Hari ini Kamis, artinya dua hari sudah aku dipagut kesendirian meskipun secara kasatmata, aku selalu berada di perimeter mereka. Kami pun masih selalu berangkat ke Brilliant bersama-sama, kendati demikian aku tetap tahu diri untuk menjaga jarak 2 meter di belakang mereka. Di kelas, kurasa tak ada yang sadar bahwa aku tengah dimusuhi karena beberapa hari belakangan, kami menjadi terlalu serius menghadapi ujian sehingga agaknya normal melihat aku dan cowok-cowok tak lagi bercanda seperti biasa. Di camp, Mr. Mahesa mulai curiga bahwa sebenarnya bukan aku yang menjauh dari yang lainnya. Namun setiap ia ingin meminta penjelasan padaku, aku selalu menemukan cara untuk menghindar. Dan menilai dari sikapnya yang terus-terusan mencoba menginterogasiku, kurasa Mr. Mahesa juga tak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Narendra cs.
Setelah dua hari menutup mulut, entah kenapa malam ini aku merasa ingin menanyakan alasan kenapa teman-teman menjauhiku, meskipun aku yakin betul akan kepastian jawabannya. Gagasan tersebut muncul begitu saja setelah Mr. Mahesa minta diri untuk ke Camp 1 karena ada yang ingin ia bahas dengan Miss Dini.
Seperti malam-malam sebelumnya, Narendra, Haqqi, Fikri, Ahdi, Fajar, dan Iqbal sedang berkumpul di kamar 23. Dari dalam, sayup-sayup kudengar backsound games ditingkahi percakapan riuh-rendah yang menandakan bahwa mereka mulai terbiasa menjalani hari-hari tanpaku. Aku yang agak gugup untuk menunaikan niatku, bergeming sejenak di depan pintu kamar 23. Kulirik pintu yang tak tertutup rapat tersebut seolah-olah hal itu bisa memantapkan hatiku. Sedetik berikutnya, tanganku perlahan mendorong pintu tersebut. Enam orang yang ada di dalam sontak menoleh kemudian terpengarah melihatku.
“Boleh masuk?” tanyaku lirih. Tak ada yang menjawab. Mereka malah berpandangan.
Karena tak ada yang menanggapi, aku melangkah ke dalam kamar lalu duduk di dekat mereka. Fikri dan Fajar yang saat itu tengah berbaring buru-buru bangkit lalu duduk dengan kikuk.
“Kita jadi beda ya beberapa hari ini.” Aku membuka obrolan dan seperti yang kuduga, tak ada yang menyahut. Mereka jelas menganggap keberadaanku di kamar ini. Mereka bahkan menghentikan aktivitas yang mereka lakukan sebelumnya untuk menghargai kehadiranku, tetapi tetap saja mereka bungkam.
“Aku nggak tahu apa yang terjadi, tetapi kurasa kalian menghindariku,” ucapku blak-blakan mengutarakan inti dari apa yang menjadi keresahanku. “Kenapa?”