Keesokan harinya, aku terserang pilek. Aku melewatkan kelas Speaking dan Grammar, begitupula dengan Alea yang katanya sedang sakit kepala. Kami tiba di camp masing-masing tepat pukul setengah sembilan tadi malam setelah berhasil menemukan jalan pulang dari negeri antah-berantah tempat jin dan makhluk halus beranak pinak itu saat jaringan internet Alea kembali. Selepas membersihkan diri dan ganti pakaian, aku diberondong pertanyaan oleh Narendra dan kawan-kawan mengenai ketibaanku di camp selarut itu. Untungnya, interogasi tersebut diredakan oleh Mr. Mahesa yang memintaku untuk langsung beristirahat di kamar 23 yang baru saja ditinggalkan penghuninya agar aku tak terganggu. Walau begitu, aku baru memejamkan mata pukul dua pagi karena diam-diam, aku justru mengobrol dengan Alea di whatsapp yang berawal dari menanyakan keadaan masing-masing, kemudian lanjut dengan topik acak yang nyaris tak berkesudahan andai saja mata kami masih kuat menahan kantuk. Besok paginya, akhirnya kondisi badanku benar-benar menurun dan sangat tidak memungkinkan untuk mengikuti kelas.
Agak siangan, aku merasa bugar kembali namun untuk masuk kelas rasanya sudah sangat terlambat. Berdiam diri di camp yang senyap membuatku jenuh setengah mati. Jadi, saat kulihat Mr. Mahesa membawa pakaian-pakaian kotornya ke kamar mandi, aku memutuskan untuk ikut mencuci baju saja hari ini sambil minta diajari oleh Mr. Mahesa karena seumur-umur aku tak pernah mencuci pakaian sendiri.
Ada lima ember di kamar mandi lantai dua dan tiga di antaranya sudah dipakai oleh Narendra, Haqqi, dan Fajar untuk merendam pakaian mereka sebelum dicuci saat mereka kembali nanti. Mr. Mahesa mengambil dua buah ember yang tersisa, meletakkan pakaian kotornya di sebuah ember, dan memberikan ember kosong satunya padaku.
“Pakaiannya direndam dulu,” kata Mr. Mahesa menerangkan.
Aku memutar keran. Mengisi emberku dengan air sampai penuh.
“Kalau kamu taruh pakaianmu di situ, airnya bakal luber lho. Isi setengah aja lalu masukkin sabun cucinya.”
Aku menyentuh tengkukku seraya tersenyum jengah.
“Jadi dibuang aja nih airnya?”
“Ya udah, nggak apa-apa. Kamu taruh aja pakaianmu baru sabunnya terakhir. Tapi lain kali jangan gitu ya. Sabunnya harus dilarutin dulu baru kamu masukkin pakaianmu karena sometimes ada kain yang mudah rusak kalau kena detergen langsung.”
“Oke, Mister,” sahutku patuh. Aku memasukkan sekitar 10 potong pakaian ke dalam emberku dan tentu saja air yang ada di dalam sana langsung tumpah ruah ke lantai.
“Ya udah tinggal kasih sabun. Kalau kotor banget atau luar biasa bau, kamu rendam dulu sekitar 15 menit baru dikucek. Tapi kalau nggak ada noda berat kayak ketumpahan saos gitu, biasanya sih langsung aku kucek aja. Males nunggu-nunggu lagi. Keburu mood rajinnya hilang.”
“Mister, aku lupa beli sabun.”
“Coba liat di lemari siapa tahu anak-anak punya. Ambil aja dulu nanti kamu ganti. Punyaku habis sih. Cuma beli tiga terus diminta sama Haqqi.”
“Aku beli aja deh di ‘Lazy Store’ supaya bisa dipake buat nanti-nanti juga.”
“Ya udah. Cepetan sana.”
Aku mengibas-ngibaskan tangan untuk mengurangi basah lalu berderap cepat menuju ‘Lazy Store’. Tak sampai lima menit, aku sudah kembali ke kamar mandi dan kulihat Mr. Mahesa sudah mengucek beberapa potong pakaiannya.
“Ini, Mister. Sabunnya.”
Mr. Mahesa yang tadinya berjongkok segera berdiri menghampiriku.
“Tinggal tuang aja, Wal.”
“Oke, Mister.”
Aku merobek sudut atas kemasan sabun dengan gigi lalu mulai menuang isinya ke dalam emberku.
“Eh, bentar deh, Wal. Kok warnanya keruh gitu?”
“Kenapa, Mister?”
“Coba liat sabunnya.”
Aku menyerahkan bungkus sabun yang isinya telah kupindahkan tadi kepada Mr. Mahesa. Sedetik setelah Mr. Mahesa menyambut bungkus sabun tersebut, tawanya langsung membuncah.
“Ini pewangi pakaian, Nawali. Bukan sabun cair!” seru Mr. Mahesa sembari terpingkal.
Aku menyunggingkan seringai keki.
“Kamu bilang apa sih sama mbaknya?”
“Beli sabun cuci pakaian.”
“Trus?”
“Kata mbaknya ambil sendiri. Ya udah aku ambil aja. Aku nggak tahu kalau ternyata kemasannya sama kayak pewangi pakaian.”
“Ya udah, beli lagi sana.”
Dengan muka merah karena malu, aku pun kembali menuju ‘Lazy Store’.
***
“Wal, udah ngerjain tugas speaking buat besok, nggak?” tanya Alea sesaat setelah wajahnya muncul di layar ponselku. Karena ada panggilan dari Alea, aku memutuskan untuk menghentikan langkah dan duduk sejenak di kursi panjang di samping pintu depan. Aku berharap ini hanya sebentar karena aku takut Mr. Mahesa menunggu terlalu lama.
“Belum. Masih nyari-nyari lagu sih. Kamu?”
“Udah tapi bukan bahasa Inggris. Aku udah WA Mrs. Nadya sih memohon-mohon supaya diizinin pake lagu itu karena aku suka banget sama liriknya.”
“Dan berhasil?”