Hari Kemarin

M Ilhamsyah
Chapter #9

TETRIS

Selama 15 tahun hidupku, aku belum pernah menempatkan seorang cewek di bagian paling spesial dalam hati dan benakku, atau dengan kalimat yang lebih sederhana, aku belum pernah pacaran. Aku bukan bagian dari sekelompok golongan yang mempromosikan gaya hidup remaja tanpa pacaran, yang kurasa pemikiran seperti itu cukup terbelakang di era sekarang. Aku juga bukan anak yang didoktrin orang tuanya untuk tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis dulu sebelum mendapatkan KTP. Kesendirianku murni hanya karena aku tidak tertarik dengan cewek-cewek yang selama ini kutemui. Aku tahu, beberapa remaja yang mengalami permasalahan yang sama denganku mungkin akan berpikir untuk segera pergi ke psikiater—beberapa lainnya yang punya nyali dan hidup di tengah lingkungan non konservatif akan membuat rekaman come out dan mengunggahnya di YouTube—, tetapi aku juga sadar bahwa aku tak memiliki kecenderungan homoseksual. Apa yang terjadi padaku jelas hanya masalah waktu. Belum ada seorang pun yang berhasil memindahkan tuas ‘jatuh cinta’ di hatiku ke posisi on. Namun, hari ini, akhirnya aku tahu rasanya naksir seseorang.

Dari tadi siang, tepatnya seusai kelas Speaking, benakku tak pernah berhenti menggaungkan nama Alea. Nama tersebut menggema merdu di dalam kepalaku. Alea membuat senyum-senyum kecil begitu rajinnya singgah di wajahku.

“A big black bug bit a blick black, aargghhh....” teriak Fikri frustasi sambil membanting ponselnya ke atas kasur. Ia sendiri langsung membenamkan muka ke bantal.

“Percobaan kelima puluh enam.” Haqqi mencoret angka 56 di antara deretan angka 1 sampai 100 yang sudah ia tulis sebelumnya di halaman tengah buku tulisnya. “Aku curiga sih kalau tongue twisters kali ini ada setannya. Masa udah dua puluh kali diulang masih nggak bisa hapal-hapal juga?”

“Sumpah! Aku haus banget! Kering! Kemarau! Rasanya udah bergalon-galon liur yang dikorbankan demi big black bug ini.” Narendra tak ketinggalan melontarkan keluhan. “‘Lazy Store’ masih buka nggak sih?”

Fajar melirik jam di pergelangan tangannya.

“Udah mau jam sebelas. Kayaknya udah tutup deh,” sahutnya.

Fikri tiba-tiba bangkit dari posisi menelungkupnya lalu berseru kencang seolah-olah baru mendapatkan pencerahan.

“Ingat taruhan kita tadi siang, nggak? Tentang ‘Lazy Store’. Katanya hukumannya dikasih malam ini kan?”

“Lagi sibuk-sibuknya begini kamu masih mikirin tuh challenge? Lu waras nggak sih, builder?” sembur Ahdi setengah kesal.

“Buat penyegaran, gendut!”

“Kita nggak pulang besok juga, kan, jadi challenge-nya dibahas nanti kalau waktunya udah longgar. Fokus sama tugas kalian dulu. Pokoknya nggak boleh ada yang tidur sebelum tongue twister-nya pada bener.” Mr. Mahesa menengahi. Sejak tadi ia memang mengawasi kami sambil sesekali mengecek download-an serial TV-nya.

“Ngantuk, Mister!” keluh Fikri. “Pesenin kebab dong!”

“Ngantuk apa laper?” sela Ahdi.

“Tapi Fikri ada benernya, lho,” bela Narendra. “Otak kan juga perlu asupan.”

“Asupan otak tuh baca buku, bukannya makan,” ucap Mr. Mahesa.

“Ya nggak gitu juga maksudnya, Mister. Aduh, Mister pasti ngerti lah ya. Berdebat sama Mister malah makin ngebuang-buang energi yang sejatinya bisa dipakai untuk menghapal.”

“Durhaka lu ngomong gitu sama guru,” Mr. Mahesa menggeplak kepala Narendra. Pelan saja karena ia memang tidak bermaksud menyakiti.

“Jadi, Mister Mahesa yang pengertian, sudikah kiranya Mister mesenin kami makanan lewat go-food?”

“Iya, Mister. Kebab sama es cokelat bakal bikin kita tambah semangat ngerjain tugasnya.” Fikri menyunggingkan senyum memaksa secara halus ala sales marketing.

“Udah nggak ada driver jam segini.”

“Dicoba dulu, Mister. Aku traktir apa aja deh yang Mister mau,” kata Narendra lagi.

Mr. Mahesa akhirnya luluh. Ia membuka aplikasi go-food di ponselnya lalu menanyakan pesanan kami masing-masing. Fikri, Ahdi, Haqqi, dan Fajar masing-masing memesan satu buah kebab dan es cokelat. Aku juga memesan kebab, namun untuk minumannya aku memilih dua es milo. Sementara Mr. Mahesa dan Narendra memesan menu yang lebih berat yaitu ayam penyet level 3 dan americano dingin. Iqbal sendiri sudah mendengkur di kamar sebelah karena di saat yang lainnya memporsir lidah gila-gilaan demi tugas tongue twister ini, Iqbal merapalkan kalimat-kalimatnya dengan sempurna di percobaan ketiga.

"We’re lucky tonight. Masih ada driver yang kerja ternyata,” ucap Mr. Mahesa sambil membalas pesan dari driver go-food yang meminta kami untuk menunggu.

“Mungkin istrinya mau melahirkan makanya dia kerja lembur,” komentar Haqqi seolah-olah hal itu penting sekali untuk dibahas.

“Uangnya mana nih? Ayo kumpulin!” tagih Mr. Mahesa.

Kami menyerahkan uang masing-masing yang kami lebihi seribu rupiah untuk biaya pengantaran.

“Ahdi sama Fajar ntar ambil ke bawah ya,” suruh Mr. Mahesa. Ahdi menanggapi dengan gerakan hormat.

“Ya udah. Ayo lanjut kerjain tugasnya.”

Dengan energi yang semakin menurun di setiap percobaan, kami kembali berlatih mengucapkan ‘oleh-oleh’ dari Mr. Effand. Ok, sebenarnya, dari tadi aku hanya berpura-pura berlatih. Aku tak bisa benar-benar berkonsentrasi pada tugas malam ini. Citra Alea tadi siang meragas di benakku. Ia bergerak lambat seolah ingin benar-benar mengisi tiap ceruk dan lipatan-lipatan pikiranku.

“Kamu kok dari tadi komat-kamit doang? Nggak kelihatan ngerekam suara gitu?” tegur Mr. Mahesa yang mungkin baru menyadari bahwa aku tak memegang ponsel sama sekali.

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Mencari alasan.

“Pengen ngelancarin dulu, Mister.” Aku beralasan.

“A big black bug bit a big black bear but the big black bear bit the big black bug back.” Haqqi mengakhiri ucapannya dengan keheningan panjang sebelum akhirnya ia memekik nyaring. “YESSS!!! Berhasil! Berhasil! Berhasil! Hore!!!”

Yang lainnya sontak manyun lalu berseru mencemooh Haqqi yang tak kompak menyudahi bersama-sama.

***

Tak ada yang menyetor tugas Pronunciation lagi malam ini setelah Haqqi. Kami semua kelelahan dan depresi berat karena tingkat kesulitan tongue twister kali ini nampaknya tidak diperuntukkan untuk pemula. Terbukti, yang berhasil menyelesaikan tugas ini cuma Iqbal yang kemampuan bahasa Inggrisnya memang jauh di atas kami dan juga Haqqi yang menurut Fajar, merupakan satu-satunya siswa di sekolahnya yang bisa masuk tiga seleksi olimpiade sains sekaligus (Matematika, IPA, dan IPS). Dengan kata lain, hanya siswa jenius saja yang mampu melibas kalimat pembelit lidah oleh-oleh dari Mr. Effand ini. Jadi, sehabis menandaskan makanan dan minuman yang kami pesan melalui go-food, Narendra dan yang lainnya langsung tertidur pulas, tak terkecuali Mr. Mahesa. Hanya aku sendiri yang masih nyalang terjaga. Baru beberapa menit yang lalu aku berhasil mengusir bayangan Alea di pikiranku dan kemudian berkonsentrasi dengan hapalan tongue twister yang harus kami setorkan sebelum jam 12 malam.

Aku melirik jam di ponselku. Sial, ternyata sudah lewat 10 menit dari batas waktu penyetoran. Aku bahkan belum berlatih sama sekali. Kugigit bibirku dengan gelisah. Kurasa tak ada jalan lain kecuali meminta keringanan pada Mr. Effand agar diberikan perpanjangan waktu sampai besok. Lagipula, dengan kondisi malam yang semakin larut, dan mungkin tak lama lagi aku juga bakal menyusul yang lainnya untuk hanyut ke alam mimpi, menuntaskan tugas yang ia berikan sama mustahilnya dengan membangun seribu candi dalam waktu semalam.

Tak lama setelah aku meninggalkan pesan untuk Mr. Effand di grup whatsapp kelas, notifikasi pesan masuk di ponselku berbunyi lemah.

Kwkwkwk... pasti baru ngehapal ya?

Lihat selengkapnya