Keesokan harinya, Mr. Ato kembali harus digantikan tutor lain yang artinya kelas Vocabulary yang normalnya dilaksanakan pukul setengah tiga sore, lagi-lagi harus dimajukan jadi pukul setengah tujuh pagi. Waktu sore kami pun jadi makin senggang. Karena jenuh tidur-tiduran di camp, kami memilih untuk menunggu magrib dengan berjalan santai mengitari Kampung Inggris yang cukup luas. Masih ada banyak area yang belum sempat kami eksplor. Lagipula, kesempatan jalan kaki ke mana-mana ini harus kami manfaatkan semaksimal mungkin karena setelah sampai di Banjarmasin, hal ini mustahil bisa kami lakukan lagi di tengah kota yang padat kendaraan bermotor dan kelangkaan fasilitas trotoar.
“Kenapa lu, bocah? Sepi amat kayak hatinya Haqqi,” Narendra menjawil usil telinga Fikri.
“Woi woi! Apaan aku dibawa-bawa?!!” Haqqi mencak-mencak tak terima.
“Kamu sakit, Fik?” Mr. Mahesa menyesap tetes terakhir es kelapanya lalu memandang Fikri dengan tatapan menginspeksi.
Fikri yang hari ini lebih pendiam dari biasanya memang tampak tak bersemangat. Ia hanya meneguk sedikit es kelapanya lalu meletakkan kepala dengan lesu di pinggiran meja.
“Nggak tahu, Mister. Badanku rasanya lemes banget.”
“Di tangan kamu ada apa tuh, Fik?” Fajar menunjuk benjolan kecil di lengan kiri Fikri.
Fikri menggeleng. Entah dia benar-benar tidak tahu benda apa itu atau dia malas menjawab.
“Ya udah kalau emang nggak enak badan kita pulang sekarang ya. Sanggup jalan kan?” Mr. Mahesa mengeluarkan dompet lalu menyerahkan selembar seratus ribuan pada Narendra. Memintanya untuk membayar minuman kami saat itu.
Fikri mengangguk.
Sepanjang perjalanan pulang, suasana tiba-tiba berubah canggung karena masing-masing cenderung diam. Biasanya, kami sering melontarkan celetukan-celetukan usil, namun mengingat Fikri sedang dalam keadaan tidak sehat, kami memutuskan untuk menjaga sikap.
Aku tidak menyadari bahwa sore ini lebih gelap dari biasanya sebelum tetes demi tetes air mulai turun dari langit. Aku menengadah. Butir-butir gerimis jatuh di wajahku.
“Cuma gerimis. Keburu kok!” kata Narendra optimis. Namun tak genap lima detik setelah ia berkata demikian, hujan ringan tadi tiba-tiba menderas. Lebat luar biasa seolah-olah kami diguyur air langsung dari ember.