Aku menggendong Maliqi yang dari tadi terus-terusan rewel karena jauh dari dekapan ibunya. Malikha tak bisa diganggu. Ia menangis sesenggukan seperti kali pertama padahal sudah setahun berlalu sejak kejadian itu. Haqqi yang juga tak bisa diserahi Maliqi sibuk menenangkan istrinya yang tak bisa berhenti mengucurkan air mata.
Aku yang sepertinya belum memiliki naluri seorang ayah tak berhasil meredakan tangis Maliqi. Untungnya, Nay yang sigap segera mengambil alih batita itu dan sekejab kemudian, Maliqi tertidur di pelukannya. Mungkin pulang dari sini nanti aku harus mencoba teknik baru agar penyemaian benih di rahim Nay bisa lebih efektif.
“Kalau Maliqi nyaman sama kamu, bisa-bisa Haqqi sama Malikha bayar kamu jadi nanny lho,” bisikku bercanda.
“Makanya kamu jangan males-malesan bikin baby ntar aku malah keasyikan ngurusin anak orang,” kelakar Nay. Aku menarik tubuhnya lalu melingkarkan tanganku melintasi pinggangnya.
“Sori, telat. Pesawatnya delay dua jam.” Seseorang menepuk pelan punggungku. Aku dan Nay sontak membalik tubuh dan mendapati Fikri yang terengah-engah. Aku segera memeluk Fikri yang kini posturnya tinggi menjulang bahkan melampaui Haqqi yang dari dulu selalu unggul dalam faktor tinggi badan dari kami semua.
“Yang lainnya udah pada datang kan?” tanya Fikri sembari melepas kacamata hitamnya. Ia mengusap-usap gemas pipi Maliqi ketika menyadari kehadiran anak itu di gendongan Nay. “Ini anak kalian?”
“Udah,” sahutku menjawab pertanyaan Fikri satu-satu. “Dan ini Maliqi. Baby-nya Malikha sama Haqqi. Nggak nyangka sih aku kalah subur sama Haqqi yang baru setahun nikah,” candaku ringan.
“Mau second honeymoon? Aku baru bangun resort di Karimun Jawa. Kali aja suasana pegunungan di Ubud kemarin nggak klop,” tawar Fikri. Aku memandang Nay yang balik menatapku dengan senyum misuh-misuh.
“Gratis?”
“Apa sih yang nggak buat lu.”
Kami terkekeh bersamaan.
“Oh ya, Narendra datang nggak?”
Aku tercekat sesaat. Raut mukaku digelayuti penyesalan. Aku menggeleng.
“Kurasa dia belum maafin kami. Kemarin di nikahan Nadya sama oppa-nya dia juga nggak ikut kumpul-kumpul kan? Langsung pergi gitu aja setelah salaman,” kataku sambil tertunduk. Nay menggenggam erat tanganku. Menenangkan.
“Udahlah. Bukan salah lu juga.” Fikri menepuk-nepuk punggungku pelan.
“Tapi aku tetep ngerasa nggak enak hati karena gara-gara aku, sejak saat itu formasi kita nggak lengkap.”
“Seandainya Narendra berani terus terang sama perasaannya dari dulu, mungkin dia nggak bakal patah hati begitu. But, let bygone be bygone. Kalau cinta bisa menghancurkan persahabatan, maka itu bukan cinta.”
Sebuah suara yang amat familiar menyentuh gendang pendengaran kami bertiga. Aku mengangkat muka dan terperanjat bukan main ketika pandanganku menumbuk sosok Narendra yang berdiri di depanku sembari menyusupkan kedua telapak tangannya ke saku celana.
Aku tak sanggup bernapas karena dadaku rasanya sesak oleh perasaan haru yang membuncah. Mataku berbinar-binar. Dan ketika setetes tangis jatuh ke pipiku, Narendra merentangkan kedua tangannya. Tak pakai pikir panjang, aku menghambur kalap ke pelukannya.
“Maaf karena waktu itu aku nggak bersikap dewasa,” ucap Narendra tergugu.
“Aku yang minta maaf karena selama ini nggak tahu kalau kamu suka sama Nay,” kataku terisak-isak. Aku mengetatkan pelukanku. Aku benar-benar menyesali dua tahun terakhir di mana hubunganku dan Narendra sempat renggang.
Nay, istriku, menghampiri kami dan baru saat itulah aku melepaskan Narendra yang sedari kupagut erat. Aku mengusap air mata yang membanjir di pipiku.
“Apa kabar?” tanya Narendra dengan santai pada Nay. Ia tampak benar-benar sudah move on.
“Baik. Kamu?” tanya Nay balik. Ia menyodorkan tangan.
Narendra tampak ragu sesaat. Ia membiarkan tangan Nay menggantung beberapa detik lalu menoleh padaku. Ketika aku mengangguk, barulah Narendra menyambut uluran tangan isteriku itu.