Seminggu berlalu bagaikan desir angin sejuk di tengah gersang. Melenakan namun cepat hilang. Mungkin karena terlalu sibuk dengan berbagai macam aktivitas, kami tak menyadari bahwa waktu bergulir begitu singkat.
Akhir pekan ini, Mr. Mahesa mengajak kami untuk melepas penat ke Kediri. Sebenarnya, tujuan awal kami adalah Surabaya, tetapi kami terlambat menghubungi pihak travel. Mengingat besok Senin adalah hari Natal, bus-bus sudah dicarter duluan untuk liburan ke sepenjuru Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Kami pun akhirnya hanya bisa gigit jari karena kehabisan armada. Untuk mengobati kekecewaan kami (terutama Iqbal yang semenjak kemarin sore tak henti-henti membahas Museum Santet yang tadinya akan kami kunjungi di Surabaya), Mr. Mahesa memutuskan untuk mengalihkan destinasi liburan kami ke ibukota kabupaten di Kecamatan Ngasem yang bisa ditempuh cukup dengan angkot.
Aku yang sebenarnya mendapat tur gratis ke Kediri weekend ini dari travel yang terlambat menjemputku di bandara waktu itu memutuskan untuk tidak mengambil hakku. Aku pasti sudah hilang akal jika memilih untuk menerima tur gratis itu daripada mengikuti ajakan Mr. Mahesa untuk berlibur bersama yang lainnya.
“Mister, kita jadi ke Gumul Paradise Island kan? Aku udah nggak sabar buat berenang.” Desvia yang duduk tepat di belakangku dan Mr. Mahesa tak henti-hentinya menanyakan pertanyaan itu dari tadi.
“Jadi. Bentar lagi nyampe kok.”
“Udah lama nggak uji adrenalin di perosotan air,” kata Desvia lagi.
“Lah, uji adrenalin di perosotan air. Harusnya kamu ikut acara ‘Dunia Lain’,” ledek Fikri sembari tertawa.
“Kalau mereka syuting di Banjarmasin, jelas aku akan ikutan.”
Tak sampai lima menit kemudian, angkot yang kami tumpangi akhirnya berhenti. Mas Arkan—si pengemudi angkot, ikut turun bersama kami. Mengarahkan Mr. Mahesa menuju jalan masuk dan tempat pembelian tiket GPI[1].
“Tiketnya tolong dipegang satu-satu ya, Pak,” ucap petugas yang memeriksa tas kami ramah. Mr. Mahesa pun membagikan tiket yang mengular panjang di tangannya.
“Selamat datang di Gumul Paradise Island. Ini peta wahana yang bisa dinikmati. Selamat liburan.” Petugas lainnya di pintu masuk menangkupkan tangan sambil mengucapkan kalimat yang kurasa sudah ratusan kalian ia lontarkan hari ini.
“Mbak, bosan nggak sih ngucapin kalimat itu melulu tiap ada pengunjung yang masuk?” tanya Haqqi kurang kerjaan yang hanya dibalas senyum kecil dari petugas di pintu masuk itu. Segera kudorong Haqqi agar cepat-cepat berjalan ke area dalam GPI sebelum ia semakin mempermalukan kami.
***
Aku tak menyadari kapan mereka memisahkan diri, tetapi Fikri dan Fajar sudah tampak basah sambil menggotong pelampung besar berwarna kuning menyala. Pelampung itu mereka sewa seharga 20.000 rupiah. Dan kami yang bermental gratisan segera saja menyerbu pelampung tersebut, melemparnya ke kolam arus, lalu berebut naik ke atasnya. Narendra, Haqqi, Iqbal, dan Ahdi jadi pemenang aksi rebut-merebut itu.
“Ayo, Wal. Nunggu apa lagi. Cepetan masuk kolam!” panggil Narendra yang berbaring telentang seolah-olah tengah berjemur di atas kasur air.
Aku menurunkan kedua kakiku ke dalam air terlebih dahulu. Aku ingin masuk kolam dengan wajar-wajar saja, malas sekali untuk melompat. Namun, dengan sangat cepat, tubuhku justru terangkat dan dibanting ke dalam kolam. Sejurus berikutnya, aku mendengar cekikikan kecil. Ketika penglihatanku kembali jelas setelah mataku yang basah kuusap seperlunya, aku tahu siapa pelaku di balik semua kejadian tadi.
Aku berjalan ke pinggir kolam lalu mengangkat tubuhku kembali keluar dari air. Setengah berderap, kuhampiri Mr. Mahesa yang dengan sigap menghindariku.
“Pembalasan dendam!” seruku. Kutangkap tangan Mr. Mahesa dan kutarik ia mendekati kolam arus.
“You can’t do that,” katanya sambil tertawa-tawa. Usahanya untuk menjejakkan kaki kuat-kuat ke lantai terbilang sia-sia karena dalam kondisi keramik yang basah dan licin, Mr. Mahesa bisa dengan mudah terseret ke mana pun yang kumau.
“Bisa lah. Liat aja.” Aku berucap sok.
Ketika kami sama-sama tiba di tepi kolam arus, Mr. Mahesa mewujudkan ucapannya. Mr. Mahesa memang masuk ke dalam kolam, tetapi bukan karena kudorong. Ia melompat dengan inisiatifnya sendiri. Aku menggerutu sebal dan hal itu malah membuat perhatianku teralihkan sejenak. Momen itu dimanfaatkan Mr. Mahesa untuk kembali menjatuhkanku ke dalam air. Dengan tangkas, ia menangkap dan menarik kedua pergelangan kakiku sehingga aku terjungkal dan menghempas permukaan kolam dengan cepat.
“Double jackpot!” ia terpingkal-pingkal melihat mukaku berubah masam.
“Curang!” seruku.
“Woi, naik sini!” Narendra mengayuh pelampungnya mendekatiku dan Mr. Mahesa. Haqqi mengulurkan tangannya pada Mr. Mahesa, membantunya naik ke atas pelampung.
“Emang muat?” tanyaku.
“Muat lah. Ajak Fikri sama Fajar juga muat. Asal jangan Malikha. Langsung meletus!” celetuk Narendra. Aku tak tahu kenapa Narendra berkata begitu karena kurasa badan Malikha tidak bongsor sama sekali.
“Guys, ke kolam yang agak dalaman yuk!” usul Iqbal.
“Mau apa lu? Aku curiga jangan-jangan kamu mau nenggelemin kita semua lagi.” Haqqi bergidik. Tampaknya ia masih teringat kejadian malam itu ketika Iqbal berpura-pura ingin menusuknya dengan pensil.
“Berapa dalamnya?” tanya Mr. Mahesa tanpa menghiraukan ucapan Haqqi.
“Seratus enam puluh deh kayaknya kalau nggak salah liat.”
“Nope. Nggak ikut. Gua nggak bisa berenang,” sela Mr. Mahesa cepat.
“Yah, Mister. Kan dasarnya masih bisa diinjak. Nyampe kok. Aku juga nggak bisa berenang,” bujuk Narendra.
“Elu tinggi. Nah, gua? Cuma beda lima senti doang dari kedalaman kolam. Kalau gua berdiri berarti semulut dong.”
“Aku juga nggak bisa berenang, Mister. Tinggiku 160 pas lagi,” kata Ahdi ikut-ikutan mendesak. “Tapi aku pengen ikut.”
“Nah tuh, Mister. Kalau Ahdi ikut tetapi Mister nggak ikut, kemudian Ahdi kenapa-napa di luar pengawasan Mister, Mister pasti bakal disalahin.” Haqqi—yang berkata tanpa disaring—ikut membujuk.
Mr. Mahesa tampak berpikir sebentar.
“Ya udah deh. Tapi stuck di kolam 160 ya.”