Akhir pekan masih panjang tetapi kami semua sepakat untuk menyudahi liburan kali ini tepat pada pukul tiga siang. Selepas dari GPI, kami semua didera lelah luar biasa. Makan siang setengah jam sebelumnya kami lalui dengan wajah murung dan kurang bersemangat. Beberapa di antara kami merasa tak enak badan, aku pun demikian. Kondisi seperti ini kerapkali kualami ketika aku berenang di tengah hari buta.
Di perjalanan pulang, hampir separuh penghuni angkot benar-benar telah berkelana ke alam mimpi. Aku masih mendengar kasak-kusuk ringan dari cewek-cewek yang duduk di ekor kendaraan, dan Haqqi serta Fiqri yang duduk tepat di belakangku juga masih terjaga, tetapi jelas suasana ini adalah anomali. Dalam situasi normal, speaker cempreng yang mendentumkan lagu koplo dalam volume maksimal pun tak mampu mengalahkan kebisingan kami.
“Wal, nama akun ig-mu apaan? Aku mau nge-tag foto-foto kita di GPI tadi,” tanya Haqqi sembari menyentuh bahuku. Aku yang setengah melamun agak kaget dengan gerakan tersebut.
“Ntar, yang mana ya? Aku punya beberapa ig soalnya tetapi yang lain pada nggak aktif. Udah lupa password. Coba tulis aja @zuhdinawali terus klik satu-satu. Akun yang kupake sekarang yang postingan terakhirnya gambar sayap pesawat sekitar satu minggu yang lalu,” sahutku.
“Ternyata kamu norak juga ya moto-moto sayap pesawat.” Haqqi berkomentar.
“Idih, ngata-ngatain orang. Kamu juga mosting tiket pesawat kan? Duduk di kursi ekonomi aja pake dipamerin," sambar Fikri cepat. Memanfaatkan momen ini untuk memicu kekesalan Haqqi yang baginya sudah seperti hiburan rutin.
"Lah, lebih parah lu, builder! Nge-screenshoot ucapan ulang tahun trus dipost di story WA," balas Haqqi tak mau kalah.
"Itu gua ngehargain orang-orang yang masih perhatian sama aku, Haq. Bukannya norak."
“Not peduli I about what you say.” Haqqi kemudian menyentuh bahuku lagi. “Wal, @zuhdinawali yang mana nih? Foto profilnya sama semua.”
“Cek satu-satu kayak yang kubilang tadi."
Kulihat dari spion tengah, Haqqi tampak sibuk dengan ponsel cerdasnya. Fikri di sebelahnya menyenandungkan gumaman dengan suara pelan.
“Ini ayahmu beneran, Wal?” Tangan Haqqi kembali mendarat di bahuku beberapa menit kemudian. Kali ini dalam bentuk tepukan-tepukan tak sabar.
“Apaan?” tanyaku tak acuh. Aku malas berbalik mengingat punggungku sudah menemukan posisi bersandar yang nyaman.
“Ini. Yang bareng kamu di kolam renang. Caption-nya sih bilang ‘Ayah, hanya Tuhan dan oksigen yang melampaui dirimu dalam skala prioritas hidupku’.”
Aku terlompat bangun dari posisi menyandarku. Kelopak mataku yang tadinya rindu sekali untuk bersatu dengan pelupuk, kini terbuka dengan nyalang. Aku sama sekali tidak ingat bahwa foto-fotoku bersama Ayah, dan tentu saja orang itu juga, masih terpajang di beberapa akun instagram yang tak bisa kuakses lagi.
“Gila, keren keren!” Fikri menanggapi.
“Emang. Coba lihat ayahnya Nawali. Nggak ada potongan bapak-bapak sama sekali. Makanya aku ragu ini ayahnya beneran apa bukan.”
“Caption-nya keren. Kamu bikin sendiri, Wal? Aku izin copas ya.”
Haqqi mendengus. Ia mengangkat tangan lalu menggoyangkan layar ponsel cerdasnya ke arah spion tengah.
“Ayahmu beneran?” Haqqi menuntut jawabanku untuk ke sekian kali.
“Oh my God!” sebelum aku sempat menyahut, Nadya sudah duluan memekik. Ia segera merampas ponsel Haqqi. “Ganteng banget! Zah, Kak Malik, ini Nawali pasti salah satu fandom dari boyband Korea terus dia ngedit fotonya biar kelihatan kayak bareng bias-nya.”
“Mana sih?” Malikha yang duduk di belakang Nadya menyorongkan badannya.
“Ya Allah! Ini ayah? Bapak-bapak dari anak ABG? Kamu pasti bercanda kan, Wal?” seru Malikha tak percaya. Ia mengipasi-ngipasi dirinya dengan tangan seolah-olah yang ia hadapi adalah sosok nyata idolanya.
“Kakaknya kali, Mal.” Zahro menambah panjang daftar orang yang tak percaya dengan kenyataan yang kutulis sebagai takarir foto tersebut.
“Nggak mungkin! Ini nggak mungkin bagian dari keluarga Nawali. Nggak ayah, nggak kakak, liat mukanya aja nggak ada mirip-miripnya. Rambutnya aja beda. Nawali meliuk-liuk kayak puting beliung, nah oppa-oppa kyeopta ini rambutnya lurus dan jatuh. Kayaknya halus banget sampe bisa main perosotan di situ.” Nadya berkeras.
“Nama ig-nya apaan? Pengen liat juga.” Kudengar suara Alea yang duduk di barisan paling belakang ikut nimbrung.