Setelah kurang lebih satu jam di perjalanan, akhirnya kami tiba di pelataran Candi Borobudur sesuai dengan waktu yang kami rencanakan yaitu sebelum fajar. Oh ya, kami mengubah rencana perjalanan setelah Mr. Mahesa didesak oleh enam belas orang yang sepakat ingin mengikuti tur menyaksikan matahari terbit langsung di Borobudur dibanding menonton atraksi alam tersebut dari puncak Punthuk Setumbu. Memang sih biaya masuk ke Borobudur sebelum jam operasional begini lima kali lipat lebih mahal daripada tiket Punthuk Setumbu + tiket masuk Borobudur di waktu normal. Namun, momen seperti ini mungkin hanya bisa kami peroleh hari ini. Aku berani bertaruh, hanya keluarga petualang seperti keluarga Fikri yang mau bangun subuh-subuh buta dan membayar mahal untuk melihat sunrise dari Candi Borobudur. Keluarga kami pada umumnya jelas memilih untuk mengunjungi Borobudur di atas jam enam pagi dengan tiket di bawah 50.000 rupiah.
Aku merapatkan jaket sambil menumpukan pegangan di pagar teras tengah. Alih-alih ke tingkat paling atas Borobudur yang memang menjadi panggung buat para wisatawan untuk menyaksikan matahari terbit, Mr. Mahesa membimbing kami untuk memilih teras tengah yang lebih sepi sehingga kami bisa leluasa menikmati sang surya muncul dari peraduannya tanpa terganggu decak kagum yang lebih terdengar seperti celotehan riuh.
“Andai boleh bawa minuman hangat kayak di Bromo ya,” gerutu Fikri.
“Eh, mataharinya udah mulai muncul tuh!” Narendra menunjuk ke arah timur di mana semburat cahaya jingga bercampur ungu mulai mencabik-cabik pekatnya langit. Perlahan tapi pasti, sang penguasa hari itu menampakkan diri dari balik punggung Merapi. Aku menahan napas. Untuk ke sekian kalinya, rutinitas alam yang tak setiap hari bisa kami saksikan ini berhasil membiusku. Perpaduan antara langit yang berangsur-angsur terang dengan suara kokok ayam dan cicit burung adalah harmoni maha sempurna yang tak bisa dikalahkan oleh pertunjukkan buatan tangan manusia mana pun. Sekolosal apa pun itu.
“Nggak rugi sih beli tiket dua ratus ribuan demi pemandangan kayak begini,” komentar Haqqi. “Lebih bagus dari di Bromo.”
“Di Bromo kemarin bukannya nggak bagus, tapi kurang khidmat aja karena pengunjungnya membludak kayak jemaah salat Idul Fitri,” sahut Narendra.
Ketika matahari makin meninggi dan suasana pagi mulai terang-benderang, Borobudur pun menjadi kian ramai karena jam operasional untuk pengunjung umum telah dibuka. Mr. Mahesa dan para perempuan menuju ke teras teratas untuk berfoto-foto dengan latar stupa, sementara kami—para cowok—lebih memilih tinggal di teras tengah ini. Tempatnya hening dan terasa lebih syahdu. Lorong-lorong yang dibatasi dinding-dinding candi penuh ukiran relief tampak fotogenik jika diabadikan sebagai latar berfoto.
“Eh, guys, sekitar tiga hari lagi kan kita pulang, terus kayaknya bakal jarang ngumpul karena sibuk dengan kegiatan dan teman masing-masing.” Ahdi membuka obrolan di tengah aktivitas foto-foto kami.
“Iya ya. Kalau udah ketemu teman lama, pasti bakal susah ngumpul-ngumpul sama kalian. Apalagi kita kelasnya beda-beda.” Fikri menimpali.
“Apa kabar aku yang sekolahnya beda,” celetukku.
“Ya udah, kalau gitu nanti kita nyiapin waktu aja buat hangout bareng. Pas Ramadan juga bisa nge-agendain buka bersama. Yang penting grup WA kita jangan dihapus dan kalau ada yang ganti nomor, tolong kasih kabar.” Narendra mengajukan usul.
“Well, sebenarnya aku pengen ngingetin aja sih kalau dulu kan kita sempat bikin challenge tuh soal ‘Lazy Store’. Pada ingat nggak?” ucap Ahdi lagi.
“Ingat, ingat. Yang Nawali jawabannya beda sendiri kan? Padahal beberapa hari lalu kita udah pernah bahas deh, tetapi ke-distract sama perang dingin kemarin,” sahut Haqqi.
“Kemarin hukumannya apa sih buat yang salah jawab?” tanyaku.
“Tidur di tempat jemuran kan? Tapi kayaknya udah nggak relevan deh. Sayang aja kan kalau ada yang tidurnya misah, padahal kita udah mau pulang,” jawab Ahdi.
“Benar juga ya. Ya udah kalau gitu ganti aja punishment-nya,” usulku.
“Apa ya?”
Selama beberapa menit, kami sibuk dengan pikiran masing-masing—mencari ide mengenai hukuman buat yang kalah challenge waktu itu. Entah perasaanku saja atau apa, kulihat yang lainnya hanya seperti pura-pura berpikir.
“Nggak jalan otakku!” seru Fikri sembari mendengus sebal. “Yang klasik aja deh jadi hukumannya bisa dipikirin entar.”
“Apaan emang?” Tuh kan! Nada bertanya Iqbal kentara sekali kalau ia hanya pura-pura tertarik dengan ide Fikri.
“Yang salah harus nurutin permintaan dari yang benar.”
“Setuju setuju! Ya, gitu aja deh. Jadi lebih menguntungkan!” Haqqi melonjak sependapat.
“Aku juga setuju. Apapun deh hukumannya asal challenge kita waktu itu nggak tenggelam gitu aja,” pungkas Narendra. “Yang lain gimana?”
Tak ada yang memiliki pendapat berbeda kecuali aku yang masih terdiam. Aku mencium ada sesuatu yang tampaknya direkayasa di sini. Namun kemudian, aku ikut mengangguk.
“Mr. Mahesa gimana?” tanyaku tiba-tiba teringat bahwa dia kan juga ambil bagian dari challenge ini. Bahkan kunci jawabannya ada pada Mr. Mahesa.