“Gimana, Bu?” tanyaku sesaat setelah Ibu duduk di sampingku. Ia baru saja keluar dari ruangan kepala sekolah.
“Boleh,” sahut Ibu singkat.
Aku tersenyum senang.
Siang ini, Ibu menyempatkan diri ke sekolahku untuk memintakan izin agar aku diperbolehkan mengambil libur lebih dini. Jika sesuai kalender pendidikan yang dibagikan pada awal semester, libur akhir semester baru akan dimulai dua minggu lagi sementara aku sudah harus berangkat ke Pare tiga hari mendatang. Untungnya, semua ulangan sudah selesai. Hari-hari setelah PAS (Penilaian Akhir Semester) dimanfaatkan untuk remedial bagi siswa-siswa yang nilainya masih belum memenuhi Standar Ketuntasan Minimal dan kali ini semesta juga memihakku karena untuk pertama kalinya dalam sejarah, tak satu pun nilai mata pelajaranku berada di bawah standar. Kurasa, hal itu pula yang menjadi pertimbangan kepala sekolah untuk meloloskan permohonan izinku tadi.
Tulat, aku akan berangkat ke Kampung Inggris yang terletak di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Aku sudah tertarik ke sana sejak mendengar Miss Frika menceritakan pengalamannya belajar bahasa Inggris di tempat tersebut semasa ia kuliah. Terlepas dari alasan bahwa aku tak mau ditinggal sendirian di rumah karena Ibu juga akan pergi ke Jayapura selama satu bulan, aku memang berniat untuk belajar bahasa Inggris lebih intensif selama di sana. Selama ini, nilai bahasa Inggrisku memang selalu ngepas, kadang-kadang malah remedial. Satu-satunya pelajaran di mana aku harus bekerja keras sekuat tenaga hanya untuk meraih nilai 80.
“Tiket pesawatmu Ibu kirim lewat WA saja, ya. Nanti kamu tinggal kasih lihat hapemu ke petugas check-in. Kalau sudah landing di Juanda, kamu langsung telepon nomor travel yang Ibu kasih tadi malam, biar kamu nggak kelamaan nunggu di area kedatangan. Ibu juga sudah sekalian minta sama driver travelnya buat mengurus check-in-mu nanti di tempat kursus.”
“Ibu berangkat besok ya?”
Ibu memandangku dengan sorot matanya yang teduh. Pipinya mengerutkan seulas senyum tipis tapi tulus.
Ia mengusap punggung tanganku.
“Ibu minta jadwalnya dimundurkan supaya Ibu bisa menemanimu sampai detik-detik kamu berangkat nantinya. Paling tidak, Ibu bisa mengantarmu sampai bandara.”
Senyumku tersungging makin lebar. Dua tahun belakangan, hubunganku dengan Ibu memang membaik. Ia jarang menerima kerjaan di luar kota—kecuali jika itu sangat penting—hanya agar aku tak sering sendirian. Ibu juga tak pernah melewatkan sarapan dan makan malam bersamaku, kecuali tentu saja saat ia sedang tidak di Banjarmasin. Perlahan-lahan, aku menemukan keharmonisan hubungan Ibu dan anak yang dulu tak kurasakan.
Ya, lebih dari dua tahun sudah Ibu resmi menjadi orang tua tunggalku dan satu tahun telah berlalu sejak hari itu. Hari di mana Ayah mencampakkanku. Hari di mana Ayah memilih liburan di Bangkok daripada menemuiku yang jauh-jauh datang demi menjumpainya. Hari di mana aku menasbihkan diriku sebagai seorang yatim yang Ayahnya telah tiada.
***
Bandar Udara Syamsuddin Noor Banjarbaru sangat ramai pagi ini. Dari tadi, setidaknya ada lima bus berukuran besar yang menurunkan penumpang. Ditilik dari penampilan mereka yang mengenakan sasirangan seragam dan tanda pengenal yang tergantung di leher, kurasa mereka adalah rombongan umrah. Sesaat setelah rombongan itu turun dari bus, beberapa kelompok orang langsung menyambut mereka. Mungkin anggota keluarga yang tiba duluan di bandara. Aku menyaksikan dengan rawan hati ketika masing-masing dari peserta umrah kali itu dipeluk dan dicium bergantian oleh anggota keluarga mereka, lalu mengambil foto dengan senyum sumringah. Melihat pemandangan hangat tersebut, dadaku malah terasa sesak. Ada rasa iri yang menyelinap. Aku juga ingin keberangkatanku dilepas oleh anggota keluarga lengkap.