Telingaku menangkap suara berisik yang luar biasa menjengkelkan subuh ini. Secara otomatis, aku menutup akses indra pendengaranku dengan bantal.
“Rise and shine, kiddos! Come on!” Tubuhku diguncang-guncang. Dengan malas-malasan, aku membuka mata. Kulihat Mr. Mahesa dengan susah payah mendudukkan Iqbal yang tak memberikan respon sedikit pun ketika dibangunkan.
“Ayo ambil wudu. Salat subuh,” kata Mr. Mahesa. Ia membuka pintu kamar dan mendahului kami menuju kamar mandi.
Aku menggeliat melenturkan sendi-sendiku. Iqbal menyandarkan punggungnya ke dinding kamar sembari mengucek-ucek mata mengumpulkan kesadaran. Sementara Narendra, yang tadinya berdiri dengan semangat lalu melakukan pemanasan ringan, malah kembali bergelung menyembunyikan diri di balik sarung kotak-kotaknya. Aku dan Iqbal memutuskan untuk menyusul Mr. Mahesa berwudu.
Di koridor lantai dua yang luas, kulihat Mr. Fandi—camp tutor kami—tengah mondar-mandir membangunkan para penghuni kamar dengan sebuah mainan anak-anak. Aku tak tahu nama mainan itu apa yang jelas dia akan mengeluarkan suara yang keras dan agak mengganggu ketika gagangnya diputar-putar, yang membuat dua bandul yang terikat di gagang tersebut berayun dan memukul gendang kecil di ujung gagang secara simultan.
“It’s time to have subuh prayer, guys!” pekik Mr. Fandi sembari melakukan multitasking di mana tangan kanannya mengoperasikan alat-pemusnah-mimpi tadi sementara tangan kirinya mengetuk pintu-pintu kamar di lantai dua.
Ketika kami berpapasan dengan Mr. Fandi, Iqbal langsung menyapanya.
“Morning, Mr. Fandi. You’re doing fine this morning, Mister?”
“I am doing so well. How about you two?”
“We’ve never been better. Busy morning, isn’t it, Mister?”
“As usual. Come on! You guys should prepare to pray.”
“Yes, Mister.”
Aku merasa sedikit minder menyaksikan Iqbal dan Mr. Fandi bercakap-cakap begitu luwesnya dalam bahasa Inggris. Jika diukur dalam skala jenjang, kemampuanku berada di bawah nol sementara Iqbal ada di angka 8 atau 9. Namun, aku kembali mengingatkan diri mengenai tujuanku datang ke tempat ini. Aku tak ingin perjalanan jauh yang kutempuh dan waktu panjang yang kuhabiskan di sini berakhir sia-sia hanya karena aku tak percaya diri dan menyerah bahkan sebelum memulai. Aku memantapkan tekad. Suatu hari nanti, aku akan bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris seperti Iqbal.
“Bal,” panggilku.
“Ya?”
“Tadi bicara apa saja sama Mr. Fandi?” Mumpung mencuri ilmu bukan sebuah tindakan kriminal, aku harus memanfaatkan keadaan dengan menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang kuanggap berkompeten.
“Biasa. Cuma nanyain kabar.” Iqbal menyahut enteng.
“Kok aku nggak dengar ‘how are you’ semacam itu?”
Iqbal mematung sejenak. Sebelah alisnya terangkat sembari memandangku.
“Syukur deh kamu datang ke sini,” lanjutnya kemudian. Sama sekali tak menjawab pertanyaanku.
“Apanya?”
“Pelajaran pertama untuk materi salam dalam bahasa Inggris adalah, hindari ‘how are you’. Itu kaku kayak kayu.”
“Pelajaran kedua?”
“Jangan bolos kelas Speaking. Pelajaran paling berharga akan kamu dapetin di kelas itu.”
***
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!” Mr. Fandi mengucapkan salam sembari membetulkan gelungan sarungnya yang sedikit berantakan.
“Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakaaaaatuuuuuuh!!!” sahut aku dan yang lainnya dengan bersemangat. Aku melirik jam di dinding. Pukul setengah lima subuh. Aku berdecak salut karena kami begitu berenergi bahkan di saat matahari belum sepenuhnya terbit. Mungkin faktor ‘hari pertama’ ikut andil dalam memupuk keantusiasan kami.
“Good morning, everybody!”