Memasuki minggu kedua di Pare, kesibukan kami meningkat berkali-kali lipat. Tugas-tugas yang biasanya tidak datang setiap hari, kini seperti berlomba-lomba untuk menyiksa kami. Waktu lowong kami menjadi semakin sedikit karena ada beberapa kelas yang menggeser jadwal ke jam-jam genting yang harusnya bisa kami manfaatkan untuk tidur siang atau mengerjakan tugas. Kami juga berkenalan dengan beberapa tutor pengganti khususnya untuk kelas Speaking dan Vocabulary karena Mrs. Nadira harus banyak istirahat mengingat kehamilan pertamanya, sementara Mr. Ato diminta untuk menggantikan Mr. Made sebagai admin di office Brilliant yang cuti pulang kampung.
Satu hal yang jadi poin positif dari kesibukan ini adalah kami jadi memiliki jam tidur yang berkualitas. Sepulang dari kelas Pronunciation jam setengah 9 malam, kami mulai mengantuk dan tak lama setelah menyantap makan malam, kami pun tertidur. Padahal di hari-hari biasa, kami baru akan memejamkan mata paling cepat pukul setengah 12 malam. Aku juga bersyukur karena dengan kepadatan ini, aku tak harus sering-sering melihat Faruq yang entah urat malunya putus atau apa, sering sekali mampir ke kamar kami untuk meminjam ini dan itu.
Dan seperti hari-hari sebelumnya yang berlalu cepat, tak terasa kami sudah berada di pagi Senin kembali, di minggu ketiga. Liburan akhir pekan kemarin jelas bukan momen terbaik untuk melepas penat karena tak ada yang istimewa dari sekedar jalan-jalan ke mall, belanja buku di Gramedia, dan nonton di Golden Theater. Sebenarnya, Mr. Mahesa sudah menyusun rencana untuk liburan ke luar Kediri, membayar agenda minggu kemarin yang tidak jadi. Namun, lagi-lagi kami terkendala armada angkutan umum yang sudah full booked menjelang tahun baru.
Hari ini, Senin, bertepatan dengan Tahun Baru 2018. Namun seperti yang sudah-sudah, tempat kursus di Pare tidak mengenal tanggal merah kecuali Sabtu dan Minggu. Aku dan yang lainnya sedang memakai lurik—seragam yang diwajibkan Brilliant untuk hari Senin—ketika Mr. Mahesa melenggang masuk melalui pintu kamar.
“Bareng ya. Aku mau ke office,” katanya seraya mengetatkan ikat pinggang.
“Ngapain, Mister?” tanya Haqqi ingin tahu.
“Mau ngurus tur kita hari Sabtu nanti.”
“Jadi ke Bromo, Mister?” Fikri menanggapi antusias.
“Jadi dong. Aku udah booking paket turnya. Tinggal bayar sama nentuin tanggal. Beres!”
“Berangkatnya kapan, Mister?” tanya Haqqi lagi.
“Kata Miss Puji kemarin sih nanti berangkatnya sekitar jam 10 malam supaya bisa ngejar sunrise di Penanjakan. Pulang dari Bromo, mampir ke Batu buat belanja oleh-oleh.”
“Ini pasti jadi kan, Mister? Nggak pakai acara kehabisan bis lagi kan?” celetuk Ahdi sedikit was-was mengingat pengalaman di dua tur akhir pekan kemarin.
“Pasti. Seratus persen. Pokoknya kalian siapin perlengkapan perang aja buat menghadapi serangan dingin di Bromo nanti.”
“Fikri sih udah lengkap, Mister. Sarung tangan builder, topi Pororo,” ejek Haqqi usil yang mengundang gelak tawa dari yang lainnya kecuali Fikri tentu saja yang langsung memasang raut masam.
“Habis ini kubakar kok. Aku bakal beli yang baru.”
“Aku belum dapat syal, Mister. Beli di mana ya?” tanya Fajar.
“Katanya sih di Bromo nanti juga bakalan banyak yang jualan syal, topi, dan lain-lain, jadi nggak usah pada repot nyari-nyari di sini.”
“Biasanya di tempat wisata gitu kan harganya mahal-mahal, Mister,” ucapku.
“Kalian hampir tiap malam pesan cemilan lewat go-food gini takut kekurangan uang? Apa kabar orang tua kalian yang tiap tiga hari sekali menransfer uang lewat rekeningku,” sentil Mr. Mahesa yang membuat kami mengerut di tempat seperti jeruk teroksidasi udara.
“Mister, ntar sore nyari oleh-oleh yuk? Dari kemarin kan kita pengen ke Pareholic nggak jadi-jadi,” usul Narendra mengalihkan pembicaraan.
“Tuh kan? Apa ini yang namanya ciri-ciri manusia takut kehabisan uang?” Mr. Mahesa tergelak kecil. “Ya udah. Sekalian kita makan di luar deh. Gimana?”
“Trus katering? Nanti mubazir kalau nggak ada yang makan,” kata Fajar.
“Pulang dari office nanti aku mampir ke tempat kateringnya untuk bilang kalau buat malam ini para cowok nggak usah dikasih jatah dulu.”
“Nah gitu kan jadinya lega, Mister. Aku juga udah bosan makan makanan katering. Menunya itu-itu melulu.” Fajar menghembuskan napas.
“Ini udah pada selesai belum siap-siapnya? Udah jam 6 lewat 10 nih. Dua puluh menit lagi kelas Vocab mulai.” Mr. Mahesa mengingatkan.
“Mr. Atok sih pakai acara jadi admin segala. Padahal udah bagus masuk sore sekarang jadi pagi-pagi buta begini!” keluh Narendra.
Sementara yang lain masih sibuk mencari buku dan alat tulis lainnya yang berhamburan ke sana-sini, aku sudah memanggul drawstring bag Brilliant dan memutuskan untuk menunggu di tangga. Di tengah perjalanan, aku bertemu Faruq yang baru selesai mandi. Raut wajahku mendadak ketus.
“Good morning, Nawali!” sapanya sembari menyisir rambut dengan jari.
Aku mengangguk malas menanggapi. Aku berniat meneruskan perjalanan tetapi Faruq mencegatku.
“Nawali, do this necklace suit me?”
Tahu ah, aku tak peduli dia mau bicara apa jadi kuiyakan saja. Namun sepertinya Faruq tidak puas dengan jawabanku. Aku kaget ketika tangannya merengkuh kepalaku dan membawa pandanganku ke arah tubuh setengah telanjangnya. Ia memamerkan kalung perak yang melingkar di lehernya tetapi pandanganku justru jatuh pada bekas jahitan panjang di perutnya.
“I got this necklace from my brother and he gave me two. If you—”
“Yes, yes, yes. Sorry, I am busy. I have to go to Brilliant,” potongku cepat. Pagiku bisa jadi buruk jika aku terlalu lama meladeni Faruq. Aku segera berderap menuju lantai bawah. Kalau aku kembali ke rencana awal yaitu menunggu yang lainnya di tangga, Faruq bakal dengan mudah menyusulku.
“Okay, Nawali. Be careful!”
***
Sebagai pusat oleh-oleh paling besar sekaligus paling populer di seantero Kampung Inggris, sore itu Pareholic kebanjiran pengunjung seperti biasa. Dua buah motor yang mungkin milik pegawai di sana terlihat asing di tengah puluhan sepeda pancal yang terparkir rapi di pekarangannya.
Sedetik setelah menapakkan kaki ke bagian dalam Pareholic, aku memutuskan untuk mencari jumper di lantai satu sementara yang lainnya naik ke lantai dua untuk melihat-lihat produk distro. Mr. Mahesa sendiri tengah ke depan sebentar untuk menarik uang di ATM. Aku memisahkan sebuah hoodie jumper berwarna abu-abu dari gantungan, mengamatinya muka belakang, lantas melihat label harga di bagian leher. Di saat bersamaan, bahuku disentuh seseorang. Kalau tak mendengar suara yang menyapaku, mungkin aku mengira bahwa orang itu adalah Haqqi mengingat sepertinya ia fetish dengan pundakku yang, yah, cukup lebar.
“Hi, Nawali. You here?”