas tahun.”

“Sekarang atau nanti, kurasa sama saja. Lagipula, aku tak ingin Nawali semakin membenciku kalau dia berpikir bahwa aku lah yang egois untuk tidak mempertahankan hubungan ini.”

“Nawali tak pernah membencimu, sayang.”

“Apapun itu, yang jelas dia lebih dekat padamu, kan? Tanpa dia tahu kebenarannya, dia pasti akan berpihak padamu dan menyalahkanku.”

“Sayang, ....”

“Nawali harus tahu yang sebenarnya. Malam ini. Dari mulut kalian sendiri.”

Ibu menutup kalimatnya dengan ultimatum. Ayah tak mengucapkan sepatah kata lagi. Ia hanya mengangguk-angguk bimbang.

Ibu bersedekap. Pandangannya melayang ke luar jendela dengan tatapan terluka yang ia coba untuk sembunyikan. Sementara Ayah, kedua matanya tanpa sengaja menumbuk sosokku yang dari tadi berdiri tak terdeteksi di depan pintu ruang tengah. Aku menyaksikan semuanya. Aku mendengar semua percakapan mereka. Tak ada dugaan-dugaan yang berseliweran di kepalaku karena aku tahu jelas ke mana arah pembicaraan itu. Namun, bukan berarti aku tak perlu penjelasan.

Dan kau tahu apa yang dilakukan Ayah setelah pandangan kami bertabrakan? Ia berjalan ke arahku, lalu melewatiku. Ya. Ayah hanya melewatiku. Tanpa menyapaku. Tanpa tepukan di bahu. Tak ada kerlingan kecil yang mengisyaratkan bahwa keberadaanku diakui di sana. Ayah memperlakukanku bagai makhluk tak kasatmata.

Aku menggigit bibir kuat-kuat. Menahan pedih luar biasa di dalam rongga dadaku.

“Dia tak pernah berubah. Kamu harus tahu itu.” Suara Ibu mampir ke telingaku yang alih-alih membuatku tenang, untaian kalimat itu malah semakin mencabik perasaanku. ‘Dia’. Ibu bilang ‘dia’. Bukan ‘Ayahmu’, bukan ‘Mas’, tetapi ‘dia’. Seolah-olah Ayah adalah orang asing yang namanya tak pernah terekam di memori Ibu.

“Kenapa Ibu nggak mempertahankan Ayah?” Pertanyaan itu tersendat di tenggorokanku.

“Kamu harus tahu, Ibu mencintainya. Tetapi kamu tidak bisa mempertahankan orang yang tidak pernah mencintaimu,” tukas Ibu tiba-tiba seolah-olah bisa membaca pikiranku.

“Mungkin, dia berhak bahagia.” Dan Ibu pun berlalu.

Bu, Ibu tahu, kau begitu naif.

***

Lihat selengkapnya