Camp sunyi senyap ketika kami tiba di ujung hari Minggu. Kurasa penghuni lainnya juga tengah berlibur ke luar Pare mengingat Brilliant memang menyediakan paket-paket liburan yang bisa diambil untuk mengisi akhir pekan. Saat sampai ke kamar masing-masing, yang lainnya memilih untuk membaringkan diri melepas capek sementara aku dan Mr. Mahesa langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri karena setelah ini kami akan menemui tukang urut untuk memeriksa tanganku yang tadi terkilir.
Aku yang awalnya mengantuk luar biasa mendadak segar-bugar setelah dipijat. Semua persendianku rasanya dilumasi. Aku seperti punya tulang-tulang baru.
“Berapa tadi, Mister?” Aku menanyakan biaya jasa tukang urut tadi ketika kami berhenti di depan Camp 1, camp para cewek, untuk membeli jus sebelum melanjutkan perjalanan ke Camp 12 yang tidak terlalu jauh dari sana.
“Kamu nggak usah bayar. Aku yang nraktir. Mau jus apa? Atau milo?”
“Bukan itu. Biaya pijat tadi.”
“Gratis.”
“Nggak ah. Tadi aku liat kok Mister ngasih uang ke tukang urutnya.”
“Ya maksudnya buat kamu gratis dari aku.”
“Jangan dong, Mister. Tadi di GPI tiketku dibayarin, bayar angkot aku juga nggak ikut patungan. Masa sekarang aku digratisin lagi. Nggak enak sama yang lainnya. Mereka kan pada bayar.”
“Only God, you and I who know.” Mr. Mahesa menaik-naikkan alisnya lalu menyunggingkan seulas senyum. Sebuah tepukan pelan mendarat di bahuku. “Udahlah. Semua anak-anak termasuk kamu adalah tanggung jawabku. Lagian, aku nggak akan selamanya terus ngebayarin kamu kok. Habis ini kan kita bubar. Pisah. Nggak ketemu lagi. Terpisah jurang yang menganga lebar dan dalam. Bye, Nawali. I will miss you,” gurau Mr. Mahesa lalu ia terkekeh dan dengan refleks merangkulku. Menyadari gelagatnya agak berlebihan, Mr. Mahesa memohon maaf, melepaskanku, namun masih tetap tertawa renyah.
Mendengar gurauan Mr. Mahesa barusan, nyeri tiba-tiba menyusup ke hatiku. Ada rasa tidak ikhlas sekaligus lara yang tak bisa kuberangus ketika aku membayangkan bahwa beberapa minggu ke depan, aku akan kembali dikungkung rasa sepi. Tak ada lagi candaan-candaan sebelum tidur dan saat makan. Tak ada lagi keramaian di subuh-subuh buta ketika penghuni camp berebut kamar mandi. Aku seperti bumi yang terlempar keluar dari tata surya.
“Jadinya mau pesan apa?” tanya Mr. Mahesa menyadarkanku dari lamunan sesaat.
“Kali ini bayar masing-masing ya, Mister?” pintaku.
“Ya udah. Sekalian deh kamu yang pesen. Kayak biasa ya.” Mr. Mahesa menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan yang tentu saja untuk membayar minumannya sendiri. Aku memesan jus stroberi untuk Mr. Mahesa dan jus mangga untuk diriku sendiri.
Ketika kami duduk-duduk santai di atas jok motor sembari menunggu jus kami selesai dibuat, kami melihat Alea menuntun sepedanya keluar dari pekarangan Camp 1.
“Le, mau ke mana?” Mr. Mahesa spontan meneriakinya.
“Eh, Mister,” kata Alea pelan. Ia celingak-celinguk sebentar, menyeberang jalan, lalu menghampiri kami. Ia menyambut tangan Mr. Mahesa dan menciumnya.
“Mau ke mana, Le?” Mr. Mahesa mengulangi pertanyaannya.
“Ini, laper, Mister. Mau beli okonomiyaki,” jawab Alea. Terbata-bata ketika melafalkan nama makanan Jepang itu.
“Emang ada yang jual di sini?” tanya Mr. Mahesa lagi.
“Ada siswa kursus yang jual. Jadi, dia multitasking gitu. Belajar sambil jualan. Cuma dia nggak buka lapak, Mister. Promosi doang lewat sosmed terus pesanan bisa diambil ke kosnya.”
“Emang dia ngekos di mana?”
Alea membuka ponselnya.
“Katanya sih depan BEC, ada gang kecil. Ini dia share lokasi sih jadi gampang kok ditemuin.”
“Jauh lho itu tempatnya.” Aku menyela. “Kemarin waktu lagi nyari celana bareng Fajar dan Fikri aku ngelewatin tempat itu.”
“Kan naik sepeda.” Alea menarik maju sepedanya untuk menunjukkan alat transportasi yang ia bawa tersebut padaku dan Mr. Mahesa.
“Naik motor aja. Ini udah hampir magrib lho.” Mr. Mahesa menggoyangkan kunci motor yang melingkar di telunjuknya.
“Nggak usah, Mister. Kakiku kan kuat. Jadi tenang aja. Aku cepet kok ngayuh sepedanya.”
“Capek, Al. Apalagi kita baru aja pulang dari liburan, kan? Gimana kalau kamu pingsan di jalan?” Ucapan spontanku barusan sontak membuat kepala Alea dan Mr. Mahesa menoleh ke arahku secara bersamaan. Kening mereka juga terangkat dalam waktu yang nyaris berbarengan.
“Nada bicaramu serius lho pas ngucapin kalimat tadi.” Sesaat setelah Mr. Mahesa bicara padaku, ia mengalihkan pandangannya pada Alea. “Berarti dia beneran care sama kamu.”
“Nggak, Mister. Itu kan begayaan[1].” Aku kelimpungan menampik.
“Berarti gini aja. Aku antar ya. Nawali bisa pulang duluan kan jarak camp dari sini dekat sekali.”
“Nggak perlu kok, Mister. Aku nggak enak sama Mister sama yang lainnya juga. Nanti aku dibilang lebih diistimewakan karena beli makanan aja pakai diantar guru segala,” tolak Alea lagi.
“Mana ada yang berpikiran kayak gitu. Kayak aku nggak tahu karakter kalian aja. Lagian, kalau pakai motor kan bisa cepet nyampe jadi nggak kemaleman.”
Alea terdiam. Kurasa ia tengah menimbang-nimbang apakah akan menerima tawaran Mr. Mahesa atau tidak.
“Wal, kamu udah bisa bawa motor belum? Tanganmu gimana?” Mr. Mahesa tiba-tiba bertanya padaku.
“Bisa aja. Sejak dipijat Nay di GPI tadi sebenarnya udah nggak berasa nyeri macem-macem lagi kok, Mister.”
Mr. Mahesa meraih tanganku lalu meletakkan kunci motor di telapak tanganku yang terbuka.
“Kalau begitu kamu yang antar Alea deh ya kalau Alea emang sungkan sama guru. Bawa baik-baik. Jangan ngebut. Nanti kalau jatuh malah bikin repot,” celetuk Mr. Mahesa.
Dari gelagatnya, Alea seperti akan melancarkan penolakan namun Mr. Mahesa memberikan isyarat gerakan diam. Alea pun tak berani membantah.
Mr. Mahesa menghampiri penjual jus untuk mengambil minumannya. Ia meletakkan selembar uang sepuluh ribuan dan aku sudah mau mengingatkannya kalau uangnya kan sudah dibayar tadi, tetapi Mr. Mahesa buru-buru berkata,
“Jusnya satu lagi, Mbak. Alpukat.”
“Itu buat kamu.” Sebelum beranjak menuju camp, Mr. Mahesa meninggalkan pesan itu pada Alea. Alea mengerjap bingung.
***
“Aku nggak ngerti deh, Wal, sama perasaanku.” Alea yang tanpa tedeng aling-aling berkata begitu, sontak membuatku mengerem mendadak. Alea terantuk pundakku, tetapi ia tidak berkicau protes.
“Memangnya kenapa dengan perasaanmu?” Jujur. Entah kenapa aku dilanda risau saat mengucapkan pertanyaan itu. Mungkin, aku takut kalau harapan yang beberapa hari ini sudah kubangun untuk Alea tiba-tiba runtuh.
“Mr. Mahesa,” sahut Alea menggantung.
Aku mengerem mendadak untuk yang kedua kalinya. Mister? Alea suka sama Mister?
Jantungku berdetak cepat.
“Emangnya ada apa?” Nada suaraku sarat kecemasan.
Alea tak langsung menjawab. Momen hening yang hadir membuat kegelisahanku menjadi-jadi.
“Al?”
“Itu lho, kok Mister tahu sih aku suka jus alpukat? Aneh banget kan?”
Detak jantungku yang tadinya berdegup kencang seperti menggedor-gedor rongga dada kini melambat drastis. Aku lega ketakutanku tak terwujud. Namun selain itu, aku juga kesal luar biasa karena Alea menciptakan dramatisasi yang sangat menyebalkan untuk hal yang teramat sepele.
“Mungkin selama ini Mister merhatiin apa yang sering kita pesan. Mister juga tahu kok aku paling hobi minum milo. Dua gelas.”
“Iya sih. Hahaha.... Aduh! Tumben nih otakku mikirnya berlebihan banget.”
Aku mengernyitkan kening. Tumben? Kurasa semua sepakat kalau ‘berlebihan’ adalah kata sifat yang paling tepat untuk menggambarkan kesehariannya. Aku jadi kepingin tahu standar normal menurut Alea itu seperti apa sih.
“Wal, pas balik nanti jalan bentar yuk.”
Dalam situasi normal, harusnya aku dilimpahi rasa bahagia yang membuncah karena Alea mengajakku jalan bareng, tetapi untuk saat ini, waktunya kurang tepat. Aku tak mengenakan jam tangan dan aku juga tak bisa mengecek jam di ponsel yang terletak di saku jaketku. Namun, menerka dari warna langit, kurasa sekarang sudah lewat dari jam lima sore.
“Nanti kita pulang kesorean, Al.”
“Bentar doang, Wal. Sempet kok. Kecuali kamu bawa motornya kayak bekicot yang jalan sambil ngebales WA.”
“Emang mau ke mana?”
Kulihat dari kaca spion, Alea menyunggingkan senyum. Tipikal senyum mencurigakan.