Hari Kemarin

M Ilhamsyah
Chapter #2

YATIM

Selepas perceraian itu, aku dan Ibu membuat sebuah kesepakatan demi mempercepat sembuhnya luka yang kuderita. Kesepakatan itu sederhana: aku tak boleh menghubungi Ayah. Dan aku jelas tak berpikir dua kali untuk menyetujuinya. Pada awalnya, semua terasa sangat berat. Kebencian pada Ayah tak cukup membantu untuk merangkai kembali perasaanku yang hancur. Dan bahkan, setelah berbulan-bulan mencoba berdamai dengan luka-luka yang belum sembuh itu, aku masih tak mampu memulihkan diri seutuhnya. Segala sesuatunya ternyata tak berjalan semudah itu. Bayang-bayang Ayah selalu ada di setiap hal yang kukerjakan.

Seperti yang kubilang sebelumnya, kerenggangan hubunganku dengan Ibu malah membuatku begitu dekat dengan Ayah. Dia adalah guru pertamaku dalam segala bidang, terutama basket yang kini menjadi duniaku. Bicara soal basket, Ayah memang seorang atlet basket berprestasi semenjak SMP. Prestasi Ayah di bidang olahraga tersebut pula yang membuatnya bisa berkuliah secara cuma-cuma di salah universitas bergengsi di Surabaya. Hanya saja, seusai kuliah, Ayah malah tidak meneruskan karirnya di perbasketan nasional padahal banyak klub yang meminang Ayah untuk bergabung bersama mereka. Alih-alih demikian, Ayah malah memilih menjadi personal trainer di pusat kebugaran. Ayah beralasan, ia ingin mengimbangi pekerjaan Ibu yang sering bertolak ke luar kota. Ayah tidak tega jika aku harus sendirian di rumah. Ayah ingin selalu melihatku ketika ia pulang kerja setiap hari dan jelas itu tidak akan bisa diwujudkannya jika ia menjadi atlet basket nasional. Dan seolah-olah ingin menebus cita-citanya yang tidak kesampaian, Ayah benar-benar melatihku untuk menjadi pemain basket profesional. Sejauh ini, aku sudah berhasil menembus liga basket tingkat provinsi meski tentu saja hal tersebut masih jauh dari harapan kami berdua.

Kedekatanku dengan Ayah membuat proses lupa-melupakan ini berjalan lambat dan penuh rintangan. Aku membenci Ayah. Aku tak bisa menggusur perasaan itu dari hatiku sehingga terkadang aku merindukannya. Dan yang membuat segalanya makin menyesakkan adalah, selama enam bulan pasca perceraian, Ayah tak pernah sekali pun menghubungiku padahal ia tak tahu-menahu mengenai kesepakatanku dan Ibu untuk tidak menjalin kontak sama sekali dengannya. Jadi, terkadang aku bingung dengan apa yang tengah kurasakan. Di satu sisi, aku rindu pada Ayah, tetapi di sisi lain, aku semakin membencinya karena nyatanya ia sama sekali tak merindukanku.

Karena tak menjalin komunikasi ratusan hari, aku benar-benar hilang kontak dengan Ayah. Satu-satunya yang kutahu tentangnya hanyalah bahwa Ayah dan ‘dia’ tinggal di Singapura. ‘Dia’ diterima sebagai pengajar di SHATEC—institusi perhotelan dan kuliner ternama di negara Singa Duyung yang dulu juga tempatnya mengenyam pendidikan.

Dan kau tahu hal gila apa yang tiba-tiba merasukiku? Aku memutuskan untuk menemui Ayah di Singapura dengan berbekal nomor whatsapp ‘dia’. Namun, tentu saja hal ini tak boleh diketahui Ibu dan itu artinya, aku juga tak bisa minta uang pada Ibu untuk berangkat ke sana.

Untungnya, aku punya sumber keuangan lain selain Ibu. Liga demi liga basket yang kumenangkan membuatku memiliki pemasukan yang selalu kutabung di dalam amplop. Aku tahu kalau uang itu jauh dari kata cukup, sehingga aku juga menyisihkan setengah uang saku mingguanku. Pada awalnya, kusangka niatku untuk menjumpai Ayah bakal sirna seiring dengan berjalannya waktu, tetapi ternyata aku justru makin getol menabung rupiah demi rupiah demi bertegur sapa dengannya.

Aku tak berharap bahwa semuanya akan kembali seperti sediakala. Lagipula, itu tak mungkin terjadi. Bagaimanapun juga, bagiku Ayah adalah pelaku kriminal terkeji yang ada di hidupku dan aku tak seharusnya melunak untuk itu. Aku hanya ingin melihatnya. Mungkin bercakap-cakap sebentar lalu pulang ibarat kenalan biasa.

Enam bulan kemudian, aku berhasil mengumpulkan dana sekitar 6 juta rupiah yang kurasa cukup untuk transportasi dan akomodasiku selama tiga hari di Singapura. Untuk anak berusia tiga belas tahun, bepergian sendirian ke luar negeri tentu bukanlah hal mudah tetapi kurasa kenekatanlah yang membuatku tak pernah sedikit pun mengurungkan diri untuk ke sana. Aku mempelajari semua hal terkait perjalananku dari internet.

Pesawat yang kutumpangi mendarat dengan mulus di Changi. Aku membuka ponsel, menekuri daftar hal-hal apa saja yang harus kulakukan sesampainya di negara ini. Pertama, aku harus menemukan stasiun MRT di Terminal 2. Pandanganku langsung menjejalah mencari papan penunjuk arah ke sana. Tak lama, aku sudah menemukannya. Agendaku hari ini hanyalah beristirahat di penginapanku di Little India sebelum besoknya akan mulai menjalankan misi menemui Ayah sebentar.

Aku ingin bilang satu hal bahwa aku tak bisa berbahasa Inggris, satu-satunya hal yang tak kuwarisi dari Ayah yang menguasai tiga bahasa asing. Untungnya, penginapan yang kupilih memiliki pegawai yang bisa berbahasa Melayu jadi aku tak perlu menyontek catatan untuk bilang bahwa aku sudah memesan kamar. Pegawai penginapan bertampang oriental yang bernama Zawwin itu menuntunku menuju kamar atau tepatnya, ranjangku. Aku mencoba berhemat untuk tidak memilih hotel dengan kamar pribadi. Lagipula, kamar tipe bunker seperti ini tidak jadi masalah mengingat tujuanku ke sini cuma untuk bertemu dengan Ayah dan kalau hal itu sudah terlaksana, aku akan langsung pulang ke Indonesia.

Aku membuka ransel yang kubawa. Mengeluarkan makanan instan dan mengambil air panas di pantry penginapan. Setelah makan, aku memutuskan untuk tidur. Aku lupa mandi.

Keesokan harinya, aku bangun pukul sebelas pagi. Aku tak tahu ternyata aku selelah itu. Aku melewatkan sarapan yang disediakan oleh penginapan. Namun, mungkin karena melihat aku yang masih terbilang kanak-kanak, Bang Zawwin menyuruh rekannya untuk menyediakan dua tangkup sandwich dan segelas susu cokelat hangat yang luar biasa enaknya. Pada Bang Zawwin, aku lantas menanyakan Seven Eleven terdekat dari penginapan. Untungnya, gerai minimarket tersebut hanya terletak 3 gedung dari sini jadi aku tak perlu membuang-buang saldo Ez-Link-ku dengan naik angkutan umum.

Tidak semua orang di Singapura bisa diajak berbahasa Melayu seperti Bang Zawwin, jadi aku juga mengantisipasi semuanya dengan menyiapkan daftar percakapan sehari-hari dalam bahasa Inggris. Seperti di Seven Eleven hari itu, pramuniaganya tak bisa berbahasa Melayu sehingga aku harus membuka catatanku dan mengutarakan maksudku dengan bahasa Inggris yang jelek sekali.

“Do you have Singtel sim card fifteen dollars?” Tentu saja kalimat itu tak kususun sendiri. Aku menconteknya dari internet.

Lihat selengkapnya