“Camp makin sepi ya,” kata Haqqi pagi itu. Selepas pulang dari Bromo tadi malam, kami baru sadar bahwa camp kami benar-benar sunyi senyap seperti kota mati.
“Masih rame kok tapi di lantai bawah. Di lantai dua ini cuma ada kita doang. Anak Ternate pas hari minggu kemarin udah pulang. Faruq juga. Abied yang sekamar sama Faruq pindah ke lantai bawah,” tutur Narendra.
“Faruq pulang?” cetusku dengan nada suara agak kaget. Aku tak tahu kenapa aku harus bereaksi seperti itu.
“Kenapa emangnya kalau Faruq pulang?” Fajar menatapku dengan kening bertaut heran.
“Oh, itu... Batiknya Mister udah dibalikin Faruq belum?” kilahku.
“Iya, bener. Power bank sama Oxford-ku juga masih sama Faruq.” Iqbal menimpali.
“Dititipin sama Abied kali. Coba tanya kalau ketemu sama dia.” Ahdi mencoba berpikiran positif.
“Aku WA deh,” kataku.
“Kalau lantai atas sepi gini berasa horor gitu nggak, sih?” ujar Narendra celingak-celinguk lalu cukup membuat kami kaget ketika ia melompat dan mendarat dalam posisi jongkok. Ekspresi mukanya berubah serius. “Kata Mr. Dani, tadi malam anak-anak lantai satu mendengar suara cekikikan begitu dari balkon. Terus pas Mr. Dani ngecek ke atas, katanya ada yang bergelantungan. Putih-putih di pintu.”
“Masa sih?” Fajar beringsut mendekat ke Haqqi dengan air muka memucat.
“Kata anak-anak Papua juga gitu.” Narendra menajamkan penglihatan seolah-olah ia memandang ke dimensi lain.
“Kapan Mr. Dani ngomong kayak gitu?” tanya Fajar lagi. Nadanya sangsi tetapi ekspresi ketakutan di wajahnya terlalu kentara untuk tidak disadari.
“Tadi subuh. Aku juga nggak percaya lho tapi believe me or not, aku nyium bau melati pas ke balkon bareng Mr. Dani.”
“Saat yang tepat untuk main pensil Charlie,” cetus Iqbal yang membuat otak kami semua mendadak beku.
“Eh, guys, ingat taruhan kita soal ‘Lazy Store’ kapan hari itu nggak? Hasilnya kan belum ketahuan. Gimana kalau yang kalah harus tidur di kursi balkon malam ini?” Haqqi berhasil mengalihkan topik. Namun, alih-alih lega, idenya sontak membuat yang lain mendengus lalu berkicau tak setuju. Rasa-rasanya lebih mending main pensil Charlie beramai-ramai daripada harus tidur di balkon sendirian.
“Dingin ah! Musim hujan gini lagi. Aku kan belum sembuh betul jadi nggak boleh berada di cuaca ekstrim,” elak Fikri beralasan.
“Aku lebih takut digilir tim party daripada ketemu Mbak Kunti,” ucap Narendra yang membuat kami semua bergidik.
“Lagian kalian yakin nggak sih Mr. Mahesa masih nyimpen foto ‘Lazy Store’ hari itu? Siapa tahu udah dihapus gara-gara memorinya penuh habis foto-foto di Bromo kemarin.” Ahdi ikut bersuara.
“Siapa tahu. Yang jelas, taruhan itu belum kadaluarsa ya. Nanti kalau ingat, aku tanyain Mr. Mahesa deh!” kata Haqqi lagi. “Anyway, Mr. Mahesa ke mana sih? Kok nggak kelihatan dari tadi ya? Ke office lagi?”
“Tadi sih di kamar mandi mungkin sekarang lagi di atas. Ngejemur pakaian. Ini nih si anak kurang ajar. Masa Mr. Mahesa nyuciin baju dia? Kan lu bisa bawa ke laundry, builder!” tuding Ahdi pada Fikri.
“Yee... itu mister-nya sendiri yang minta, masa aku tolak? Lagian kata mister jangan dibawa ke laundry nanti takutnya virus yang menempel di pakaianku menyebar ke pakaian orang lain,” bantah Fikri.