Kadang membiarkan situasi yang tidak kita kehendaki berjalan apa adanya adalah pilihan yang bijak ketimbang mencoba mencari salahnya di mana karena hal itu bisa jadi malah memperburuk suasana. Malam ini, aku berbuat kesalahan yang amat fatal. Tak seharusnya aku melampiaskan kekacauan yang menderaku pada orang-orang yang bersikap wajar terhadap keganjilan yang tengah mereka hadapi. Dulu, ketika aku melukai ‘dia’ dengan gunting, aku tak mengalami perasaan bersalah seperti ini karena aku tahu tindakan frontal tersebut tercetus setelah ia memporak-porandakan kehidupanku. Tetapi Fikri? Ia tenang seperti sungai dangkal yang jernih di pegunungan, dan kini aku membuatnya meluap, berjeram, dan bergolak kecokelatan. Orang macam apa aku ini?
Aku kini kehilangan muka untuk berhadapan dengan Narendra, Fikri, dan yang lainnya. Aku adalah duri dalam pertemanan mereka dan tidak sepantasnya aku terus-terusan hadir mengekor. Andai saja waktuku di Pare masih panjang, mungkin aku akan pindah tempat kursus saat ini juga. Sayangnya, kali ini aku hanya bisa pindah kamar. Besok pagi, aku akan membicarakan hal tersebut pada Mr. Fandi.
Untuk sementara, aku memilih balkon sebagai tempatku merenungi dan memikirkan cara meminta maaf pada Fikri meskipun pada kenyataannya, aku malah lebih sering terisak dan meratapi nasib buruk yang seperti enggan pergi dari hidupku.
Aku memejamkan mata dan tersadar kemudian bahwa mengenang itu pahit. Potongan-potongan momen indah bersama Mr. Mahesa dan anak-anak King Class lainnya yang menyerbu masuk ke benakku terasa sama perihnya dengan mengingat masa-masa kelam dua tahun yang lalu.
Aku merapatkan lututku ke arah dada dan memeluknya erat. Dengan segala hal buruk yang kualami belakangan ini, udara malam yang dingin menjadi semakin menusuk. Jika hujan turun sekarang, aku yakin alam semesta sedang berkomplot untuk membuatku semakin terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan.
Pikiranku memang tengah berkecamuk tetapi bukan berarti aku tak sadar jika terjadi sesuatu yang ganjil. Tubuhku yang tadinya kedinginan tiba-tiba merasakan hangat seolah-olah ada perapian yang muncul secara ajaib di depanku.
Aku menelengkan kepala ke samping. Mr. Mahesa menutupi tubuhku dengan setengah bagian selimut yang juga ia pakai untuk menghalau udara dingin. Aku terhenyak sesaat. Lagi-lagi Mr. Mahesa hadir di saat aku tengah terpuruk.
“Kamu merusak cita-citaku tahu nggak?” ucapnya tanpa melihatku. Pandangannya lurus ke depan. Melihat langit malam yang penuh gemintang. “Udah dua kali lho aku berbagi kehangatan sama kamu yang harusnya momen ini bakal jadi saat-saat romantis bagiku bareng orang yang kusayang. Di Bromo waktu naik ke Bukit Cinta, kita kayak pasangan LDR sepuluh tahun, peluk-pelukan nggak jelas di tangga gara-gara kamu menggigil berat kayak survivor kapal Titanic. Sekarang kita berbagi satu selimut sambil mandang bintang kayak Sherina sama Saddam.
“But, at least, kamu orang yang kusayang juga sih, jadi nggak papa lah.”
Mendengar kalimat-kalimat barusan, tanpa sadar, air mataku mengalir semakin deras. Aku memang terperosok dalam labirin gelap gulita, tetapi yang baru saja kusadari adalah, ternyata masih ada seseorang yang mengarahkan pelita ke jalanku. Secara bersamaan, aku dan Mr. Mahesa menoleh lalu pandangan kami bertabrakan. Aku tak ragu membiarkan diriku menangis di hadapannya karena tak ada lagi yang bisa kulakukan selain itu. Mr. Mahesa beringsut dan membawaku ke dalam rasa hangat yang lebih membuai dibanding selimut setebal dan selembut apa pun.
“Daddy.”
Mr. Mahesa memandangku lalu tersenyum.
“Kamu tahu, seorang ayah akan selalu mendengarkan keluh-kesah anaknya tanpa pernah menghakimi. Kalau kamu menganggap aku sebagai ayahmu, harusnya kamu nggak ragu untuk cerita ke aku tentang apa yang terjadi antara kamu dan yang lainnya.” Mr. Mahesa menghela napas. “Tell me what’s happening, Son.”
Aku akan bercerita, tetapi tidak sekarang karena aku tak ingin menyia-nyiakan kebersamaan ini yang mungkin juga tak bertahan seterusnya setelah Mr. Mahesa mengetahui borok dalam keluargaku nanti.
Tiba-tiba, aku ingin malam menjadi lebih panjang.
***
“Bir atau kokain? Dua-duanya bisa bikin masalah melayang terbang dari hidupmu.” Mr. Mahesa menyodorkan segelas air berwarna cokelat bening sementara di tangannya yang lain tergeletak sebutir pil.
Aku menggeleng.
“Every shortcut has a price usually greater than the reward.” Aku mengutip wise word dari Bryant McGill yang pernah kami hapalkan di kelas Speaking beberapa saat lalu.