Aku absen dari semua kelas hari ini.
Aku perlu tempat sepi dan satu-satunya sudut di Pare yang memenuhi kategori itu adalah pematang sawah di luar kawasan pemukiman di Jalan Pancawarna. Aku beranjak ke sana dengan sisa-sisa tenaga yang nyaris terkuras habis karena syok.
Aku memandang pegunungan di kejauhan. Kurasa nasibku tak ubahnya seperti vegetasi hijau di lereng gunung berapi yang tumbuh subur di suatu waktu kemudian habis terbakar lahar panas ketika erupsi terjadi. Kebahagiaanku dipupuk sebesar-besarnya hanya untuk dipangkas kembali oleh duka.
Aku tahu kali ini aku tak boleh menangis. Tak adil rasanya jika aku menyalahkan teman-teman atas reaksi mereka setelah mengetahui fakta terkait ayah dan ‘dia’ yang ternyata adalah kakak dari Faruq. Aku percaya pada teori kebetulan. Namun aku tak menyangka bahwa salah satunya akan terjadi menimpaku. Dan alih-alih kebetulan yang membuatku tersenyum, peristiwa kali ini malah menyeretku kembali ke sudut-sudut gelap itu, serta menakut-nakuti teman-teman yang lain sehingga mereka tunggang-langgang melarikan diri.
Dadaku kini sesak oleh emosi, tetapi aku tak ingin melampiaskannya dengan menangis, berteriak, meraung, atau apa pun yang dulu pernah kulakukan di fase-fase awal kepergian ayah. Aku hanya ingin menghambur ke pelukan seseorang dan ditenangkan.
Aku merogoh saku jaket untuk mengambil ponsel cerdasku. Aku butuh ibu.
***
Setelah bercerita pada ibu, perasaanku menjadi sedikit lebih baik. Ibu bilang masa lalu kami akan selalu menjadi momok bahkan jika sudah digembok rapat dalam peti, jadi aku harus bersikap lebih dewasa lagi agar selalu dapat mengantisipasi kehilangan orang-orang terdekat. Ibu juga bilang, orang-orang seperti Narendra, Haqqi, Fikri, Ahdi, dan yang lainnya tak akan semudah itu meninggalkanku untuk suatu ‘dosa’ yang tak kulakukan, jadi aku mencoba bersikap optimis. Mungkin mereka hanya perlu waktu untuk belajar menerima.
Aku kembali ke camp menjelang magrib. Di depan tangga, aku berpapasan dengan Ahdi dan Fajar yang tadinya ribut menyabet-nyabetkan handuk sembari menuju kamar mandi, tiba-tiba bergeming ketika melihatku datang. Dengan canggung, mereka melangkah ke kamar mandi sementara aku bergerak ke kamar 24.