Ban*sat!
Hentakan musik rock di telingaku bisa menenangkan rasa nyeri di bagian tubuhku yang lebam. Tubuhku telentang di kasur, bertelanjang dada, menatap langit-langit kamar yang graffiti-nya mulai koyak. Aku melukis langit-langit kamarku menggunakan cat semprot ketika kuberada di tingkat sembilan. Kulukis langit-langit itu dengan hamparan milky way dan langit gelap. Graffiti yang kuciptakan selalu berhasil mengantarku tidur tiap kali menatapnya, membuatku makin tenggelam ke dalam semesta paralel yang sampai sekarang masih enggan melahapku untuk selamanya.
Aku penasaran jika saja tulang rusukku retak akibat tendangan si Bedebah. Rasanya sangat nyeri tiap kali kuraba dengan jariku. Selain itu, sisi wajah dan bibirku juga mulai membengkak, memberiku sensasi denyutan tiap kali kugerakkan kepalaku untuk mencari posisi nyaman. Sial!
Akibat ketololanku, aku terpaksa izin ke Supervisor karena mustahil harus kerja dengan kondisi babak belur. Semoga saja beliau tak memecatku dari kerja paruh waktu itu. Upahnya lumayan untuk membantuku bertahan hidup di Neraka Jahanam ini.
Langit petang mulai menyingsing. Gradasi warna jingga yang ditemani kilauan ungu mengantar sang Mentari pulang ke peristirahatannya. Aku tak sabar menanti langit malam mulai merajai hari yang sungguh menjengkelkan ini.
Mataku terpejam, menikmati melodi rock yang bisa mengalihkan ingatanku dari kejadian naas. Rupanya, dendam Baj*ng*n itu tak berkurang sama sekali. Pastinya membukit. Tetapi yang kukhawatirkan sekarang adalah nasib Farhan selanjutnya. Sialan! Jika saja kubiarkan dia meratapi hinaan Kevin, pasti tubuhku tak babak belur dan bisa bekerja malam ini. Dan tentunya, aku tak perlu terbebani oleh rasa tanggung jawab, memikirkan bagaimana caranya Farhan bertahan hidup hingga hari kelulusan tiba. Sial! Namun, ada sedikit ruang di hatiku yang lega. Rasanya, gumpalan sesak di sana terangkat karena kuberhasil mengalahkan sesuatu yang membelengguku selama ini.
Aku... berhasil membela seorang manusia... dari penindasan Kevin.
Mataku terbelalak karena nyeri tubuhku yang menyiksa. Sepertinya, aku harus bergerak... agar aliran darah yang tersumbat akibat lebam... bisa mengalir lebih lancar. Saat melihat keluar jendela, ternyata gelap gulita sudah sempurna menutupi langit. “Jam 9 malam.” Kuraih jaket parkaku dan helm, juga ransel yang berisi botol minum, lalu keluar kamar sebelum malam terlalu larut.
Tampaknya, Ibu belum pulang. “Mustahil pulang jam segini,” gumamku. Tanpa lanjut memikirkannya, kudorong sepedaku ke pekarangan, mengunci pintu, lalu mengayuh pedal sekencang mungkin meninggalkan rumah.
Udara malam sedikit menyejukkan lebam di wajahku. Semilir angin kumuh ibu kota ternyata bisa menjernihkan kekalutan di otakku pula. Sejak tadi, kecemasanku tentang Farhan masih betah menari di pikiranku. Wajahnya yang ketakutan, tubuhnya yang gemetar, semuanya begitu damai menyiksaku. Namun sempat terbersit cuplikan ketika dirinya melangkah masuk ke dalam kelas, dengan sendu wajahnya yang tersenyum sederhana menatap para murid. Di saat itu kuberpikir bahwa dia berharap bisa mendapatkan teman baru di Neraka Jahanam. Dia terlalu murni untuk terjebak di kutukan tak berujung ini. Seharusnya... jika ada kesempatan... lebih baik dirinya melarikan diri sebelum terkaman Iblis mengancam jiwanya.
Suasana ibu kota tampak ramai dipenuhi Singa Besi. Beberapa manusia masih menunggu jalanan lengang, baru setelahnya pulang ke rumah masing-masing. Ada juga beberapa dari mereka yang menunggu kedatangan kereta terakhir, agar bisa mendapatkan tempat duduk, untuk sejenak memejamkan mata hingga sampai di stasiun tujuan. Kota ini sungguh pengap, memaksaku terus menerka kapan diriku bisa terlepas dari jeratannya.
Tempat yang ingin kukunjungi masih berjarak lima kilometer lagi. Paling tidak, aku telah menempuh jarak yang sama sejak keluar dari rumah. Aku menepi ke ruang pejalan kaki dan memarkir sepedaku di samping lampu jalan. Tubuhku duduk di kursi besi, menarik dan melepas napas panjang berulang kali, merasakan letih yang berpacu dengan denyut jantung. Indraku bisa merasakan aliran darah mulai lancar, membuat lebamku jauh lebih membaik.
“Rom! Jerom!”
“Lex?” Sebuah mobil SUV menepi ke trotoar. Dari dalam sana, Alexa keluar dan menghampiriku dengan pakaiannya yang tampak minim. Tubuhnya dilapisi kemeja putih oversize, yang mana mataku bisa melihat sports-bra bewarna putih sebagai dalaman, dengan kancing kemeja yang dibukanya sempurna mengikuti arah angin. Celana jeans pendek berwarna biru pucat memamerkan kaki jenjang Alexa yang mulus, dengan sneakers putih bergaris hitam di telapaknya. Alexa berdiri di hadapanku, membiarkanku makin jelas melihat lekuk tubuhnya bak model remaja profesional.
“Sedang apa kau di sini?” tanyanya sambil mengikat rambut seperti buntut kuda.
“Kau sendiri sedang apa?”
“Aku baru selesai latihan Muay Thai. Kebetulan mau ke XBuX di depan sana. Beli titipan Mama. Hmm,” Alexa menatap sepedaku, lalu tertuju ke arah mobilnya. “Ya sudah! Letakkan saja sepeda gunungmu ke belakang mobilku. Kebetulan ada penahan sepeda portable di bagasi.” Tanpa persetujuanku sama sekali, Alexa menarik lenganku agar kuberdiri dan membawa sepedaku mendekati mobilnya.
“Hey-hey! Kita mau kemana!?” tukasku jengkel.
“Sudahlah! Ayo!” Alexa makin menarikku kuat ke belakang mobilnya. Tubuhku tergopoh-gopoh karena harus menyeimbangkan diri, sekaligus menarik sepeda gunung bersamaan. Alexa membuka pintu belakang mobilnya, mengambil penahan sepeda portable, lalu menyuruhku memasangnya ke sepedaku. “Sana! Kau tempelkan di atas plat mobilku. Hati-hati! Jangan sampai lecet,” cengengesan Alexa menggodaku. T-tak... kupedulikan.
Meskipun canggung duduk di sebelah Alexa, jok mobil mewahnya membuai tubuhku tanpa harus membangkitkan nyeri lebamku. Pasti harga mobil ini sangat mahal, bisa kulihat dari desain interior dan panel kontrolnya. Namun tak kusangkal, mataku sesekali melirik tubuh Alexa yang anggun menyetir SUV, membuatnya tampak seperti seorang gadis mafia di fiksi Hollywood. Harus kualihkan pandanganku. “Daftar lagu yang kau putar terlalu lembut,” ejekku. “Tak takut ketiduran apa saat menyetir?”
“Aku suka soft song. Kau tahu sendiri Jakarta... macetnya terlalu parah!” tukas Alexa melirik spion kanan. “Daftar lagu itu ampuh menenangkan emosiku karena amburadulnya jalanan ibu kota,” senyumnya... berbinar.
Kami sampai di XBuX yang letaknya di Mega Kuningan. Melihat bentuk perawakan manusia di sini seperti membawaku ke sisi lain ibu kota. Kawasan elit yang dipenuhi para ekspatriat dan sosialita kelas bangsawan sedikit mengintimidasiku, mengingat pakaian yang kukenakan sangat sepadan dengan keseharian budak mereka. Berbeda dengan Alexa. Meskipun pakaiannya tampak simple, tetapi pancaran aura kebangsawanannya membuat apapun yang menempel di tubuhnya menjadi karismatik. Terbukti. Kaum elit di dalam sini tak mampu mengalihkan pandangannya dari gadis di depanku.
“Hmm, black coffee panas dan New York cheese cake. Kau mau apa?” tawar Alexa padaku.
“Teh manis panas,” jawabku membuatnya tersedak. “Kenapa?”
Alexa menggeleng sambil menepis air matanya yang mengalir sedikit. “Chamomile tea panas satu,” Alexa mengeluarkan uang dari dompetnya... segera kutempelkan dengan pecahan dua puluh ribu milikku. “Mmm?” kernyit keningnya memandangiku. “Biar aku saja yang traktir,” senyumnya... meringis?
“Aku punya uang,” responku menjaga harga diri. “Berikan saja kembaliannya nanti,” tubuhku berbalik... meninggalkan Alexa yang sedikit menganga. Kakiku terus melangkah menuju area duduk untuk dua orang, tepat di samping dinding kaca raksasa.
Mataku bisa melihat kumpulan pencakar langit yang kokoh di kawasan elit ini, ditemani langit malam penuh Bintang. Beberapa lirikan mata manusia ke arahku sempat kutangkap. Namun dengan cepat, mereka alihkan perhatian.
“Ini. Teh manis panasmu… dan tak ada kembaliannya,” jengkel Alexa saat menyajikan pesananku, lalu duduk di hadapanku. Mahal sekali harga teh panas di kawasan elit. Dua puluh ribu. “Kau lucu.”
“L-lucu kenapa?” responku menyeruput teh panas. Sekejap, air muka Alexa berubah menjadi datar. Jemarinya mendekati wajahku yang lebam, lalu menempel ke sisi leherku. Wajahku menghindari dekapan tangan Alexa yang hangat. Rasanya begitu aneh karena jantungku berdegup kencang. Bibirku yang sedikit gemetar menyeruput kembali teh panas ketika Alexa menarik tangannya.
“Kalian berdua bersaudara. Kenapa harus rumit seperti ini hubungannya?” tatapnya iba.
“Seharusnya kau tanya sendiri ke pacarmu itu,” lirikku ke langit malam.
“Apa tak ada solusi untuk memperbaiki keadaan?” tanya Alexa memaksaku menatapnya.
“Solusinya, aku harus kembali ke Surga dan meminta Tuhan untuk mengirimku ke Orangtua yang lain,” jawabku tersenyum.
“Kau tak logis, Jerom,” seruput Alexa ke kopinya sambil mengecek ponsel. “Lihatlah,” Alexa menunjukkanku sebuah foto di akun media sosial Martin —salah satu budak Kevin. “Mereka sedang bersenang-senang di apartemennya. Sungguh aneh. Apa dia tak sadar jika lebam di wajahnya sangat jelas? Seharusnya dia istirahat,” gumam Alexa mencemaskan kondisi pacarnya. Si Bedebah. “Jika mau, bisa kuantar kau ke atas sekarang. Mana tahu... kalian mau bicara berdua.”
Aku terbahak-bahak mendengar ocehan Alexa. Sungguh tak masuk akal dan menggelikan! Beberapa kaum elit sempat menatapku, kemudian tak acuh kembali. “Yang ada, salah satu dari kami akan mati malam ini jika itu terjadi,” tawaku masih belum usai akibat kebodohan Alexa.
“Bisa saja besok... akan jadi hari yang berat di sekolah,” lirik Alexa padaku. Kami hening sesaat.
“Aku… iba pada Farhan,” tukasku. “Karena ketololanku, dia akan menjadi bulan-bulanan Baj*ng*n itu,” hinaku menciptakan kemurungan di wajah Alexa.
“Kupikir begitu. Namun yang membuatku lebih terkejut adalah ketika Pak Fariz ikut campur dalam perkelahian kalian. Kupikir, beliau akan sama saja dengan Guru atau Petugas sekolah lainnya yang masa bodoh dengan penindasan Kevin. Tetapi, siang tadi berbeda. Ya. Dia... sangat berbeda.”
Apa yang dikatakan Alexa benar adanya. Selama ini, tak ada yang peduli —berani lebih tepatnya— untuk melerai perkelahian atau penindasan Bedebah itu. Namun tadi siang, wajah murka Pak Fariz berhasil membekukan Kevin. Kupikir, beliau hanya seorang Wakil Kepala Sekolah pindahan yang baru menjabat sekitar setahun lebih. Dia seharusnya sudah paham aturan main di rimba yang sedang dijelajahinya. Namun, mengapa nyalinya begitu besar melawan seorang Raja yang bahkan tak boleh disakiti? Mengapa wajahnya tampak familiar bagiku di masa lalu? Siapa dirinya?
Selesai dari XBuX, Alexa bersikeras mengajakku ke klinik Saudarinya. Susah payah kutolak dengan berbagai alasan, malah tangannya makin kuat mencengkeram dan menyeretku. Tak kusangka jika kekuatannya melebihi tenaga rata-rata Atlet SMA.
Alexa memarkir mobil SUV-nya tepat di pekarangan klinik yang sudah tutup di malam begini. Namun karena Alexa menelepon dengan nada memohon, Saudarinya terpaksa berangkat dari rumah dan membuka praktek eksklusif untukku.
“Kak!” lari Alexa memeluk seorang wanita berusia tiga puluhan yang baru saja keluar dari mobil sedannya. “Makasih, ya,” jari Alexa memberiku kode untuk mengikuti mereka masuk ke dalam klinik. “Si Bodoh ini tak hati-hati saat bersepeda. Akhirnya seperti itu,” kedip mata kirinya padaku menutupi kebohongan.
“Buka bajumu lalu berbaring,” tukas wanita bernama Bertha padaku. “Kapan kau terjatuh?” bidiknya ke mataku. Aku bingung menjawabnya, malah gugup melirik Alexa.