“Nggak fair, guys, kalau kalian menghakimi Nawali atas apa yang diperbuat ayahnya.”
Aku tak berniat menguping, tetapi sesekali, suara Mr. Mahesa memang menembus dinding pembatas antara kamar 23 dan 24. Ia telah menepati janjinya untuk bicara pada Narendra dan yang lainnya hari ini. Sekarang, sudah berlalu satu jam sejak terakhir kali kulihat langkahnya melewati ambang pintu kamar 23. Aku yang meringkuk gelisah di kamar 24 merasakan gugup tak terbendung.
“Tetapi dia bisa aja ngikutin perbuatan ayahnya kan, Mister?” Itu suara Fikri.
“My dear kiddos, perbuatan yang kita lakukan adalah murni hasil dari pemikiran dan keputusan kita sendiri. Kadang memang ada pengaruh dari orang lain, tapi tetap aja kalau bukan karena kemauan kita pribadi, kita nggak akan ngelakuin itu. And you got the point? Kalau Nawali nggak memilih jalan yang dipilih ayahnya, dia nggak akan jadi seperti itu.”
“Kalau dia terpengaruh?”
“Harusnya kalian jangan langsung bersikap antipati terhadap dia begini, guys. You have to listen to him. Gimana tertekannya Nawali atas apa yang terjadi pada dia, gimana sakitnya perasaan dia ketika ayah yang ia sayangi justru meninggalkannya dan ibunya, kemudian memilih jalan hidup seperti itu. Perjuangan dia luar biasa berat lho, untuk akhirnya bisa berada di titik merelakan segala hal yang pernah terjadi di masa lalunya kayak gini.”
Kemudian sunyi. Aku tak tahu apa mereka bergeming setelah itu atau mereka kembali bicara dalam suara pelan. Aku menaruh harapan serendah mungkin. Tak mudah untuk menerima keadaanku, jadi aku hanya berdoa semoga Fikri dan teman-teman lainnya mau membuka hati untuk memaafkan kata-kataku tempo hari. Itu saja.
Lima belas menit kemudian, Mr. Mahesa kembali ke kamar 24.
“Ayo siap-siap. Kita berangkat jam 7 lho malam ini.”
Ia tak membahas hasil dari pertemuannya dengan teman-teman tadi dan aku juga tak ingin mengungkitnya dulu.
Semoga hari cerah tak lama lagi tiba. Aku benci dinaungi mendung.
***
Mr. Mahesa bilang aku harus optimis untuk memulai pembicaraan dengan teman-teman cowok. Dari kemarin malam sampai pagi ini, aku telah memantapkan niat, namun lidahku seperti terpasung. Mr. Mahesa bahkan telah mengatur agar aku dan Fikri bisa duduk bersebelahan di dalam bis dengan harapan aku bisa memulai pembicaraan dengannya meskipun hanya dengan sapaan kecil, tetapi tetap saja aku membisu dan jelas hal tersebut kini mengundang tanda tanya para anak perempuan.
“Kamu marahan ya sama yang lain?” tanya Nay ketika aku memilih untuk sarapan satu meja dengannya, Alea, Fasa, Arini, dan Desvia.
“Iya nih. Aku perhatiin kalian jadi diem-dieman. Nggak rusuh kayak biasanya.” Alea menimpali. “Lagi rebutan cewek ya? Tapi kok bisa satu versus enam? Apa jangan-jangan kamu naksir sama cewek yang ditaksir sama salah satu dari mereka ya? Terus karena mereka udah temenan duluan, jadinya mereka berkoalisi untuk musuhin kamu. Gitu?”
Aku menyesap es milo-ku lalu menggeleng pelan. Sejurus berikutnya, aku terhenyak. Kalau para cewek bertanya-tanya seperti ini, berarti Narendra dan yang lainnya masih tutup mulut mengenai fakta yang mereka ketahui tentangku. Aku menggigit ujung sedotan sambil berpikir.
“Malah ngelamun.” Alea menoyor bahuku pelan membuatku tersentak lalu kembali ke percakapan.
“Ya gitu deh,” gumamku.
“Apaan? ‘Ya gitu deh’-mu nggak menjelaskan apa-apa,” tukas Alea.
“Ada salah paham.”
“Ada salah paham terus kamu dimusuhin semua anak cowok? Aku jadi penasaran ya separah apa sih salah pahamnya.” Nay bertanya-tanya.
“Temenan itu yang kompak dong kayak kita,” cetus Desvia sembari menangkap tangan Arini lalu membentuk satu kepalan dengan tangannya.
“Nggak apa-apa kali ada intrik-intrik sedikit dalam persahabatan.” Alea membelaku. “Supaya nggak monoton. Aku pernah lho marahan sama Nay waktu kelas 7 karena rebutan pengen duduk deket Husin, tetapi dua jam kemudian kita udah temenan lagi.”
Hanya saja, masalahku tak sesimpel itu.
“Nay bisa bantu ngomong sama Narendra kalau ujung pangkal masalahmu ada sama dia,” ucap Alea lagi yang langsung mendapat sikutan protes dari Nay. Melihat gelagat Nay yang mendadak salah tingkah begitu, aku jadi bertanya-tanya, apa yang tidak kuketahui tentang Nay dan Narendra?
“Thanks, ya, tetapi sebentar lagi pasti juga udah kelar kok.” Bukannya aku tak menghargai kepedulian mereka, tetapi aku khawatir kalau ujung-ujungnya mereka malah ikut-ikutan tahu soal aku, ayah, dan ‘dia’.
“Kita juga melayani konseling gratis kalau mau curhat.” Alea menambahkan.
“Can I just go along with you, guys?”
“Tuh kan. Kalau sampai ngerasa insecure dan nggak nyaman gitu pas bareng anak-anak cowok, pasti masalahnya rumit.” Alea menyimpulkan.
“Nggak apa-apa. Gabung aja!” sahut Nay mewujudkan jawaban yang kuharapkan.
Karena waktu kami di Jogja cuma satu hari, kami hanya menyambangi beberapa tempat wisata di sana dan nyaris setengah hari kuhabiskan bersama anak-anak cewek. Mr. Mahesa berkali-kali membisikiku agar memberanikan diri untuk memulai meminta maaf pada anak-anak cowok, tetapi aku masih belum merasa cukup yakin untuk melakukan itu.
Setelah menghabiskan pagi di Prambanan kemudian terus ke Tebing Breksi dan menikmati kota Jogja dari atas di pelataran Candi Ijo, menjelang siang Mr. Mahesa meminta sopir bis untuk membawa kami ke Malioboro padahal aku masih sangat menikmati sejuknya atmosfer perbukitan di Candi Ijo.
Jam satu siang, kami tiba di benteng Vredeburg, tetapi alih-alih berwisata sejarah, lokasi benteng tersebut hanya kami sambangi untuk parkir bis. Sejam pertama di Malioboro justru kami habiskan untuk mengunjungi Taman Pintar dan aku masih mengekor Nay dan anak-anak cewek lainnya saat berkeliling di dalam wahana wisata edukasi tersebut. Aku didera rasa sedih dan patah hati ketika melihat Narendra dan anak-anak cowok yang lain begitu antusiasnya mencoba berbagai macam permainan di zona olahraga, sementara aku hanya duduk di salah satu sudut dekat permainan basket.
Aku terlonjak ketika tiba-tiba remote yang juga berfungsi sebagai tongkat dalam permainan baseball virtual tersodor tepat di depan wajahku. Dan aku lebih kaget lagi ketika yang menyodorkan remote tersebut adalah Ahdi.
“Mau coba?” tanyanya. Wajahnya datar, tetapi aku melihat ada perkembangan ke arah perdamaian hubungan kami yang merenggang.
Aku memandang remote yang disodorkan Ahdi dengan gamang sebelum akhirnya kuterima juga benda tersebut.
Sementara aku bermain dengan benak penuh tanda tanya, Ahdi tengah beristirahat dengan duduk di tempatku tadi seraya sesekali menyemangati Haqqi yang dengan sangat menggebu-gebu menendang bola digital yang diproyeksikan ke lantai.
Senyum pertamaku terbit hari ini.
***
Di depan pintu keluar, Mr. Mahesa menarik kerah bajuku. Ia menahanku untuk tak melenggang ke pelataran gedung bersama Alea dan cewek lainnya.
“Makan es krim dulu,” katanya.
Aku menurut. Kali ini aku kembali bergabung dengan anak-anak cowok yang sibuk memilih rasa es krim di dalam peti.
“Kamu mau rasa apa?” tanya Mr. Mahesa sambil menyekop sesendok es krim lalu membawanya ke dalam mulutnya. Harum es krim Mr. Mahesa menyusup ke rongga penciumanku. Aromanya membuat liurku menetes.
“Nggak, Dad, eh, Mister. Aku kehabisan uang cash,” ucapku. Aku tak berkilah. Kali ini situasinya benar-benar seperti yang kukatakan.
“Guys, ada yang mau beliin Nawali es krim nggak? Uangnya habis nih. Kasian. Air liurnya netes tuh kayak stalaktit!” seru Mr. Mahesa pada yang lainnya tanpa kuduga. Aku terperanjat syok, begitu juga dengan Narendra cs. yang sontak menghentikan aktivitas menjilat-jilati es krim mereka. Suasana hening yang kikuk mengalir saat ini.
“Nggak ada ya? Ya udah. Maaf ya, Wal. Kamu ambil es krimku aja deh. Aku lagi berhemat nih soalnya uangku juga tinggal sedikit.” Mr. Mahesa bersiap menyerahkan es krim di tangannya padaku ketika Fikri tiba-tiba berucap,
“Pilih aja. Nanti aku yang bayarin sekalian.”
Aku dan Mr. Mahesa sontak menoleh ke arah Fikri dengan tercengang. Fikri yang canggung ditatap dengan belalak kaget begitu lantas memalingkan muka, menghampiri Haqqi, dan mencomot kentang goreng di tangan Haqqi.