Kami tiba kembali di Kampung Inggris pada malam harinya dan perjalanan kali ini adalah yang terpanjang sekaligus paling melelahkan dibanding ketiga liburan kami sebelumnya. Aku sedang menyusun oleh-oleh ke dalam koper ketika Mr. Mahesa masuk ke kamar dan berkata,
“Besok pagi kita berangkat ke Surabaya. Aku udah minta Haqqi buat ngurusin segala persyaratan sertifikat kamu, and he agreed.”
“I hope everything runs well, Dad.”
“Sure.”
Mr. Mahesa mengambil tempat di sebelahku lalu menopangkan tangannya di pahaku. Kepalanya meneleng. Belakangan kusadari bahwa itu adalah gestur naturalnya ketika ingin melontarkan kalimat-kalimat bijak.
“Tahu nggak, Wal, ada satu hal yang selalu datang dalam hidup kita tetapi nggak pernah berulang dalam bentuk yang sama.”
Aku memiringkan kepala lalu berucap pelan. “What’s that, Dad?”
It’s ‘yesterday’. Hari kemarin.” Mr. Mahesa menepuk-nepuk pahaku lembut. “Setelah hari berganti, maka hari kemarin kita akan tiba, dan seperti sidik jari milyaran manusia, ia nggak pernah identik. Kamu tahu kenapa bisa kayak gitu?”
Aku menggeleng. Seandainya aku tahu pun, kurasa aku akan tetap menggeleng karena tafsiran Mr. Mahesa tampak lebih menarik dibanding tanggapanku.
“Karena kita, Wal. Kita yang menentukan apakah kita akan membuat hari ini sama saja seperti hari kemarin, atau nggak. Namun nyatanya, nggak pernah ada satu manusia pun yang mengalami hari yang sama persis karena secara alamiah, kita selalu memacu diri kita untuk berbuat sesuatu yang lebih dari apa yang pernah kita lakukan. Hari kemarin itu nggak ubahnya kayak foto digital yang baru saja kita ambil. Kalau ternyata hasilnya nggak bagus, kita pasti bakal ngulang nekan tombol shutter setelah mencari sudut atau pose yang lebih baik.”
Aku menghela napas. Pandanganku menerawang menelusuri kilasan-kilasan kisah getirku yang jika bisa, ingin sekali kuhapus dari memoriku.
“Aku ngerasa nggak perlu buat nengok ke belakang lagi to fix my life today.” Aku menyapukan pandangan pada dinding kosong di hadapanku, lalu menggumam. “Meskipun kadang aku berpikir that my yesterdays are ghosts that always haunt me. Apa aku nggak berhak atas hari esok yang lebih cerah tanpa harus dihantui hari-hari kemarin itu, Dad?”
Mr. Mahesa menarik napas panjang. Telunjuknya menyentuh bagian bawah daguku lalu secara perlahan, jarinya menuntun pandanganku agar sejajar dengan sorot mata Mr. Mahesa yang tampak redup karena lelah namun berusaha ia kamunflasekan dengan tatapan optimis menyemangatiku.
“Kamu tahu kan hantu itu apa? Arwah nggak tenang yang bangkit dari kubur. Misinya cuma satu yaitu menyelesaikan urusan yang belum ia tuntaskan semasa hidup. Ke mana pun urusan yang belum tuntas itu berusaha untuk bersembunyi, hantu itu akan selalu mengejarnya dan menemukannya. All we have to do is face it. Dia bakal balik ke alam barzakh kok setelah masalahnya kelar. So my brave son, a true gentleman won’t turn back and run.”
Mr. Mahesa mengacak-acak rambutku sebelum ia beranjak keluar kamar sambil bersenandung kecil. Perkataannya barusan menipiskan kabut keraguan yang tadinya mengepul di kepalaku.
***
Kereta yang kami tumpangi berangkat pada pukul setengah sembilan pagi dari Stasiun Kediri dan tiba di Surabaya empat jam berikutnya. Sebenarnya Mr. Mahesa mengusulkan untuk memakai jasa travel saja karena perjalanan ke Surabaya dengan mobil lebih cepat setengahnya dibanding dengan kereta. Namun, aku ngotot ingin naik kereta karena aku ingin waktu terbentang lebih lama sebelum akhirnya berhadap-hadapan dengan ‘dia’. Sejujurnya, aku tak peduli dengan pertemuan ini namun bukan berarti sikapku bisa santai saja menjelang detik-detik bertatap muka dengan orang yang telah menghancurkan hidupku. Mendengar suaranya membuatku mual.
Mr. Mahesa tak sedikit pun mengungkit-ungkit masalahku dan ayah di sepanjang perjalanan. Kemungkinan besar, ia ingin memberikanku masa tenang karena beberapa jam dari sekarang, ujian hidupku akan terpampang nyata di depan mata. Alih-alih demikian, Mr. Mahesa justru membeberkan kisah cintanya yang selama 25 tahun hidupnya, hanya pernah terpaut pada satu orang. Aku merasakan ikatan personal yang makin menguat di antara kami. Ditambah lagi dengan lengan Mr. Mahesa yang melintasi pundakku, membuaiku dalam keintiman hubungan ayah dan anak yang hangat, rasanya aku ingin bumi memuai memisahkan Kediri dan Surabaya lebih jauh dari 4 jam perjalanan darat.
Namun, jarak tetaplah jarak yang akan terjamah dalam durasi yang telah diestimasi. Pukul 13.00, bertepatan dengan gerimis yang menderas jadi derau hujan, aku dan Mr. Mahesa melangkah ke luar dari Stasiun Gubeng Surabaya dan kami telah ditunggu oleh ‘dia’ yang bersandar pada mobil hitam mentereng dengan memegang dua buah payung. Satu payung telah terkembang untuk menaungi dirinya dan satunya lagi mungkin untuk kami. ‘Dia’ bergegas menyusulku dan Mr. Mahesa yang berteduh di bawah selasar stasiun.
“Hai, saya Mahesa,” sapa Mr. Mahesa menjulurkan tangan pada ‘dia’. ‘Dia’ menyambut uluran tangan Mr. Mahesa lalu menyunggingkan senyum ramah. Aku gencar berdoa mudah-mudahan Mr. Mahesa tak ikut terpikat padanya.
“I am Mara. So nice to meet you, Sir.”
Perjalanan kami selanjutnya diisi dengan obrolan Mr. Mahesa dan ‘dia’, oke, Mara, yang terlihat cukup akrab untuk orang yang baru saja berkenalan. Mara yang berada di belakang kemudi tampak mengulik kehidupan Mr. Mahesa dan selintas-selintas, aku tahu kalau usia Mr. Mahesa dan Mara sama persis. Mereka lahir di tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Mudah-mudahan mereka tidak berjodoh. Aku memang kejam karena menurutku, lebih baik ayah tak usah kembali menjadi ayah yang dulu daripada aku harus kehilangan Mr. Mahesa.
Aku yang memilih duduk di belakang memutuskan untuk menyumpal telingaku dengan headset karena hujan tak cukup ampuh meredam suara Mara untuk mampir ke indra pendengaranku.
***
Aku duduk di antara kardus-kardus besar di sebuah ruangan yang sangat lapang di rumah Mara. Mr. Mahesa rapat di sampingku, seolah siap siaga dengan segala kemungkinan terburuk yang akan kulakukan. Sementara itu, Mara duduk di depanku dengan sikap kikuk yang kentara. Ia melemparkan senyum ragu ketika pandangan kami bertabrakan. Aku membuang muka.
“Diminum tehnya, Sa, Wal. Maaf ya baru pindahan jadi masih berantakan.”
Entah kenapa aku tidak senang ada yang memanggil Mr. Mahesa hanya dengan namanya. Miss Dini, Ibu Nay, dan tutor-tutor kami di Brilliant saja memanggil Mr. Mahesa dengan embel-embel ‘mister’.
Mr. Mahesa mendekatkan cangkir teh ke bibirnya lalu menyesap isinya sedikit. Aku tak mengekor.
“Kamu bisa mulai cerita kok, Ra. It’s getting awkward kalau kita terus-terusan diam begini.”
Mara melirikku lagi. Ia tersenyum gugup kemudian berdeham.
“Aku mulai dari mana ya?”
“Kenapa-ayah-lebih-memilih-kamu-ketimbang-aku dan ibu?” pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulutku dan kuucapkan dengan penuh penekanan pada setiap kata penyusunnya.
Mendengar nada bicaraku yang tajam, Mara agak terkejut dan meresponnya dengan air muka kecut. Aku senang melihatnya gentar.
“Pertama kali aku ketemu ayahmu…. saat itu dia masih mahasiswa semester 7 Unesa dan sedang PPL di sekolahku. Aku yang pada dasarnya emang nggak pernah suka olahraga makin leluasa untuk membolos karena di pikiranku, guru PPL nggak bisa seenaknya menghukum siswa, toh pada saat ujian praktik akhir nanti, mereka pasti minta kami buat kooperatif, jadi siswa yang menyenangkan, aktif, dan partisipatif di kelas supaya nilai mereka bagus di hadapan dosen penguji. Singkat cerita, karena aku nggak pernah masuk pas pelajaran ayahmu, aku jadi pusat perhatian dia. Dia memanggilku untuk datang ke kantor, ngajak ngobrol, nyari tahu kenapa aku selalu bolos saat jam olahraga, sambil pelan-pelan ia membujukku untuk hadir di kelasnya. Pada awalnya emang nggak berhasil, tetapi as the time went by, akhirnya aku luluh juga, dan lama-kelamaan aku malah merasa nyaman ngobrol sama ayahmu. Waktu ayahmu selesai PPL di sekolahku, kami masih sering ketemu di luaran, and at one time, he confessed. Aku tahu cinta kami salah, terlebih ayahmu juga sudah beristri, tetapi aku sudah terlanjur sayang sama ayahmu dan akhirnya mengiyakan untuk jalan sama dia”
Aku ingin sekali menutup telinga atau kabur dari tempat tersebut karena dongeng Mara begitu menjijikkan. Namun, aku sudah berjanji pada Mr. Mahesa untuk tidak beranjak dari tempat ini sebelum urusanku selesai. Aku menahan diri untuk tidak muntah.
“Hubungan kami mulai sulit saat aku harus melanjutkan pendidikan di Singapura dan Australia sementara ayahmu juga memutuskan untuk pulang ke Banjarmasin setelah lulus kuliah. Ayahmu mendesakku untuk menyusulnya ke Banjarmasin setelah aku lulus dari Le Cordon Blue, tetapi aku gamang. Hal tersebut malah membawaku untuk berterus terang pada keluargaku di Surabaya. I came out. Ayah meninggal karena serangan jantung. Aku dimusuhi seluruh keluargaku dan Faruq langsung diadopsi oleh om-ku karena ia khawatir Faruq akan terpengaruh. Keadaanku yang luntang-lantung waktu itu makin menguatkan niat ayahmu mengajakku ke Banjarmasin. Dan akhirnya aku pun mengikuti kehendaknya. Ayahmu menyerahkan tabungannya padaku sebagai modal agar aku bisa memulai bisnis kulinerku sendiri.”
“Pada intinya aja deh!” selaku gusar.
“Wal,” tegur Mr. Mahesa. Ia menoleh pada Mara lalu berkata, “Just go on.”
“Singkatnya, hubunganku dan ayahmu makin menguat apalagi aku juga mulai dekat denganmu kan pada waktu itu?” lanjut Mara.
Aku melemparkan wajah ke samping. Maksud Mara jelas terbaca. Ia pasti ingin memanfaatkan kenangan-kenangan kami sebagai titik kelemahanku. Sayangnya, hal itu tak akan berhasil. Aku tak sesentimental itu untuk bisa dicairkan hanya dengan mengingat masa lalu yang manis.
Mara kembali melanjutkan meskipun jujur saja aku sudah tak berminat mendengar semua penuturannya. Lagipula ia bicara jujur atau berbohong, hanya Tuhan yang tahu.
“Sampai pada akhirnya, aku mendapat info bahwa sekolahku di Singapura tengah mencari pengajar. Aku memasukkan lamaran dan diterima. Di titik itulah ayahmu memutuskan untuk berterus terang pada ibumu bahwa ya begitulah dia. Ayahmu menyayangi ibumu, itulah kenapa ia menikahinya, tetapi keadaan ayahmu membuat dia merasa ada yang kurang dalam pernikahannya. Ia menyayangi ibumu, tapi tak bisa mencintainya secara utuh karena bertahun-tahun ia mencoba, ia tetap tak bisa memandang ibumu seperti ia memandangku.”
Realitas menyadarkanku. Di benakku terbersit lagi satu fakta getir yang sebenarnya kali ini terasa tawar-tawar saja mengingat aku sudah tak begitu peduli dengan segala kehidupan masa laluku yang bersinggungan dengan ayah dan Mara. Jadi meskipun kini aku tahu bahwa kehadiranku di dunia ini ternyata tak berdasarkan cinta melainkan hanya bentuk kewajiban ayah sebagai seorang suami, aku tak sedih dan kecewa sama sekali.
“Ayahmu tak bisa menuntaskan naluri alamiahnya. Itulah kenapa akhirnya ia mengambil keputusan berat itu untuk bercerai dengan ibumu, menikahiku, dan kami tinggal bersama.”
“Tetapi kenapa ayah meninggalkanku? Kenapa ayah nggak mengajakku untuk tinggal bersamanya? Kenapa ayah nggak mau ketemu aku ketika aku menyusulnya ke Singapura waktu itu?” tukasku sinis.
Mara terdiam beberapa saat. Bola matanya berputar, seolah ada keraguan yang menggelayuti bibirnya.
“Sama seperti keluargaku yang menjauhkan Faruq dariku, alasan ayahmu juga karena ia ingin kamu hidup di lingkungan normal. Ia nggak ingin kamu merasa malu karena punya ayah yang mengambil jalan berbeda dari orang kebanyakan. Ayahmu khawatir kalau ia masih berhubungan denganmu, ikatan di antara kalian nggak akan bisa putus. Kamu akan terus merengek agar ayahmu bisa kembali dan ia juga akan terbebani oleh rasa sayangnya padamu.”
“My father doesn’t love me anymore!” seruku seraya mengukir seulas senyum pahit.
“Your father loves you but he wanted you to hate him.”
“Oke, kalaupun semua yang kamu omongin itu bener, jadi apa? Apa ini akan bikin aku berubah pikiran untuk berbalik menerima ayah?” Aku menyeka air mataku dengan cepat lalu bangkit. Sial! Kenapa aku menangis? “Dia mau aku benci sama dia kan? It works.”
“Wal,” Mr. Mahesa merengkuh tanganku, mengajakku kembali untuk duduk, tetapi aku menepis tangannya. Maaf, Dad! Kali ini aku punya keputusan sendiri.
“Sebulan setelah kamu datang ke Singapura, ayahmu menyadari bahwa gagasannya benar-benar salah dan ia menyesali semuanya.”
“Klise!” raungku. “Sekarang tunjukkin ke aku, gimana cara kamu ngebuktiin kalau semua yang kamu omongin itu bener? Gimana?!!”
Aku tahu Mara tak punya jawaban yang bisa memuaskanku.