Beberapa hari berlalu sejak kuberdiam diri di rumah, menanti lukaku pulih total, sampai ku bisa beraktivitas normal. Besok harus kupaksa tubuh ini mengerjakan rutinitasnya, mengingat tak bisa lagi santai berlama-lama ketinggalan pelajaran untuk persiapan ujian semester dan kerja paruh waktu. Dua kali berturut-turut tubuhku babak-belur dihajar Kevin, hanya menyisakan luka yang merugikanku saja.
Farhan sudah menginap di rumahku sejak pertikaian di nightclub. Hebatnya lagi, ternyata dirinyalah yang menjahit luka di pelipisku. Dia sering membuatku takjub dengan keahlian tak terduganya. Yang lebih penting, Farhan bisa mengusir rasa penatku, terutama membantuku mengejar pelajaran yang tertinggal. Hatiku sedikit cemas dikarenakan Farhan harus menghadapi Kevin seorang diri di sekolah. Namun, dia selalu meyakiniku jika semuanya baik-baik saja.
Terkadang, Farhan sampai di rumahku seusai pulang sekolah atau tiba larut malam sehabis kerja di bioskop. Dia dulu sempat mengeluh jika proses adaptasinya lumayan berat. Tetapi sekarang, Farhan sangat betah dengan lingkungan kerjanya. Alasan lainnya, dia juga ingin mencari uang tambahan untuk menopang hidupnya di Jakarta, meskipun dirinya memiliki sponsor dari seorang Donatur yang tak diketahui. Donatur itu jugalah yang mengizinkan Farhan untuk tinggal di rumah yang selama ini ditempatinya di Jakarta. Aku sempat menawarinya untuk pindah ke sini. Sayangnya, dia langsung menolak. Aku ingin mandiri tanpa harus menyusahkan orang lain, ujarnya.
Selain Farhan, Alexa juga menyempatkan diri datang. Biasanya, dia menjengukku di siang hari dan menghabiskan waktu hingga menjelang magrib. Normalnya, aku selalu menolak kedekatan Alexa selama ini, mengingat dirinya yang berstatus kekasih Kevin. Namun setelah apa yang terjadi belakangan ini, rasanya, aku tak peduli lagi.
Ya… aku... tertarik padanya.
Suara khas mobil Alexa terdengar olehku, tepat setelah Bulan muncul di tengah hamparan Bintang. Aku berjalan ke pintu, membukanya, lalu mengizinkan Alexa masuk. “Aku bawa cemilan dan teh manis panas kesukaanmu,” senyum Alexa membuatku canggung. Dia pergi ke dapur untuk menyiapkan kudapan, sedangkan kakiku berjalan meninggalkannya menuju kamar. Tubuhku masih perlu berbaring. Jika terlalu lama berdiri, denyut di kepalaku makin beringas membangkitkan perih luka di pelipisku.
“Masuklah,” ucapku mengizinkan Alexa mendekatiku yang sedang berbaring. Dia membawa nampan yang di atasnya ada sepiring penuh pastel dan dua cup minuman.
“Teh panas untukmu dan kopi untukku,” kikik Alexa padaku. Dia juga menyuruhku mencicipi pastel yang dibawanya. Kulahap. Wow! Rasanya sungguh berbeda dengan pastel emperan yang biasa kubeli. Isinya sungguh padat dengan lumeran keju mozzarella. Pasti dia membelinya di toko pastry mahal. “Tak usah buru-buru makannya. Ini semua untuk kau habiskan,” tawa Alexa menyeruput kopinya. Wajahnya membuat pipiku hangat, hingga akhirnya kuberanikan diri membalas senyum manisnya. “Bagaimana lukamu?” sentuh jemari Alexa lembut ke keningku, membiarkanku menelan paksa pastel dan terpaku memandanginya yang agak mendekat.
Kali ini... tak kuhindari.
“Um, masih sedikit nyeri. Tetapi bisa kutahan. Besok, aku harus masuk sekolah dan kerja. Tak bisa santai lama-lama.”
“Farhan hebat juga, ya,” teliti matanya ke garis jahitan pelipisku. “Tak kusangka.”
“Benar,” ucapku terbatuk dan memperbaiki posisi duduk. “Apa di sekolah... Farhan baik-baik saja? Maksudku, Kevin…”
“Sejauh yang kulihat tak ada masalah. Farhan tetap fokus mengikuti pelajaran. Ya mungkin tetap menyimpan cemas seperti anak-anak yang lain. Namun, tak terjadi kontak fisik antara dirinya dan Kevin.”
“Syukurlah. Aku sempat khawatir jika saja ada sesuatu yang disembunyikannya,” tegukku teh hangat. “Bagaimana denganmu?” Alexa bingung menatapku. “Kau dan Kevin.” Sekejap, wajahnya murung.
“Aku... boleh merokok di sini?” Anggukku mengizinkannya. Alexa berjalan mendekati jendela, membukanya lebih lebar, lalu duduk menyender di kasurku. “Entahlah,” ketusnya mengembus asap rokok. “Aku ingin mengakhirinya. Kevin bukanlah pria yang bisa menganggapku sebagai kekasih. Dia hanya ingin memilikiku. Sekedar saja,” Alexa mematikan puntung rokoknya —lebih tepatnya menghancurkan dan meremuknya dengan amarah tertahan— ke permukaan tutup cup kopinya, kemudian menatapku. “Kau ingat tidak, tahun lalu, saat dia memberiku kejutan ulang tahun?”
“Tentu,” anggukku... murung.
Saat itu, seluruh budak harus men-dekor kelas seelegan mungkin sebelum Alexa dan Kevin datang. Mengingatnya saja membuatku muak. Karena hadiah yang sudah kusiapkan... takkan sebanding dengan apa yang dimiliki Kevin. Tepat di hari ulang tahun Alexa, sekaligus hari jadinya... dengan Bedebah itu.
“Kotak hadiah darinya berisi tiket pesawat ke Singapura dan staycation selama akhir pekan di Marina Bay Sands. Kupikir, hari itu akan menjadi kenangan romantis untukku. Namun, dia hanya melampiaskan nafsunya tanpa memiliki rasa cinta sama sekali. Aku baru sadar belakangan ini. Saat itu, aku terlalu dibutakan oleh besarnya perasaanku padanya. Namun malang, semua itu hanya cinta sepihak,” Alexa menatapku dengan senyuman yang mengelabui kekecewaannya. Kami... saling menatap.
Tanganku meraih kotak beludru biru di laci meja sisi kasur. Kuberikan pada Alexa. “Ini... yang ingin kuberikan untukmu saat itu. Tapi kuurungkan karena... takkan sebanding dengan barang mewah... yang kau terima sebagai hadiah ulang tahun.” Alexa membuka kotak itu, mengambil gelang yang kubuat dari rajutan benang wol, dengan beberapa butiran batu alam kecil berwarna marun yang kuasah semengkilap mungkin. Alexa mengalungkan gelang buatanku ke pergelangan tangannya yang indah, mengusapnya, lalu menatapku dengan mata berlinang. Dia tersenyum, memaksa jantungku berdegup aneh, hingga akhirnya... dia mencium bibirku… dan kubalas sepenuh hati.
Jariku terus menggenggam lembut tengkuk Alexa, berusaha terus mendapatkan kecupan hangatnya yang tak lepas dari bibirku. Alexa menyerahkan tubuhnya ke dalam pelukanku, mencengkeram punggungku erat, seperti dirinya tak ingin dilepas. Tiba-tiba, pipiku merasakan hangatnya aliran air mata Alexa, hingga kumenghentikan ciumannya dan menunduk melepas pelukanku.
“Maafkan aku. Seharusnya... ini tak terjadi,” dudukku memunggunginya. Alexa mengusap pipiku, mendekatkan wajah meronanya, lalu mengecup lama bibirku hingga akhirnya melepasnya.
“Aku mencintaimu, Jerom.”
Ucapan Alexa mendebarkan jantungku, memaksaku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku dan kembali menciumi bibirnya. Angin semilir malam menyejukkan kami yang dikelilingi hangatnya kasih sayang, meyakinkanku akan cinta tulus yang tak bisa dikekang oleh apapun.
Jemariku tak bosan menyisir perlahan rambut Alexa. Pipinya yang hangat menempel di dadaku, dengan telapak tangannya yang menggenggam pundakku. “Rasanya begitu damai mendengar detak jantungmu, Jerom,” ucap Alexa lembut. Kukecup keningnya, berusaha meyakinkannya jika perasaan yang kuberikan tadi bukanlah bentuk nafsu semata. Pelukan, ciuman, usapan yang kuberikan adalah bentuk perasaanku yang terpendam selama ini, terkekang oleh kekalutanku jika saja diriku tak pantas untuknya. Namun prasangka itu musnah malam ini. Rasanya begitu damai ketika bisa mendekap Alexa di sisiku.
Pukul telah menunjukkan hampir tengah malam. Alexa merapikan pakaiannya, kemudian kuantar sampai ke pekarangan rumah. Mataku tak bisa berdalih dari wajahnya meskipun harus dipisahkan oleh kaca mobil. Bibirnya tersenyum padaku, melambaikan tangan, hingga akhirnya pergi.
Di kamar, pandanganku tertuju ke milky way dan diiringi senyuman. Inikah rasanya ketika cinta berbalas? Inikah yang dirasakan oleh pasangan remaja yang saling mencumbu dan memadu kasih? Tubuhku bereaksi aneh, salah tingkah, sampai-sampai memeluk guling berulang kali. Benakku masih bisa merasakan wangi Alexa, hangat tubuhnya, dan lembut bibirnya. Sungguh! Dia adalah Malaikat terindah yang pernah hadir di dalam hidupku.
Selama sejam lebih kuterlarut di dalam nostalgia bersama Alexa, hingga kusadar jika Farhan tak kunjung pulang. Mungkin dirinya masih dalam perjalanan. Jariku mengiriminya pesan singkat, menyuruhnya menggedor pintu kuat atau missed call ketika sampai di rumahku. Tanganku menyelipkan telepon genggam ke bawah bantal, memposisikan tubuhku senyaman mungkin sambil memeluk erat guling, lalu memejamkan mata menelusuri momen indahku bersama Alexa.
***
Kokokan Ayam begitu ceria membangunkanku. Melodi lembut yang diantarkannya berhasil memberiku energi positif untuk menghadapi hari setelah terbujur beberapa hari. Kakiku berjalan mendekati jendela, membiarkanku menghirup udara segar di subuh hari, dan menatap fajar yang mulai menampakkan keagungannya.
Benakku tersadar jika Farhan tak berada di kamarku. Mungkin dia memutuskan tidur di rumahnya malam tadi. Nanti saja saat di kelas kuberbincang dengannya.
Saat ini, kutatap bayanganku di cermin, begitu segar meskipun masih ada plester kecil yang menempel di pelipisku. Namun kurasa tak mencolok. Jariku menyisir rambut cepak yang mulai tumbuh, mengibas kemeja yang langsung kukenakan dan memasukkannya ke dalam celana dasar. Kupikir sudah tampak rapi. Kuingin Alexa terkesan oleh tampilanku hari ini.
Pagi ini begitu aneh. Rasanya, tubuhku seperti melayang ketika mengayuh sepeda ke sekolah. Biasanya, hatiku menggerutu melihat hewan besi yang lalu lalang di pagi hari, mencemari udara segar yang kuhirup, atau memekakkan telingaku dengan kebisingan knalpotnya. Namun pagi ini, benakku tak memedulikannya. Pikiranku terus melayang menuju kenangan bersama Alexa semalam, membuatku tak peduli dengan apapun kecuali rasa damai yang diberikannya saat kupeluk.
Sial! Lama-lama... ku bisa mati!
Sesampainya di kelas, mataku belum melihat kehadiran Farhan atau Alexa. Lahan parkir tadi juga tampak sepi dari kaum elit. Jejeran mobil sport yang biasanya menjadi berikadeku seakan lenyap di telan bumi. “Atau aku yang datang kepagian?” gumamku mencocokkan jam tangan dengan jam dinding kelas. "Tak ada yang berbeda." Namun saat kulihat sekitar, hanya ada siswa biasa yang tak kupedulikan kehadirannya, sedang duduk bercengkerama menggosipkan hal tak penting untukku.
Bel sekolah berbunyi. Bu Nanda masuk dengan langkah menggebu dan raut wajah menegang. Mungkin akan ada tes dadakan pagi ini. Para siswa mulai duduk rapi, namun tak satupun kulihat batang hidung Farhan atau Alexa. Para cecunguk Kevin pun berjalan masuk setelah Bu Nanda, terlihat kebingungan satu sama lain, seperti kehilangan sosok Pemimpin yang kakinya biasa mereka jilat.
“Semuanya. Saya punya kabar tidak mengenakkan. Tadi malam…” Saat kami penasaran mendengar pengumuman Bu Nanda, Farhan tergopoh-gopoh berdiri di depan kelas. Seketika, Bu Nanda mengizinkannya masuk. Otakku heran karena tak biasanya dia datang terlambat.
“Kau kenapa?” tanyaku diabaikannya. Dia duduk di sampingku dengan wajah lusuh berkeringat, napas terengah-engah, beserta buntalan kapas kecil yang menempel di lekukan dalam lengannya. Sayangnya, saat hendak menanyakan kembali kondisi Farhan, wajahku membeku mendengar kelanjutan pengumuman Bu Nanda.
“Kevin mengalami kecelakaan tadi malam. Saat ini sedang dirawat di RSCM Kencana.” Semua siswa di kelas sontak terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Para kaum elit langsung mengeluarkan telepon genggam untuk menghubungi Orangtua mereka, mengabarkan berita besar ini agar segera menjenguk Kevin. Ya. Mereka berharap bisa menjadi yang pertama menunjukkan rasa empati, atau bahkan mengirimkan buket bunga untuk mengambil hati Miranda —jika saja wanita terkutuk itu sedang menemani Kevin di sana.
“Kejadiannya dimana, Bu?” penasaran seorang siswa di barisan depan.
“Um, untuk itu…” Bu Nanda tampak gagap karena tak tahu jawabannya.
“Di depan mall kita bekerja,” tepuk Farhan di pundakku. Dahiku mengernyit, merasa heran mengapa dirinya mengetahui hal itu. “Katakanlah,” paksanya cemas.
“Di… Dr. Satrio, Bu,” sahutku sambil mengajukan tangan. Para siswa serentak melihatku. “Kejadiannya tengah malam. Mobil Kevin menabrak bahu jalan,” jelasku menerjemahkan Bahasa Isyarat Farhan.
“Kau tahu kondisi Kevin saat itu?” lanjut Bu Nanda penasaran. Saat hendak menerjemahkan isyarat Farhan, Martin memotongku.
“Dia takkan peduli!” bentaknya dengan mata merah ke arahku. “Dia pasti berharap Kevin celaka! Kau juga menghajar Kevin di nightclub, 'kan!? Aku melihatnya!” Sekejap, kelas menjadi tak kondusif akibat provokasi Martin. Kaum elit berusaha menenangkan cecunguk itu yang menuduhku bukan-bukan. Tak kupedulikan.
“Kita akan menjenguk Kevin siang ini. Jadi bersiap-siaplah,” perintah Bu Nanda.
“Kau pasti lebih mendahulukan kerja paruh waktumu ketimbang menjenguk Kevin,” ketus Martin padaku. Kaum elit berusaha menyumpal mulut cecunguk itu karena tak tepat mencari masalah saat Raja mereka dalam keadaan kritis.
“Farhan,” sikutku. “Kau melihat kejadiannya langsung?” tanyaku mengabaikan Bu Nanda. Dia pun tampak sibuk dengan telepon genggamnya. Ini… kejadian naas... yang akan dijadikan kesempatan untuk mencari muka bagi kaum penjilat.
“Aku yang mengantar Kevin ke Rumah Sakit. Jalanan begitu sepi. Untung para Senior juga ikut menolong.”