Sengatan Mentari fajar.
Pikiranku terjaga di Neraka Jahanam. Semesta paralel yang menelanku selama delapan jam terakhir masih enggan mengizinkanku tinggal lebih lama. Denyutan di kepala memaksaku menyeret kaki ke kamar mandi, menahan mual, sambil menatap raut kusut pribumi-oriental yang selalu menyapaku di pagi hari. Beberapa area kulitku memerah karena sengatan Mentari, disertai rambut cepak berminyak, sebagai ciri-khas seorang,
“Anak Pelac*r.”
Ya. Hey, Anak Pelac*r! Kiasan itu melekat di tubuhku sejak belia. Entah mengapa julukan itu tak lekang oleh waktu. Padahal, Ibu hanya mencari keadilan tentang statusku sebagai seorang anak dari pria yang menidurinya. Oh, atau yang dirayunya. Tepat sekali. Itu yang membuat Saudara tiriku menyebutku sebagai Anak Pelac*r.
Alam bawah sadar terus menggodaku untuk kembali ke kasur. Namun... logika memaksaku bergerak cepat, mengingat tak banyak waktu tersisa sebelum lonceng sekolah bergema. Saat melewati dapur, aku melihat Ibu begitu sibuk menyiapkan paket bekal. Nyatanya, tiap hari kubuang makanan itu ke tong sampah. Paling tidak, dirinya masih mengingat tugas utama seorang wanita. Menyiapkan sarapan pagi. Wajah letih begadang-semalaman begitu khas menempel di kepalanya. Bisa jadi, bekerja sebagai Pelayan nightclub adalah satu-satunya pilihan terbaik dalam hidupnya. Atau sebaiknya, kubilang sebagai kutukan.
“Jerom, bawa bekalmu kali ini,” tukasnya sambil mencuci piring dan gelas yang kupakai semalam. “Bisa ‘kan, paling tidak, cuci sendiri peralatan makan yang kau pakai?”
“Terlambat. Sampai nanti,” balasku singkat sambil memasang helm dan mengeluarkan sepeda gunung ke pekarangan.
“Jangan lupa ini,” cengkeram Ibu ke pundakku. Bahkan, dia masih sempat memasukkan bungkusan kertas itu ke dalam tasku, me-ritsleting-nya kembali, lalu mengecup ubun-ubunku. “Yang rajin belajarnya. Jangan badung di sekolah.” Kau pikir itu mudah?
Berangkat sekolah ketika mega merah masih menyelimuti adalah pilihan yang tepat. Udara yang masih kaya oksigen bisa terserap sepenuhnya ke tubuhku. Oksigen segar mampu mengubah mood burukku menjadi baju zirah untuk menghadapi kebrutalan baru di hari ini. Paling tidak, dinding kesabaran sedikit-demi-sedikit membaluti tubuhku. Dan komitmen penting yang harus kuingat: urus dirimu sendiri dan jangan cari masalah.
Kesemerautan ibu kota mulai tampak saat Mentari bersinar. Sayangnya, polusi yang dikeluarkan Singa Besi tanpa segan menghancurkan oksigen yang kubutuhkan sebagai peredam amarah. Rasanya, ingin sekali kubakar makhluk sialan di dalam logam terkutuk itu. Mereka sama sekali tak memiliki toleransi terhadap hak manusia untuk hidup. Tentu saja! Hidup bebas dari polusi. Akal makhluk itu berkelit: ah, belum mati ini, toh? Ketololannya menjadikan mereka seperti binatang ternak, yang kemudian dibantai dan dimakan. Bahkan ketika menunggu palang rel kereta terangkat, seragam putihku sudah keruh akibat asap buruk rupa dari bongkahan mesin tak terawat. Dasar binatang.
Gerbang sekolah mulai dipenuhi oleh para remaja berhormon labil yang sibuk dengan imajinasi mereka sendiri. Ada yang sibuk menempelkan riasan tebal, padahal penjaga sekolah secara diam-diam mengambil foto dari apa yang tersembunyi di balik rok mini mereka. Ada yang merekam kegiatan harian untuk dibagikan ke media sosial hanya untuk menambah pengikut, suka, komentar, atau bahkan uang dari iklan. Saking menggebunya, mereka tak menghiraukan tata tertib lalu lintas dengan sembarangan menerobos zebracross ketika lampu merah pejalan kaki menyala.
Ada yang secara konsisten membangun citra diri sebagai anak baik-baik dengan cara saling menyapa. Dan itu semua hanyalah kepalsuan agar bisa populer sebagai anggota organisasi siswa. Dan yang paling mendominasi adalah golongan elit, lengkap dengan Singa Logam mereka, yang kupikir mustahil seorang bocah ingusan mampu membeli kendaraan seharga rumah mewah... atau bahkan... bisa memberi makan ribuan gelandangan. Itulah mereka.
Kuucapkan selamat datang di Sekolah Menengah Atas ternama ibu kota... dengan segala kebusukan di dalamnya.
Ketika kuparkir sepeda, para golongan elit sedang berkerumun. Mereka tampak luar biasa dengan segala pernak-pernik kelas atas dari ujung kaki hingga ujung kepala. Alexa, gadis tujuh belas tahun, sedang asyik santai di pintu SUV mewahnya, sambil dipeluk dari belakang oleh... pacarnya. Bibirnya begitu apik mengisap nikotin yang asapnya menambah polusi di Neraka ini. Air mukanya cukup polos bagiku. Tak sedikitpun riasan tebal menempel di kulitnya yang bersih. Tak seperti para pengikutnya, yang kupikir, wajah mereka tampak dua puluh tahun lebih tua dari usia remaja.
Herannya, para komplotan itu tak cemas jika saja ada Guru yang memergoki mereka dan memberi sanksi skors selama seminggu. Ah! Hukuman remeh. Malah, sanksi skors adalah berkah terbesar yang bisa mereka gunakan untuk mengunjungi klub malam di hari kerja. Atau, para Petugas sekolah hanya menasehati mereka dengan akting terburuk. Membentak. Merebut puntung rokok. Pergi tanpa solusi. Ya. Orangtua mereka termasuk ke dalam barisan konglomerat di Negeri ini. Dan uang... memenangkan segalanya.
Seorang lagi yang tak perlu mengkhawatirkan masa depannya adalah Kevin. Remaja delapan belas tahun, seusiaku, dinobatkan sebagai Raja di Neraka Jahanam ini. Dia memiliki segalanya. Kekuasaan. Kekayaan. Kekuatan. Hak istimewa yang diberikan kepada anak dari salah satu orang paling berpengaruh di Negeri. Bukan hanya itu, dia seperti tak tersentuh. Kevin memiliki hak untuk melakukan apapun tanpa harus memikirkan konsekuensinya. Dia hanya tinggal menjentikkan jari jika ingin melenyapkan makhluk yang dianggapnya tak pantas hidup. Bahkan, kebengisannya adalah harapan bagi para penjilat untuk bisa merasakan sedikit hasrat pembunuh yang memang bersemayam di tubuh kami. Para penjilat itu rela menjadi budak agar bisa mengikuti Kevin. Dan dialah... Saudara tiriku.
“Hey, Anak Pelac*r…” hina Kevin mengintimidasiku. Aku menatap wajahnya yang memiliki campuran oriental-kaukasoid, dengan rambut klimis hitam yang ditatanya seperti mafia The Godfather. Langkahku mendekatinya, lalu menunggu Baj*ng*n tengik itu melampiaskan kegilaannya padaku di pagi hari. “Berapa banyak uang tips Ibumu tadi malam?” Cengengesan para cecunguk Kevin begitu antusias membahana.
“Kevin,” sentuh Alexa di dada Kevin. Gadis itu berusaha menenangkan emosi labil Saudara tiriku. “Sudahlah... kelas mau dimulai. PR fisika-mu belum selesai.”
“Persetan,” tepis Kevin ke tangan Alexa, lalu memimpin gerombolannya pergi. “Ingat di mana kastamu, Anak Pelac*r,” sentuh telunjuk hinanya ke keningku.
“Kau juga,” jawabku singkat yang memaksa Kevin mendidih. Matanya terbelalak, disertai dengusan amis saat jari-jarinya mencengkeram kerah bajuku. Kepalan tinjunya hampir saja meremuk tulang pipiku jika Alexa tak menarik punggung remaja busuk itu tepat waktu. Penuh amarah dan diseret budaknya, Kevin pergi meninggalkanku begitu saja.
Sangat tak masuk akal alasan Ibu bersikukuh menyetujui pria itu untuk menyekolahkanku di tempat brutal ini. Selain biayanya yang di luar akal sehat, gaya hidup siswa hedon sangat berbanding terbalik dengan apa yang kumiliki. Hanya karena ingin yang terbaik untukku, bukan berarti Ibu secara sepihak bisa mendaftarkanku ke sekolah konglomerat berdasarkan penilaian fisik dan kualitasnya. Karena sejatinya, tak satupun kebaikan yang dimiliki kerak Neraka terkutuk ini.
Bagiku... dengan ujian-paket-kesetaraan saja... sudah cukup membantuku melamar posisi budak di gedung pencakar langit ibu kota. Aku tak punya ambisi untuk hidup bergelimang harta. Seperti yang dimiliki Ayah biologisku dulu. Seperti yang dimiliki Saudara tiriku, Kevin. Seperti yang dimiliki para makhluk korup yang bisanya menggerogoti hak-hak cecunguk hina sepertiku. Keegoisan Ibu memaksaku melatih mental dan fisik untuk bertahan mengikuti hukum rimba sekolah ini. Paling tidak, inilah tahun terakhir yang harus kulalui untuk merasakan penyiksaan kaum elit. Kuharap, selepas dari tempat ini, aku bisa meraih kesempatan meninggalkan ibu kota… selamanya.
Ketika kakiku memasuki kelas, tatapan Kevin membidikku seperti Singa kelaparan. Bahkan ketika duduk memunggunginya, aura pembunuh Kevin masih saja menjilati bulu kudukku. Terkadang, rasa ibaku hadir untuk Baj*ng*n itu, karena satu-satunya yang tak bisa dilakukannya adalah membunuhku. Paling tidak, itulah yang tertulis di surat wasiat Ayahnya. Satu-satunya warisan yang tersisa setelah Ibu kandung Kevin merenggut segalanya dariku.
Di surat wasiat pria yang meniduri Ibuku tertulis bahwa aku berhak menerima kekayaannya berupa perusahaan di bidang jasa finansial dan perlindungan keselamatan kerja. Tanpa batasan. Seperti yang kubilang, Ibu Kevin telah merenggut segalanya dariku. Kecuali satu hal. Dia adalah Iblis kejam manipulatif, menghalalkan segala cara untuk membalaskan dendam atas penghinaan yang dilakukan Ibuku terhadap dirinya. Harga dirinya hancur setelah Suaminya selingkuh dengan Ibuku. Sempat kudengar beberapa pertikaian antara Ibu dan dirinya yang tak kuasa menahan amarah dan menyebut Ibuku sebagai Pelac*r. Saat itu usiaku menginjak tigabelas tahun. Dan di usia yang sama, Kevin juga harus mendengar hal yang tak sepatutnya didengar oleh bocah kecil. Akibatnya, rasa dendam itu tertanam kuat di jantung Saudara tiriku, terus tumbuh lebat hingga hari ini.
Logikaku tak memahami rumitnya hubungan Ibu dan pria itu. Bagaimana mereka pertama kali bertemu? Bagaimana mungkin mereka menjalin hubungan yang memaksa masa depanku dipertaruhkan? Bagaimana bisa Ibu tega merenggut hati seorang pria yang telah menjadi hak milik orang lain? Dan bagaimana caranya Ibu bertahan hidup dengan aibnya itu? Benakku buntu mencari tahu jawabannya. Yang kutahu, karma Ibu juga harus kutanggung, hingga kebrutalan Neraka melahapku selamanya.
Masalah pendidikanku pun dikuasi sepenuhnya oleh pria itu. Apapun kualitas pengajaran yang diterima Kevin, pasti juga kudapatkan. Pria itu tak ingin membedakan kasih sayangnya untuk kami. Dia pernah membisikkannya ke telingaku, sekali, sebelum kutidur ketika usiaku menginjak ke-tigabelas tahun. Saat itu, aku akan menempuh Sekolah Menengah Pertama... hanya beberapa hari sebelum kematiannya.
Kau Anakku... kau harus hidup...
Kehidupan Neraka dimulai ketika kakiku menginjak halaman SMP, tepat ketika Kevin akhirnya bebas memperlakukanku sebagai budak. Tak ada harganya. Tak ada yang memedulikannya. Kevin sangat leluasa merenggut harga diriku di depan mata para cecunguk yang hanya bisa terdiam melihat penindasan. Satu-satunya yang kumiliki adalah hasrat untuk melawan, membela diriku dari karma yang dilahirkan Ibu bersama pria itu. Aku dan Kevin-lah korban dari hubungan mereka. Dan di saat kritis, perkelahian kami dilerai oleh seseorang, tepat sebelum tubuh kami kehilangan nyawa. Ya. Aku tak boleh terbunuh.
Di pertengahan tingkat delapan, seluruh harta yang diberikan pria itu untukku musnah tak bersisa. Perusahaan yang menjadi hakku bangkrut, hanya meninggalkan menara rapuh yang pekarangannya menjadi rawa menyengat. Beberapa warga sekitar bersaksi bahwa ada semacam siluman-reptil yang hidup di dalam sana. Mitos paling menggelikan yang pernah kudengar. Namun yang paling menggelikannya lagi, segala kekacauan ini ditenggarai oleh Ibu Kevin. Wanita Iblis itu takkan pernah, sedikitpun, menghentikan penderitaan yang pantas diterima oleh Ibuku.