Alasan sakit perutku tak diterima ketika aku mengemukakannya sebagai jawaban atas kengototanku yang ingin pulang ke camp bahkan dengan menerobos hujan. Untungnya, Mr. Mahesa datang menyelamatkanku dari desakan yang lainnya. Ia berkata bahwa setiap manusia memiliki rahasia yang kadang ingin dia pendam sendiri atau bisa juga menunggu waktu yang tepat untuk dibagi pada orang lain. Setelah Mr. Mahesa berkata demikian, Narendra dan yang lainnya benar-benar berhenti merongrongku dengan pertanyaan serupa.
Ngomong-ngomong tentang Mr. Mahesa, aku benar-benar merasa bersalah padanya karena akibat kekeraskepalaanku tadi malam, ia kini tergolek sakit sebab harus berjalan kaki di tengah hujan. Tak lama setelah salat magrib, Mr. Mahesa dan yang lainnya kembali mendapatkan becak motor kosong dan karena Ahdi dan Iqbal berukuran cukup lebar, becak motor itu hanya cukup ditumpangi empat orang. Mr. Mahesa menunggu sampai setengah sebelas malam, namun hujan tak berhenti dan tak ada becak motor yang lewat lagi. Karena sudah kemalaman, Mr. Mahesa pun memutuskan untuk menembus hujan menuju camp dengan berjalan kaki. Dan sekarang, ia terbaring lemah karena sakit.
Aku sedang memijit kepala Mr. Mahesa ketika Fikri masuk ke kamar kami.
“Mister, aku kenapa ya?” Fikri duduk di samping Mr. Mahesa lalu membuka bajunya.
Sekujur tubuhku kontan meremang saat Fikri memperlihatkan punggungnya yang kini ditumbuhi berpuluh-puluh bintil bening berisi cairan. Aku mulai bergerak-gerak gelisah sebagai salah reaksi natural ketika menyaksikan sesuatu yang membuat merinding seperti sekumpulan gelembung yang bergerombol di kulit Fikri. Tadinya, aku ingin mengalihkan pandangan, namun karena takut Fikri tersinggung, jadi aku tetap menatap ke arahnya hanya saja dengan fokus penglihatan yang sengaja kukaburkan.
Mr. Mahesa langsung melompat bangkit melihat keadaan Fikri. Wajahnya yang kuyu seketika berubah panik.
“Astaghfirullahaladzim! Ini cacar air, Fik!” seru Mr. Mahesa. “Kita ke puskesmas sekarang. Kamu ganti baju dulu, aku juga mau siap-siap.”
Mr. Mahesa mengerling ke arahku. “Kamu bisa WA Fasa atau Malikha nggak, Wal? Bilang kalau aku mau pinjam sepeda. Oh ya, satu lagi, nanti izinin Fikri nggak masuk ya. Bilang kalau dia aku bawa berobat.”
“Oke, daddy.”
Aku merasa kasihan melihat Mr. Mahesa yang buru-buru membawa Fikri ke puskesmas dengan mengayuh sepeda di pagi menjelang siang yang terik ini padahal ia sendiri juga sedang tidak sehat.
Dia benar-benar seperti sosok ayah yang bertanggung jawab buat kami.
Kenapa aku tak punya ayah seperti dia?