04.30 – 05.30 = morning expression – Camp
10.30 – 11.45 = Speaking – Mrs. Nadira – Tutor Room
12.00 – 13.15 = Grammar – Mr. Aga – Room 6
14.30 – 15.45 = Vocabulary – Mr. Ato – Room 5
18.00 – 19.00 = Study club – Camp
19.30 – 20.45 = Pronunciation – Mr. Effand – Room 1
Aku memandang jadwal kami yang baru saja dikirimkan Nay ke grup kelas lantas menelan ludah. Rangkaian kegiatan yang akan kujalani selama di Kampung Inggris ini ternyata amat padat karena pagi-pagi sekali, otak kami sudah harus diporsir dengan hapalan yaitu pada kelas Morning Expression atau di kalangan anak-anak camp lebih akrab disebut Study Camp. Untungnya kelas ini dilaksanakan di camp masing-masing sehingga cukup ke luar kamar dengan sarung atau mata masih belekan, kami sudah sampai di kelas tersebut. Ada jeda yang cukup panjang antara kelas Morning Expression dan Speaking, artinya, kami masih bisa melanjutkan tidur kalau memang mengantuk sekali. Namun, antara kelas Speaking, Grammar, dan Vocabulary, jedanya cukup sempit. Masih bisa pulang ke camp sih tapi harus buru-buru. Yang paling tidak menyenangkan dari jadwal kami adalah kelas malam, yaitu kelas Pronunciation. Menurutku, waktu malam adalah waktu sakral untuk mengistirahatkan fisik dan mental yang seharusnya memang tidak diisi dengan kegiatan formal seperti kelas reguler. Tapi, aku bisa apa?
Kelas perdana yang kami ikuti hari ini adalah Speaking, di mana kami kembali diminta untuk memperkenalkan diri. Sebelumnya, aku hanya bisa melakukan perkenalan singkat dengan sebatas menyebutkan nama dan tempat tinggal, namun berkat Study Camp bersama Mr. Fandi tadi subuh, kini aku bisa menambahkan informasi lainnya seperti usia, kesukaan, dan motivasiku belajar di tempat ini. Bisa dibilang, aku memang cukup berpuas hati karena pencapaian ini jauh melampaui apa yang telah kupelajari selama 4 tahun belajar Bahasa Inggris di sekolah. Hanya saja, kalau dibandingkan dengan yang lainnya, jelas aku bukan apa-apa. Kuterka-terka, rombongan yang dibawa Mr. Mahesa adalah siswa-siswa pilihan karena hampir semuanya tidak mengalami kesulitan berarti saat memperkenalkan diri. Nadya—si cewek mungil yang ditaksir Haqqi—adalah siswa paling mencorong di kelas Speaking ini.
Selepas kelas Speaking, kami langsung lanjut ke Room 5 untuk mengikuti kelas Grammar—yang membuat otakku menyusut sebesar protozoa dan pandanganku berkunang-kunang saking ruwetnya. Ini baru pertemuan pertama dan kesanku terhadap pelajaran ini sudah kurang baik. Aku ngeri membayangkan progresku ke depannya.
Sebelum kelas Vocabulary yang dimulai pada pukul setengah tiga, kami menyempatkan diri untuk pulang ke camp terlebih dahulu dan berujung dengan rasa malas untuk kembali ke Brilliant. Untungnya, ketidaksemangatan kami langsung dibayar lunas dengan betapa asyiknya pembawaan Mr. Ato saat menyajikan materi. Aku dan semua anak cowok sontak menasbihkan diri sebagai fans Mr. Ato nomor wahid.
Kelas terakhir yang kami ikuti hari ini adalah kelas Pronunciation. Tutornya muda dan seseru Mr. Ato. Aku bahkan berani bertaruh kalau anak-anak cewek sempat berbisik-bisik kagum sedetik setelah Mr. Effand memasuki ruang kelas. Hanya saja, kelas yang lumayan asyik ini berubah menjadi bencana saat Mr. Effand mengatakan bahwa setiap malam—kecuali malam Minggu dan Senin tentu saja—ia akan menugaskan kami untuk merekam setiap tongue twisters yang dipelajari dan mengirimkannya melalui WA. Apa itu tongue twisters? Menurut kamus kecil Nawali, tongue twisters adalah fenomena alam yang lebih mematikan dibanding hantaman asteroid yang menyebabkan kepunahan massal kelima pada zaman Mesozoikum.
Karena belum terbiasa dengan jadwal padat yang akan kami jalani selama sebulan penuh, kami luar biasa kelelahan hari ini dan memutuskan untuk tidur lebih awal. Di kamar, ketika aku mencoba untuk memejamkan mata, aku mendapati Mr. Mahesa menyeka debu-debu di lantai dengan pakaian kotornya lalu menggelar selimut di atasnya—menjadikannya alas tidur. Kasur kami yang hanya muat untuk 3 orang membuat Mr. Mahesa tidak kebagian tempat. Aku merasa tidak enak hati karena hal itu sebab akulah orang terakhir yang datang ke kamar ini.
“Ayo tidur. Kalau nggak mau keganggu sama ‘sangkakala’-nya Mr. Fandi, kamu harus bangun sebelum jam 4,” kata Mr. Mahesa yang ternyata tahu aku belum terlelap.
Alih-alih merapatkan mata, aku malah bangkit dan menyerahkan selimutku pada Mr. Mahesa untuk menggantikan surban tipis yang ia gunakan untuk menghalau dingin.
“Panas, Mister. Aku nggak biasa tidur pakai selimut.”
Mr. Mahesa memandangku sebentar, menelanjangi kebohonganku, lalu berujar,
“Thanks.”
***
“Baru jam 6. Speaking masih empat setengah jam lagi. Enaknya ngapain ya?” Haqqi melepas handuknya yang sependek rok balerina itu setelah mengenakan celana dalam bermerek Calvin Klein yang kuyakini bukan original.
“Baju dalamku habis. Ke Indomaret yuk!” Ahdi mencetuskan ide.
“Aku ikut. Koper cemilanku mulai ringan,” tambah Iqbal sependapat.