Hari Kemarin

M Ilhamsyah
Chapter #4

TROMBOSIT

Aku sampai di Pare saat hari sudah gelap. Meski aku sudah mengikuti pesan Ibu untuk menelepon travel yang menjemputku sesaat setelah landing, tetap saja mobil jemputan tersebut terlambat dua jam. Si sopir beralasan bahwa ia lupa membawa kartu tol yang membuat ia harus putar arah dan mengambil jalan biasa. Sialnya, ada macet panjang yang menyebabkan mobil jemputanku tersebut sampai di Juanda ketika aku sudah selesai menikmati dua buah donat, tiga gelas es kopi, satu kali makan siang, dan berpuluh-puluh halaman Pride and Prejudice. Dan sebagai kompensasi atas keterlambatan tersebut, pihak travel memberikan bonus tur ke Gumul—yang aku tak tahu di mana—yang bisa kuambil kapan saja selama aku di Pare.

Jam digital di atas meja front office Brilliant—lembaga kursus tempatku belajar selama satu bulan ke depan—menunjukkan pukul 07.10 ketika aku tiba di sana. aku hanya duduk saja di kursi panjang yang disediakan sementara sopir travel yang mengonfirmasi pendaftaranku di tempat ini. Lima belas menit kemudian, proses check-in itu selesai. Setelah sopir travel menurunkan semua barang bawaanku dari bagasi kemudian pamit, aku diantar oleh salah seorang tutor—sebutan bagi mereka yang bekerja di lembaga tersebut—menuju sebuah tempat yang dinamai camp yang akan menjadi tempat tinggalku selama satu bulan menuntut ilmu di Brilliant.

Aku melihat jadwal yang dikirim oleh front office Brilliant sesaat lalu. Malam ini, ada opening ceremony yang wajib dihadiri semua peserta kursus baru. Acara tersebut akan dimulai pada pukul delapan malam sementara aku baru sampai ke kamarku di Camp 12—nama asrama yang kudiami—pada pukul setengah delapan. Karena waktunya mepet, aku tak sempat bersih-bersih diri. Aku hanya cuci muka lalu menukar pakaian. Saat meletakkan koperku di bawah lemari gantung, mataku menangkap beberapa buah koper besar yang tersandar di dinding. Aku tahu bahwa satu kamar di camp akan diisi oleh setidaknya 3 sampai 4 orang tetapi tetap saja aku merasa sedikit gugup. Aku belum pernah tidur seatap dengan siapapun selain keluargaku jadi pasti rasanya akan canggung sekali. Aku berdoa semoga teman-teman sekamarku tidak punya sifat-sifat yang tak kusenangi seperti suka berkata kasar, jorok, dan bau ketiak.

Aku melirik arloji yang bergelung di pergelangan tanganku. Tinggal satu menit lagi. Aku segera membawa diri ke Brilliant yang berjarak cukup dekat dari Camp ini.

Sesampainya di hall, aku mendapati ratusan peserta kursus baru yang duduk di halaman rumput sintetis beralaskan terpal, sementara para tutor berada di bagian dalam hall yang letaknya sedikit lebih tinggi dari halaman di depannya. Hall tersebut sebenarnya lebih tepat disebut selasar yang super luas karena hanya ada tiga tembok yang mengelilinginya. Bagian depannya berkonsep terbuka tanpa dinding sama sekali dari ujung ke ujung. Di sana, berdiri seorang laki-laki yang kalau kutaksir dari wajahnya mungkin berusia sekitar 28 atau 29 tahun. Penampilannya sangat kasual. Tubuhnya yang jangkung proporsional dibalut kaos oblong dan celana pendek. Suaranya terdengar sangat bersemangat. Ia bicara tentang sejarah Brilliant, jatuh bangun yang ia rasakan di masa-masa awal merintis lembaga ini, sekelumit kisah pahit kehidupan masa remajanya, lalu memberikan suntikan motivasi dengan kalimat-kalimat inspiratif.

“Kalau mau hidup enak, liburan yang nyaman, jangan ke Pare. Nggak sedikit yang saya temui ada peserta kursus yang berhenti di tengah jalan hanya karena harus berbagi kamar dengan orang lain, nggak tahan gerah karena kipas angin yang tersedia di kamar cuma ada satu, kamar mandi gantian, bangun pagi-pagi sekali, dan keluhan-keluhan anak kota lainnya. Kalian mau kamar ber-AC dan nggak share tempat tidur dengan orang lain, ada kok. Silakan ambil camp VIP. Kalian mau nongkrong atau ngopi-ngopi, Pare punya puluhan kafe asyik yang bisa kalian temui hampir di semua sudut. Ini semua bukan karena fasilitas yang nggak komplit, tapi standar kalian yang ketinggian dan ego kalian yang nggak mau menolerir keberagaman cara hidup. Ingat lho, tujuan kalian ke sini kan untuk belajar, bonusnya adalah punya banyak teman dari se-penjuru Indonesia, baik dari kota besar, kota kecil, desa terpencil, desa terisolir, bahkan desa terdepan dekat perbatasan negara, dengan cara hidup dan budayanya masing-masing dan satu-satunya cara agar bisa menjembatani itu semua adalah dengan hidup sederhana. Nanti setelah tiga hari sampai seminggu di sini, kalian pasti akan sadar bahwa banyak orang-orang di Kampung Inggris ini yang bicara pakai ‘gue, elo’ seolah-olah ini Jakarta, tapi kalian tetap harus sadar, bahwa this is a village, not a city.”

Penutup sambutan dari lelaki tersebut—yang ternyata bernama Mr. Bilal, CEO tempat kursus ini—mendapat tepukan tangan meriah. Selanjutnya, ia meminta kami untuk berkenalan dengan orang yang duduk di samping kiri, kanan, depan, dan belakang kami sembari memijit bahu mereka, yang harus kami lakukan dalam waktu sepuluh menit. Tadinya kupikir itu merupakan tugas yang mudah, namun ternyata dugaanku salah. Tugas tersebut lebih bertujuan untuk melatih konsentrasi kami ketimbang menghapal. Suara bising dari ratusan peserta kursus yang saling memperkenalkan diri serta kerja otak yang terbagi antara memfokuskan telinga untuk mendengar dan menggerakkan tangan adalah rintangan nyata dalam menjalani tugas tersebut.

Ketika waktu yang diberikan telah selesai, maka kami akan dipanggil secara acak untuk naik ke atas panggung, memperkenalkan diri, dan juga memperkenalkan orang-orang yang telah kami pijat tadi mulai dari nama, asal, dan kesibukan mereka saat ini. Jika kami tidak bisa melakukan tugas tersebut dengan lancar atau ada satu dua bagian yang kelupaan, maka Mr. Bilal sudah menyiapkan punishment untuk kami. Anehnya, jika kami mampu melaksanakan punishment tersebut dengan baik, Mr. Bilal malah akan memberikan kami hadiah berupa kursus gratis di Brilliant selama satu bulan yang bisa kami klaim kapan saja. Seumur-umur, baru sekali ini aku menemukan konsep hukuman seperti itu.

Sepuluh menit berlalu dan Mr. Bilal mulai menunjuk para peserta kursus secara acak untuk naik ke atas panggung. Beberapa mampu memperkenalkan dirinya dan empat orang di sekitarnya dengan lancar, beberapa yang lainnya harus rela mendapat punishment. Dari tujuh orang yang melaksanakan hukuman, tiga di antaranya memperoleh bonus kursus dari Mr. Bilal.

Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku optimis bahwa acara akan berakhir sebentar lagi. Aku baru saja ingin menghembuskan napas lega ketika Mr. Bilal berkata, “Peserta selanjutnya, silakan yang pakai jaket putih, di samping cowok yang pakai kaos hijau berkacamata. Iya, kamu.”

Ya, orang yang ditunjuk Mr. Bilal adalah aku. Aku memutar mata, menelan ludah, dan mulai terserang panik. Ketika Mr. Bilal meminta sekali lagi agar aku segera naik ke hall, akhirnya aku maju dengan perasaan gentar.

“Oke. Nama? Asal? Kesibukan?” tanya Mr. Bilal sembari menyerahkan microphone padaku.

“Nawali dari Banjarmasin. Saya pelajar kelas 3 SMP.” sahutku gugup.

“Ampar-Ampar Pisang berarti ya,” kelakar Mr. Bilal diiringi tawa oleh peserta kursus lainnya. Aku tak tahu bagian apa yang lucu dari kalimat tersebut, tetapi aku ikut terkekeh canggung menghargai.

“Tahu tugasmu, kan?” tanya Mr. Bilal lagi.

Aku menggumam. “Belajar.”

Lagi-lagi peserta kursus, Mr. Bilal, dan beberapa tutor yang juga menghadiri acara tersebut tertawa. Kali ini aku tersenyum grogi. Kurasa aku salah memahami pertanyaannya.

“Saya cuma ingat dua orang, Mister,” koreksiku cepat setelah menyadari kekeliruanku akan pertanyaan Mr. Bilal barusan. “Naufal dari Balikpapan yang pake jaket dan kaos hitam dan yang pake kacamata itu namanya Alif asal Kotabaru. Kedua-duanya pelajar SMA kelas sebelas.”

Mr. Bilal menepuk bahuku dan menaikkan kening.

“Nah, sudah tahu konsekuensinya kan kalau nggak berhasil menyebutkan nama, asal, dan kesibukan semua orang yang kamu pijat?”

“Iya, Mister,” dengusku pasrah.

“So, what do you choose? Dancing or singing?”

Aku terdiam. Bukannya aku tak mau bersikap kooperatif, tapi aku tak mengerti apa yang Mr. Bilal ucapkan.

“Mau nyanyi atau joget?” tanya Mr. Bilal lagi kali ini dengan bahasa Indonesia yang jelas kupahami.

Tentu saja aku memilih hukuman yang kemungkinan malunya lebih kecil. Lagipula, suaraku tidak jelek-jelek amat untuk dipamerkan ke khalayak umum.

“Nyanyi, Mister.”

“Lagu barat ya.”

Lagu barat? Untuk orang yang tidak memahami kalimat bahasa Inggris bahkan dalam susunan dan kosakata paling sederhana pun, lagu barat tentulah bukan termasuk dalam daftar putar di aplikasi musikku. Tetapi setelah kuingat-ingat lagi, rasanya ada satu lagu berbahasa Inggris yang mengendap di sudut memoriku.

“Boleh pinjam gitar, Mister?” tanyaku. Aku tak tahu dari mana aku mendapat kepercayaan diri sebesar itu.

Salah satu tutor yang duduk dekat seperangkat alat musik mengangsurkan sebuah gitar padaku. Aku mengecek nada. Sejurus kemudian, untai demi untai bait mengalun dari bibirku.

Oh, thinking about all our younger years

There was only you and me

Lihat selengkapnya