"Mau!!!"
Aku dan Narendra tersentak kaget ketika tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, kepala Alea tiba-tiba muncul di antara kami.
"Astaghfirullahaladzim!" seru Narendra refleks.
"Kenapa kaget? Emang aku hantu? Aku tersinggung lho! Emang ada hantu pake peach kece begini? Nggak lihat nih earcuff-ku cute banget udah kayak punyanya yeoja-yeoja Korea?!" cerocos Alea seperti biasa.
"Nggak gitu! Ya, aku kaget lah muka kamu tiba-tiba nongol kayak leak." Narendra menyanggah.
"Tuh kan? Kamu udah menghina aku eh sekarang malah nggak menjunjung tinggi produk lokal."
Bola mata Narendra bergerak ke kiri dan ke kanan. Keningnya mengerut. Ia sekuat tenaga mencoba memahami apa maksud Alea yang tampaknya menghubungkan 'leak' dengan 'produk lokal'.
"Sebentar, Nona. Nona bicara tentang produk lokal padahal saya tidak menghina dina UKMK dari banua kita tercinta seperti dodol Kandangan, pisang rimpi Rantau, amplang Kotabaru, atau, apakah maksud Nona itu adalah keripik leak?"
"Gitu aja nggak paham. Maksudku itu, harusnya kamu nggak nyebut 'leak', tapi 'kuyang'. Kita kan punya makhluk mitologi sendiri gitu lho dari Kalsel."
"Oke, oke." Narendra manggut-manggut. "Kalau begitu, coba deh ulang lagi."
"Apanya?"
"Dari awal. Aku pesan burger, terus kepalamu nongol kayak mau nyium aku gitu," seloroh Narendra usil dengan ekspresi muka dibuat semenyebalkan mungkin.
"Mesum! Mesum! Mesum!" Alea memukul pundak Narendra bertubi-tubi. "Liat nih, Wal! Temenmu ini nggak menghargai aku sama sekali sebagai seorang wanita baik-baik dan terpelajar."
"Cie, yang laporan sama pacar!" goda Narendra makin getol.
Alea sontak menarik tubuh Narendra. Menjajah posisinya yang berdiri dekat dengan penjual burger.
"Mas, dia pesen apa?" tanya Alea pada penjual burger sembari mengarahkan telunjuknya pada Narendra.
"Burger, Mbak."
"Berapa?"
"Apanya, Mbak? Harganya apa jumlahnya?"
"Ya jumlahnya lah! Masa saya nanyain harga pakai 'berapa'? Ya 'how much' lah, Mas!" ledak Alea. Aku menahan gelak tatkala melihat ekspresi penjual burger yang berubah keder setelah menyadari bahwa sosok di depannya adalah nenek sihir berwujud cewek cakep.
"Satu aja, Mbak," sahut si penjual burger takut-takut.
"Burgernya pedas," sahut Alea cepat.
"Punya mas-nya?"
"Emang ada yang pesen burger lagi selain dia?" tukas Alea jutek.
"Nggak ada sih, Mbak. Kalau mas satunya pesan kebab, Mbak."
"Ya udah. Berarti bikinin burger yang pedas buat cowok tengil ini."
"Iya, Mbak."
"Le, aku kan nggak suka pedas?" protes Narendra pada Alea yang seenak hati mengubah pesanannya.
"Ya udah! Itu buat aku dong."
"Terus punyaku?"
"Kamu pesan lagi."
"Kenapa nggak kamu aja yang pesan satu?"
"Buat kamu? Kenapa aku harus pesenin burger buat kamu? Enak aja! Kamu kan cowoknya. Harusnya kamu dong yang beliin burger buat aku."
"Kok bawa-bawa gender sih? Apa kabar sama emansipasi?"
"Emansipasi kabarnya baik," Alea melengos.
"Oke, aku akan bayarin burger punyamu. Tapi yang itu buat aku. Kamu pesen yang baru." Kulihat Narendra dengan segenap jiwa raga mencoba menahan sabar demi menghadapi sikap Alea yang menjengkelkan.
"Yah, gimana dong? Kan udah terlanjut dibikinin masnya yang pedes. Kalau gitu, kamu aja yang pesan baru ya."
"Belum dikasih pedes kok, Mbak."
Alea melotot pada penjual burger.
"Tuh kan! Berarti yang itu buat aku aja. Kamu pesen lagi."
"Ya nggak bisa gitu dong! Ribet amat sih ketimbang pesen doang coba!"
Narendra memautkan bibir lalu mendengus keras-keras.
"Kalau gitu kamu minggir. Aku mau pesen."
"Dari situ kan bisa? Nggak sampe semeter juga. Kamu bisik-bisik aja kedengeran kok sam masnya."
"Bisik-bisik gimana?"
"Ya bisik-bisik. Dengan suara halus dan pelan kayak puteri keraton, 'Mas, mas. Saya pesen burger ya satu. Nggak pake pedes. Gampang kan?"
"Oke, Mbak!" sahut si penjual burger.