Kami terengah-engah ketika akhirnya tiba di tutor room. Narendra yang paling bernyali di antara kami semua diputuskan secara aklamasi untuk mendahului masuk. Ia menggeser pintu kaca tutor room lalu langsung mengutarakan alasan. Syukurnya, kami semua dipersilakan untuk mengikuti pelajaran meski sudah terlambat lima belas menit.
“Kertasnya sudah dibagi-bagi kan?” tanya Miss Nadira—tutor Speaking kami.
“Iya udah, mam,” sahut Malikha.
“Yang baru datang, tanya temennya ya disuruh ngerjain apa.”
Aku bertanya pada Zahro yang duduk di sebelahku. Ia menjelaskan bahwa kami diminta untuk menulis satu kata atau frasa berbahasa Inggris di atas kertas yang telah dibagikan. Sepuluh menit sebelum kelas Speaking berakhir, dua orang di antara kami akan dipanggil secara acak untuk mengambil salah satu kertas tersebut dan kemudian membuat kalimat singkat dari kata yang kami dapat. Tidak cukup sampai di situ, kami juga harus memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai kalimat yang kami buat, namun untuk bagian ini kami diperbolehkan untuk mengutarakannya dalam bahasa Indonesia. Kegiatan ini akan berlangsung setiap hari sampai semua siswa ‘King Class’ sudah mendapatkan giliran.
Aku menggoyang-goyangkan pulpen di ujung jari, mencari ilham. Di sebelah kiriku, Iqbal tampak menulis dengan lancar. Tak sampai lima detik kemudian, ia sudah berdiri dan mengumpulkan carikan kertasnya ke dalam vas kaca di depan kelas.
“Nulis apa, Bal?” tanyaku pada Iqbal setelah ia kembali duduk.
“Yang gampang aja,” jawabnya enteng.
“Gampang versi dia itu adalah level pro buat kita-kita.” Ahdi yang duduk tepat di samping Iqbal nimbrung. “Emang kamu nulis kata apaan, Bal?”
“Necromancy.”
“Mampus! Bahasa Indonesianya apaan?”
“Nekromansi.”
“Pronunciation-nya sama persis gitu? Artinya emang apa?” tanya Ahdi lagi.
“Kemampuan meramalkan masa depan dengan mengadakan hubungan dengan arwah orang yang telah meninggal.” Dengan santai, Iqbal mengacungkan ponselnya yang kini menampilkan halaman KBBI daring.
“Serem amat, Bal. Jangan mulai kayak tadi malam deh.” Ahdi bergidik. Mendengar perkataan Ahdi, mau tak mau benakku langsung melayang pada kejadian tadi malam yang agak horor tapi sebenarnya lucu. Sepulang dari kelas Pronunciation, entah kenapa camp sangat sepi malam itu. Di lantai dua, seluruh kamar kosong kecuali kamar kami. Menyadari suasana camp yang senyap, Mr. Mahesa tiba-tiba mencetuskan ide untuk bermain ouija. Kami semua mundur teratur, kecuali Iqbal yang langsung bangun dengan semangat, mengais tasnya, lalu mengacungkan sebatang pensil. Ia bilang, lebih baik main Pensil Charlie saja karena untuk main ouija, kami butuh papan ouija yang mana tidak kami miliki saat itu. Hal itu jelas saja anomali karena Iqbal selalu tenggelam dalam komik-komiknya dan nyaris selalu tidak antusias kalau kami sedang melakukan hal-hal yang seru (kecuali perang benda waktu itu). Mungkin, dunia kami dan Iqbal tidak satu frekuensi karena untuk kali itu saja, tak ada satu pun di antara kami yang tahu apa itu permainan Pensil Charlie. Tapi, kami bisa menyimpulkan bahwa permainan tersebut pasti berhubungan dengan hal-hal klenik. Saat kami secara serentak menolak gagasan Iqbal, tiba-tiba terdengar bunyi ribut seperti barang jatuh dari loteng jemuran. Tanpa ada jeda untuk mengira-ngira apa yang tengah terjadi, kami langsung saja menyerbu selimut Narendra yang berukuran cukup besar. Sesaat setelah kami sadar bahwa Iqbal tidak ikut bersembunyi, kami pun memutuskan untuk mengintip dan mendapati Iqbal sedang duduk, tampak tak terpengaruh dengan situasi horor yang terjadi. Alih-alih pucat pasi karena ketakutan, wajah Iqbal malah mencetak seringai ganjil. Tak berselang beberapa detik kemudian, Iqbal menyemburkan tawa seram sembari menyabet-nyabetkan pensil yang dipegangnya ke udara. Hal itu jelas saja membuat ketakutan kami berlipat ganda. Narendra, Fikri, dan Haqqi paling kencang menjerit-jerit. Ketika kami saling berebut selimut, mencari tempat perlindungan paling dalam, Iqbal menarik selimut kami lalu menudingkan pensil tepat di depan wajah Haqqi. Haqqi yang pucat pasi tampaknya sudah tak tahu lagi bagaimana cara menyalurkan ketakutannya karena ia hanya terdiam dengan tampang pasrah dan berleleran air mata. Saat itulah tiba-tiba Iqbal terpingkal-pingkal, kali ini dengan suara normal, menertawakan betapa pengecutnya kami. Haqqi mendadak lunglai tak bertulang. Kami semua menggerutu jengkel dan memilih tidur berjejalan di kamar 24, membiarkan Iqbal tidur di kamar 25 sendirian. Saat itu, untuk pertama kalinya, Iqbal menjadi pemeran utama dalam kisah kami.
Kembali ke kelas Speaking, Ahdi kemudian menengokkan kepalanya untuk bicara padaku dari seberang punggung Iqbal. “Kamu sendiri nulis apaan, Wal?”
“Belum nemu,” kataku. “Kamu?”
“Masih kosong juga nih.” Ahdi mengibaskan kertasnya yang masih bersih dari coretan tinta. “Bal, bantu dong!”
“Boleh.”
“Apa? Buatku apa, buat Nawali apa?”
Tanpa berpikir lama, Iqbal langsung saja berucap,
“Tulis deh. Stereotype sama Impromptu”
“Bahasa Indonesianya?”
“Stereotip sama Impromtu.”
“Kok sama lagi? Artinya apaan?”
“Cari sendiri dong.”