Rasanya puas sekali saat merasakan pegal di otot pipiku karena terlalu sering tertawa setelah dua tahun terakhir dirundung murung berkepanjangan. Sama seperti perasaan lega saat landing dengan mulus setelah penerbangan panjang nan mencekam menembus badai. Ini semua karena duo Haqqi-Fikri yang selalu berhasil menghidupkan suasana dengan pertikaian jenaka mereka, ditambah lagi dengan duet Narendra-Ahdi yang bahu-membahu dan saling menimpali jika salah satu di antara mereka sedang melucu.
Sebelum berangkat ke Brilliant tadi, Narendra yang doyan sekali melakukan live streaming tiba-tiba meminta kami semua—kecuali Haqqi yang masih mandi dan Mr. Mahesa yang sedang mencuci sepatu—untuk menjajarkan koper dan entah kenapa kami mau-mau saja mengikuti perintahnya. Ia bilang ia akan melakukan liputan “what’s in your suitcase?” untuk seru-seruan, dan segera saja ia membongkar isi koper kami. Sembari mengacungkan satu persatu barang-barang kami ke kamera yang dipegang oleh Fajar, Narendra juga memberikan sedikit komentar dan Ahdi akan menimpali secara suportif.
“Wih, apa ini, teman-teman? Kulkas berjalan?” komentar Narendra setelah membuka koper kedua Iqbal. Mata kami berbinar takjub ketika mengetahui kalau koper tersebut didedikasikan penuh untuk diisi dengan makanan siap saji dan cemilan yang luar biasa banyak. “Apakah ini sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau planet bumi ditimpa bencana besar dan kita mulai kehilangan sumber daya?”
“Masih banyak nih di bunker kayaknya. Stok buat akhir dunia. Bagaimana kalau kita juluki Iqbal sebagai ‘Pejuang Hari Kiamat’?” Aku meledak dalam tawa.
“Oke, sekarang kita menuju koper Fikri. Nah, apa ini? Tas kecil isinya.... perlengkapan grooming. Hmm... lengkap juga.”
“Tasnya rada familiar ya. Buset! Ini kan wadah cawat!” seru Ahdi. Kami terpingkal-pingkal sakit perut.
“Ya bukanlah! Sembarangan aja!” Fikri menyambar tas kecil tersebut dengan wajah panik. Dengan ekspresi seperti itu, semua orang juga tahu kalau Fikri hanya berkilah.
“Nah, kantung apa nih, guys? Kita liat dalamnya ya. Ada jaket tebal, baju hangat, kaos kaki, eh... perlengkapan ke Bromo nih kayaknya. Niat amat sampai dipisahin kayak gini segala.”
“Aku kan orangnya super rapi dan disiplin,” aku Fikri sambil mengangkat dagu.
Narendra melanjutkan inspeksinya. “Terus ada topi kupluk, masker, sarung tangan—”
“Ini kan sarung tangan buat nguli!” Ahdi sontak menyambar sarung tangan Fikri yang dipegang oleh Narendra. “Mau bangun proyek apa lu di Bromo? Rumah Barbie?”
Celetukan Ahdi kembali membuat kami terpingkal sementara Fikri merengut masam. Pipinya memerah malu.
“Sini. Itu... anu, punya Ayah. Salah bawa kayaknya,” tampik Fikri lagi. Ia lempar sarung tangan tersebut dengan geram. Tak disangka, benda itu ternyata melesat melintasi dinding pembatas antar kamar lalu sepertinya mendarat di kamar sebelah.
“WOI!!! Punya siapa nih?!” Terdengar teriakan Haqqi dari kamar 24. Tak lama setelah itu, sarung tangan Fikri kembali melayang ke kamar 25 tempat kami berada sekarang dan secara kebetulan melakukan pendaratan tepat di atas kepala Fikri. Fikri mendesis kesal.
Ahdi tergelak semakin nyaring. “The builder!” serunya memberi julukan baru buat Fikri.
Fikri kembali melempar sarung tangannya ke kamar 24, kali ini secara sengaja. Haqqi berteriak protes untuk yang kedua kalinya dan melontarkan lagi sarung tangan itu yang kali ini tidak menjadi satu-satunya benda yang ia utus ke kamar kami. Ia juga menghadiahi kami selembar celana dalam jingga mentereng yang secara dramatis jatuh di atas timbunan makanan Iqbal di dalam kopernya yang belum sempat ditutup.
“Haqqi... itu celana dalamku!” pekik Fajar sembari berderap cepat ke kamar 24. Kami tergelak kencang. Lalu, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja kami sudah saling lempar benda antar penghuni kamar. Ahdi dan Fikri bergegas balik ke kamar 24 untuk membela wilayah mereka.
Perang itu adalah perang pertama yang pernah kuikuti selama hidup. Iqbal yang biasanya santai, kali ini ikut terjun menjaga keutuhan wilayah kami. Hampir semua benda yang ada di kamar telah kami utus ke kamar sebelah; pakaian, botol air mineral kosong, bantal, guling, mainan Iqbal, komik Iqbal, cemilan Iqbal, botol Tupperware Iqbal, kaos kaki Iqbal, power bank Iqbal, uang koin kembalian Iqbal, ya kami memang sebegitu ketergantungannya dengan barang-barang Iqbal yang dengan ikhlas ia sumbangkan sebagai senjata pada pertempuran itu. Ketika kami kehabisan amunisi, Fikri bersiap melempar kipas angin duduk, tetapi segera dihalau Narendra. Uang saku kami terancam musnah jika kipas angin tersebut patah dan rusak dan jelas hal itu akan terjadi jika benda itu dilempar ke kamar sebelah lalu mendarat dengan tidak mulus di atas lantai keramik yang keras.
Setelah 15 menit berlalu, kami sempat gencatan senjata ketika Mr. Mahesa kembali dari tempat jemuran dan mengomel panjang melihat kamar kami yang tadi pagi sudah dirapikan olehnya, kini porak-poranda seperti diterjang banjir bandang. Tetapi, jeda pertempuran itu ternyata tidak berlangsung lama. Kami yang sudah tertunduk dalam saat menerima ceramah Mr. Mahesa mendadak melongo takjub tatkala Mr. Mahesa malah ikut melempar bantal—yang dikirim balik oleh Haqqi cs.—melintasi dinding pembatas dan sepertinya mengenai salah seorang penghuni kamar 24. Mr. Mahesa berseru puas saat ia mendengar pekik mengaduh dari kamar sebelah.
“Woi! Ini kalian mau bikin perjanjian Linggarjati atau apa nih pada diem aja?” teriak Mr. Mahesa pada kami yang masih mematung tak percaya kalau Pak Guru satu itu mau ikut menggila bersama kami. “Serang, woi! Serang!!!”
Mata Narendra menyisiri seisi kamar kami. Mencari benda yang masih dijadikan senjata untuk dikirim ke wilayah musuh. Saat pandangannya menumbuk kaus kakiku yang masih tersumpal di dalam mulut sepatu, tangannya secepat kilat menyambar benda tersebut.
“Allahu Akbar! MARI MATI SYAHID BERSAMA! Haram manyarah waja sampai kaputing!!!” seru Narendra memompa semangat kami.
Perang kembali pecah kali ini dengan jumlah personil yang setara tapi dengan tenaga meningkat tiga kali lipat. Musuh kami tunggang-langgang kabur ke Brilliant duluan. Aku, Narendra, dan Iqbal sontak bangkit, berlari mengejar mereka sekaligus melarikan diri dari tanggng jawab membereskan kamar yang porak-poranda.
Mr. Mahesa memanggil-manggil kami. Sepertinya ia tengah menggerutu kesal.
***
Dengan wajah yang tampaknya setengah ikhlas, Haqqi menyodorkan tiga gelas jus buah pada kami sebagai upeti karena mereka kalah perang. Sembari menyesap minuman masing-masing, kami berjalan menuju Brilliant yang pagi itu sangat ramai oleh kerumuman siswa baru yang juga ingin melihat informasi jadwal kursus dan pembagian kelas. Padatnya kerumunan orang di depan papan pengumuman membuat kami urung untuk ikut berjejal-jejal di sana. Alih-alih, kami memilih untuk bersantai di kursi besi yang berderet di sepanjang selasar jalan masuk, tepat di depan front office. Menunggu kerumunan itu bubar atau berkurang.
“Eh, gimana? Udah liat kelas?” seorang cewek yang datang bergerombol bersama teman-temannya menghampiri kami lalu menanyai Narendra.
“Belum. Masih banyak orang,” jawab Narendra santai.
“Berdiri dong! Gantian! Cewek-cewek juga mau duduk.” Cewek lainnya, yang masih merupakan bagian dari gerombolan tadi, meminta kami untuk berbagi tempat duduk. Aku tak pernah memperhatikan penampilan orang sebelumnya, tetapi cewek ini langsung menyita atensiku. Caranya berpakaian sangat trendi jika dibandingkan semua cewek yang pernah kulihat di tempat ini. Ia terlihat seperti cewek-cewek Korea dan Jepang yang terampil memadupadankan berbagai item busana, membalut tubuhnya yang mungil.
“Eh cowok-cowok, pindah tempat aja yuk! Kasian nih cewek-cewek pada pegel berdiri!” Haqqi sontak bangkit dari tempat duduknya dan mempersilakan cewek yang tadi bicara dengan gerakan ala gentleman Eropa abad 19. Alih-alih mengangkat pantat, Fikri, Narendra, dan Ahdi malah menyandarkan punggung ke sandaran kursi, merentangkan tangan, dan menopangkan kaki kanan mereka ke atas paha kiri.
“Mentang-mentang ceweknya yang minta,” seloroh Fikri.
“Ceweknya? Kata siapa? Haqqi kan masih digantung Nadya kayak baju basah.” Ahdi meledek.
Oh, jadi cewek tadi ternyata orang yang ditaksir Haqqi. Aku buru-buru mengusir rasa ketertarikanku pada Nadya. Aku bukan tipe penikung teman.
“Dasar cowok nggak berperasaan!” cibir cewek lainnya sambil mengibaskan tangan. “Nggak butuh cowok-cowok nggak care kayak kalian!”
Cewek-cewek tadi pun memilih duduk di atas lantai keramik yang merupakan bagian dari pelataran front office. Kecuali Nadya yang terlanjur dipersilakan Haqqi untuk menempati kursi yang tadi ia duduki.
“Dek, Dek...” Kudengar sebuah suara dari samping kiriku. Aku spontan menoleh meskipun belum tahu siapa yang orang itu panggil ‘dek’. Di sana, berdiri seorang cewek seusiaku dengan wajah lelah yang tampak berlebihan sehingga membuatku nyaris menyemburkan tawa. “Kamu baru dari mana tadi?”
“Aku?” tanyaku sembari mengarahkan telunjukku ke dada.
“Iya, kamu. Baru sepedaan atau nggak?”
Aku memutar bola mata bingung. Bukan karena pertanyaan tersebut susah dijawab, tetapi aneh saja rasanya jika ada orang asing yang bertanya seperti itu.
“Enggak. Tadi jalan kaki dari camp ke sini.”
“Nah, pas banget!” aku agak kaget ketika cewek itu tiba-tiba memekik. “Kamu nggak habis sepedaan kan?”
“Enggak.”
“Aku habis sepedaan tahu. Jauuuuuuuuuuuuuuh banget. Kayaknya udah keluar kabupaten deh saking jauhnya. Di sekitar kami itu udah nggak pemukiman. He-eh. Suer! Cuma sawah-sawah terus pegunungan tuh kayak deket banget. Terus aku kan mulai teriak-teriak tuh, “ada orang nggak di sini?”, dan tebak apa? Bener. Nggak ada yang nyahut. Horor banget pokoknya. Karena pikiran kami mulai liar, takut ada pemerkosa, mayau[1], hantu Conjuring, alien, intinya semua entitas yang amat dahaga sama cewek-cewek muda kayak kami. Nah, akhirnya kami putar balik terus ngayuh sepeda kuat-kuat. Tahu Formula 1? Nggak sekenceng itu sih, kan mereka pakai mesin, kami pakai tenaga manusia, tapi yang jelas kami mengerahkan segenap daya dan upaya supaya segera menjauh dari daerah antah-berantah itu.”
Aku kehilangan kata-kata. Baru sekali ini aku menghadapi manusia yang bisa bicara panjang lebar tanpa bernapas sama sekali.
“Jadi... boleh nggak kursimu buat aku? Lututku udah nggak sanggup menopang betis.”
Lututku udah nggak sanggup menopang betis. Kalimat itu sontak terpatri di kepalaku. Meski diucapkan dengan ragam bahasa kekinian, tetapi secara semantik, kalimat itu ibarat terbit dari buku prosa lama. Begitu kontras dengan kecerewetan cewek ini yang dengan sangat percaya diri berbicara panjang lebar pada orang yang bahkan belum ia kenal.
“Enam detik lagi kayaknya aku akan pingsan deh kalau tetap dipaksain berdiri,” katanya mendramatisir tetapi dengan air muka yang kelewat serius, membuatku semakin kasihan, tetapi juga ingin tertawa.
Aku beranjak dari tempat dudukku.
“Thank you so much. You are so kind to me.” Dengan sigap, cewek itu langsung menambatkan diri di atas kursi yang barusan kududuki. Aku bahkan belum sempat bilang apa-apa.
Aku mengedik. Tak mau ambil pusing karena urusan dengan cewek itu sudah selesai. Aku sudah akan menghampiri Haqqi yang bersandar di salah satu pilar yang menopang lantai dua ketika cewek tadi kembali bicara padaku.
“Eh, kamu anak baru juga ya?”
“Iya. Tapi belum sempat lihat jadwal,” sahutku ramah. Cewek itu hanya cerewet, tidak menyebalkan, jadi kenapa aku harus bersikap dingin kan?