Farhan masih enggan berkomunikasi serius sejak beberapa hari terakhir. Bahkan di tempat kerja, dirinya begitu fokus dengan tanggung jawabnya. Di perjalanan pulang pun begitu. Hanya percakapan basa-basi yang membantu kami membunuh waktu perjalanan. Atau rasa canggung lebih tepatnya.
Duduk di samping Alexa selama kelas Pak Fariz juga tidak menenangkanku sama sekali. Tatapanku tetap tertuju ke Farhan yang duduk begitu tegang di samping Kevin. Baj*ng*n itu sengaja mengintimidasinya, seperti melayangkan ultimatum jika Farhan adalah budaknya yang bisa diperlakukan sesuka hati. Baj*ng*n itu bahkan menggeser kameranya dengan kasar, menyuruh Farhan belajar sendiri bagaimana cara mengoperasikannya dan mengancam untuk tidak merusaknya. Tubuhku ingin sekali bergerak ke singasana Kevin, menghancurkan rahang Bedebah itu, namun terkunci oleh ancaman Pak Fariz. Urus saja masalahmu sendiri. Paling tidak, pikiranku sedikit tenang jika Kevin takkan berani melukai fisik Farhan selagi Pak Fariz berada di sekitar kami.
“Kalau misalkan karakternya ditambah, mungkin jalan ceritanya…” apa maksud senyumanmu itu, Baj*ng*n brengsek? “Jerom!” Bentakan Alexa mengejutkanku. “Kau dari tadi fokus tidak, ‘sih?”
“M-maaf…”
“Ck! Menurutmu bagaimana? Butuh karakter tambahan atau tidak?” jengkel Alexa.
“Apa saja. Aku ikut,” mataku masih belum bisa berdalih dari Farhan yang begitu gugup mencari tahu cara mengoperasikan kamera Kevin. Yang membuatku jijik, Baj*ng*n itu hanya terus menatap Farhan dengan intimidasi yang kuat, mencondongkan tubuhnya begitu dekat, seperti Anjing yang siap-siap mencabik daging segar.
“Lihat aku,” Alexa menggenggam pipiku dan mengarahkan wajahku ke wajahnya. “Bisa tidak pikiranmu tertuju padaku hanya beberapa menit saja? Film pendek ini penting untuk nilai ujian semester kita,” tatap Alexa begitu… m-manis?
“HEY!” bentak Kevin ke arahku dengan tubuh berdiri. “Beraninya kau menggoda Alexa!”
“Kevin!” Alexa balas membentak. “Kami hanya berdiskusi…”
“Kau jangan jadi wanita murahan! KAU MILIKKU!” hardik Kevin geram berjalan mendekatiku. Pak Fariz dengan santai menghadang Kevin, menatapnya, hingga Baj*ng*n itu dengan kesal kembali ke tempat duduknya. Kevin membanting tas ke lantai, membiarkan isinya berserakkan, termasuk bomber-jacket dan headphone mahalnya. Farhan tetap membeku di samping Kevin yang baru saja menendang meja kuat.
“Pacarmu psychopath,” gumamku membaca poin-poin kerangka film.
“Abaikan saja,” balas Alexa murung.
Sisa jam kelas Pak Fariz diisi dengan pembuatan kerangka film masing-masing kelompok, kemudian dipresentasikan, lalu dikumpul dalam bentuk jurnal mingguan. Pak Fariz memberi pengarahan terakhir mengenai cara pengambilan gambar yang stabil, hinggal akhirnya bel istirahat pun berbunyi. “Semangat!” kepal tangan Pak Fariz ke udara sambil berjalan ke pintu keluar.
Alexa membereskan kumpulan kertas berisikan coret-coretan pengambilan gambar film kami. Aku berinisiatif memasukkan perlengkapan kamera ke dalam tasnya, sedikit menatap Alexa karena beberapa menit terakhir wajahnya sendu. “Kau… baik-baik…”
“Argh!” Tubuh Alexa berbalik mengikuti arah tarikan Kevin. Gadis itu melawan dengan merebut kembali tangannya dan berdiri menghadapi si Bedebah.
“Apa yang kau lakukan bersama Anak Pelac*r itu? Sengaja membuatku cemburu!?” geram Baj*ng*n terkutuk.
“Bersikaplah dewasa,” ketus Alexa merapikan tasnya lagi. Kevin yang tak puas menempelkan dadanya ke pundak Alexa dan memaksa gadis itu menatap ekspresi kemarahan Iblis. Aku yang hendak melerai dihentikan acungan telunjuk Alexa. Gadis itu mendorong Kevin kuat, hingga mereka berdiri berhadapan. “Untuk apa cemburu? Bukankah selama ini kau bersenang-senang dengan wanita lain?” Seisi kelas yang tadinya membeku tiba-tiba saling menatap, lalu berusaha mengendap-endap keluar kelas. “Kau hanya menganggapku sebagai wanita murahan yang bisa kau ganti dan kau tiduri,” bidik mata Alexa ketika Baj*ng*n itu hendak menamparnya. Namun Kevin membeku seketika, menahan murka, hingga akhirnya menendang meja dengan teriakan menggelegar. Baj*ng*n itu pun pergi dengan derap langkah berat, memukul benda apapun yang dilewatinya, hingga gemanya hilang dari telingaku.
“Kau... baik-baik saja?” tanyaku canggung. Mata Alexa berlinang, memendam kekecewaan, karena selama ini... perasaan tulusnya untuk Kevin... tak berarti apapun.
“Ya,” tatapnya padaku dengan senyuman. Sungguh… jantungku sempat… berhenti sesaat. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari murung menjadi berbunga-bunga. Namun yang membuatku gugup, getaran tiba-tiba mengalir di tubuhku, membuat pipiku terasa… hangat. “Ayo jajan ke kantin! Aku lapar,” sebutnya sambil berjalan ke barisan belakang. “Farhan? Kau mau ikut?” Bahkan, senyum Alexa berhasil mengalihkan kecemasanku pada remaja polos itu. Apa yang terjadi?
Kami duduk bertiga di kantin. Aku, Alexa, dan Farhan. Kami menyantap hidangan masing-masing. Alexa dengan yoghurt dan apelnya, sedangkan Farhan dengan roti kering dan air mineral. Mulutku sendiri mulai menyantap gorengan favorit, ditemani roti lapis abon dan jus jambu biji. Aku menyantapnya tanpa henti, berusaha mengalihkan pikiranku dari senyuman Alexa yang masih... hangat.
“Kau mau?” tepuk Farhan ke pundakku menawariku roti kering. Dia masih saja betah memegang kamera Kevin yang dari tadi dibawanya kemana-mana. Aku menggeleng jengkel.
“Kau suka sekali junkfood, ya?” lirik Alexa ke arahku sambil menikmati yoghurtnya. “Tetapi, bentuk badanmu tetap bagus kulihat. Kau ikut gym juga?” Kepalaku menggeleng. Keningku tiba-tiba berkeringat karena gugup. Seketika, wajahku menatap Farhan untuk mengabaikan Alexa.
“Untuk apa dibawa?” tunjukku ke kamera Kevin. “Kembalikan saja.”
“Kevin menyuruhku menjaganya baik-baik. Tak boleh lecet,” jawab Farhan yang kemudian murung kembali. Alexa yang penasaran menepuk pundakku, membuatku sedikit terkejut. Dia bingung tentang apa yang aku dan Farhan isyaratkan. Lalu, kujelaskan sesingkat mungkin.
“Aku bisa mengembalikannya ke Kevin jika kau mau?” ujar Alexa ke Farhan. Farhan langsung menggeleng cemas.
Kami kembali hening dan hanya fokus ke makanan masing-masing. Wajah Alexa sudah tak semurung tadi saat kulirik. Pertengkarannya dengan Kevin baru pertama kali terjadi di depan publik sejak mereka mengumumkan diri sebagai sepasang kekasih. Tak heran. Pasti berat sekali menjalin hubungan dengan Baj*ng*n itu. Alexa harus menahan perasaan akibat prilaku Kevin dan teman-temannya yang suka bermain wanita binal. Mungkin saja tadi adalah titik jenuh Alexa. Namun secara tak langsung, aku ikut terseret ke masalah asmara mereka berdua.
Kupikir, Kevin cemburu padaku.
“Ada apa?” tatap Alexa bingung ke arahku. Dia memergokiku meliriknya. Langsung saja kutundukkan wajah dan kembali menyantap sisa makananku.
Perutku begitu kenyang melahap habis kudapanku. Bahkan, sendawa besar sempat keluar dari mulutku, membiarkan Alexa terpingkal-pingkal hingga pipinya merona. Aku pun... sedikit tersipu. “Kemari…” tanpa disadari, Kevin menarik lengan Farhan yang dengan cepat memeluk kamera sebelum terbanting ke lantai. Tubuhku langsung bangkit menghadapi Baj*ng*n itu. “Mau apa kau?”
“Jangan kau paksa dia,” geramku.
“Kami harus diskusi tugas kelompok,” senyum Iblis menatapku, begitu pun Farhan yang juga tersenyum sendu ke arahku sebagai isyarat jangan cemas. Farhan sungguh ironis. Nyatanya, dirinya sendiri tak mampu menyembunyikan rasa takut. Mereka berdua pergi meninggalkan kantin, membiarkanku tak bisa berbuat apa-apa. Kejadian di bioskop tempo lalu membuatku tampak tolol ketika menuduh Kevin tanpa bukti. Aku harus berhati-hati dalam bertindak.
Di kelas, kakiku terus mengentak, bersama wajahku yang tak berpaling menatap pintu. Lima menit sejak bel masuk berbunyi, Farhan dan Baj*ng*n itu tak kunjung kembali. Tubuhku hendak berdiri saat Bu Vera masuk karena ternyata beliau diikuti Farhan dan Kevin yang jalan bersebelahan. Wajah Farhan tanpa ekspresi, berjalan mendekatiku, lalu duduk dengan tatapan kosong ke papan tulis. Mataku membidik Kevin yang dengan santai duduk di singasananya, membalas tatapanku dengan siratan buruk, hingga akhirnya kumenoleh saat Bu Vera memulai pelajaran.