Hari Kemarin

M Ilhamsyah
Chapter #18

EKSTRAKSI

Sekujur tubuhku mendadak dingin. Aku tak merasakan sakit, tetapi melihat kepanikan orang-orang di sekitarku, ditambah dengan fakta pahit bahwa dari tadi pintu balkon yang terganjal jari-jariku tak bisa digeser, aku mulai dilanda ketakutan luar biasa. Aku pernah menonton berita di mana ada orang yang terjebak reruntuhan gempa Padang beberapa tahun yang lalu dan untuk mengeluarkan ia dari sana, tangan atau kakinya—aku lupa persisnya—harus digergaji atau diamputasi, ah yang pasti dipotong. Membayangkan hal itu harus terjadi padaku, wajahku tambah pias. Rasanya akan lebih baik mati saja daripada melihat kakiku harus dipotong di tempat dan situasi yang tidak memadai ini.

Tak seperti diriku yang nyaris pasrah, orang-orang di sekelilingku masih berusaha dengan gigih untuk mengeluarkan jari-jariku yang tersangkut tersebut. Haqqi dan Ahdi memegangi kakiku yang terjepit sementara Mr. Mahesa dan beberapa yang lainnya mencoba menarik daun pintu ke arah luar.

“Tarik pelan-pelan.” Aku mendengar seseorang memberikan instruksi.

Aku mengerang ketika kulit jari-jariku ikut terkoyak saat pintu tersebut ditarik.

“Tahan dulu, tahan dulu!” Seseorang berkata lagi.

Aku membuang napas. Tak hanya aku yang bermandikan keringat, orang-orang di sekitarku juga tak kalah gugupnya. Melihat sejauh ini tak ada perkembangan dari usaha mereka, gigiku langsung gemetaran membayangkan kalau jari kakiku itu benar-benar harus dipotong agar bisa keluar dari celah pintu. Nyaliku ciut ke posisi terbawah. Tanpa terasa, air mataku jatuh.

“Wal, kamu tahan dan percaya kalau kamu bisa lepas dari sana. Haqqi sama Ahdi, kalian tarik kaki Nawali pas aku sama yang lainnya narik pintunya,” kata Mr. Mahesa. Aku mendengar kecemasan yang kentara dari suaranya.

Haqqi dan Ahdi tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Mereka hanya mengangguk-angguk.

“Oke, satu, dua, ti...”

“Tunggu, tunggu!” jeritku. Bayangan buruk kembali menyambangi benakku. Bagaimana ketika mereka mencoba mengeluarkannya dengan paksa, jari-jariku malah putus begitu saja? Aku bergidik hebat. Aku tak sanggup lagi menghadapi situasi ini. Kenapa tidak ada seorang pun di tempat ini yang kepikiran untuk membiusku dulu, sih?

“Tiga!” seru Mr. Mahesa tiba-tiba.

Aku menjerit kencang ketika kulitku sekali lagi terkoyak seperti margarin yang disendok. Aku tak tahu apakah aku masih punya kulit dan daging di jari-jariku karena kurasa, bagian bawah pintu yang tajam itu mengelupasnya sampai ke tulang. Pedih merayapi sekujur tubuhku. Ingin sekali rasanya aku mengamuk karena sakit yang kurasakan saaat ini benar-benar tak terperi. Untungnya, rasa sakit itu berbuah hasil karena jari-jari kakiku akhirnya keluar dari celah pintu sialan itu.

Mr. Mahesa terduduk lega, tetapi ia tak sempat menenangkan dirinya sendiri karena ia langsung menghampiriku.

“Kakimu gimana?” kejarnya panik.

Aku menggerak-gerakkan jari-jari kakiku yang tadinya terjepit dan sial! Aku tak merasakan apa-apa. Saraf-sarafku kebas seperti kena suntik bius.

“Nggak kerasa apa-apa, Mister,” jawabku gugup. Apakah ini pertanda kalau saraf-sarafku di bagian sana telah mati dan bagian tubuhku itu—sekali lagi kemungkinan terburuk melintas di pikiranku—harus diamputasi? Aku tak sanggup bernapas membayangkannya. Aku seperti dihadapkan pada seorang psikopat yang sebentar lagi akan memotong-motong tubuhku tanpa ampun.

“Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Mister.” Mr. Fandi merangsek ke kerumunan. “Di bawah ada motor.”

“Kamu bisa jalan?” Mr. Dani—camp tutor lantai satu—memegang sebelah lenganku. Membantuku untuk berdiri.

“Digendong aja, Dan. Ayo, Mister.” Mr. Fandi memapah sebelah lenganku yang lain.

“Kalian tolong bawa duluan, ya. Aku nyusul naik sepeda.”

“Ya udah. Ayo, Dan!”

Mr. Fandi membantuku untuk naik ke punggung Mr. Dani sementara Mr. Mahesa berlari cepat menuju kamar.

Lihat selengkapnya