Kembalilah... wahai, Senja.
Hardikan. Tamparan. Rasa tak diinginkan. Itulah beban hidup yang harus kupikul sejak belia. Entah apa alasan Papa selalu menolak menggendong tubuh kecilku sejak kudilahirkan ke Jahanam ini. Tak tahu mengapa dirinya begitu benci menatapku, seakan-akan jari kekarnya ingin sekali meremuk ruas-ruas leherku hingga berderuk. Tendangan. Pukulan. Bahkan hinaan. Tiap hari harus kutelan mentah-mentah selama Papa masih hidup di dunia ini.
Benakku selalu gugup ketika mencari alasan di balik kebiadaban seorang Ayah terhadap Anaknya. Apa yang salah dengan tubuhku, dengan nyawaku, yang dilahirkan dari hubungan sah antara Papa dan Mama, yang telah diakui secara hukum negara, yang berasal dari dua keluarga paling berpengaruh di Negeri ini, berlimpah kekayaan dan kekuasaan tanpa adanya batasan? Apa yang salah dengan ruas-ruas jariku yang selalu dihantam pecut bambu ketika menyentuh kaki Papa... hanya untuk mengikat tali sepatunya? Apa yang salah dengan keningku, yang harus dibenturkan ke dinding berulang kali, ketika tanganku tanpa sengaja menyentuh kotak hadiah yang kukira akan diberikan untukku di hari ulang tahun? Semua perlakuan kejam Papa... yang tanpa henti menyiksaku... selalu menciptakan pecahan kaleidoskop di alam bawah sadarku, ketika benakku begitu keras mencari tahu alasan di balik kebiadaban seorang Ayah terhadap Anak kandungnya.
Mama. Wajahnya begitu murung, menahan dendam, tiap kali Papa pulang ke hunian mewah ini... yang harusnya memberikan kami kehangatan dan kedamaian. Bentakan, hinaan, cacian hanya bisa keluar dari mulut Papa ketika melihat Mama yang berusaha melayaninya sehabis pulang kerja. Tubuh kecilku hanya bisa bersembunyi di balik guci yang tingginya dua kali tinggi Papa, menyaksikannya menjenggut rambut Mama, hingga tangan kekarnya membanting tubuh Mama ke permukaan meja yang kerasnya mampu mematahkan tongkat sulapku. Mama hanya bisa meraung... dengan wajah belepotan... akibat deraian air mata dan darah yang melunturkan riasannya. Bukannya memeluk Mama, atau berusaha menenangkannya, Papa malah membeku bersama wajah Iblis yang mengintimidasiku dalam keheningan. Dan ketika bibir Papa bergerak, hinaan yang selalu melekat di benakku pun bergema, menyerukan, "ANAK PELAC*R!"
Malam itu Papa pergi begitu saja, meninggalkan Mama yang sudah babak belur, disertai beberapa tetesan darah di area wajahnya. Tubuh kecilku hanya mampu mendekat setelah memastikan sosok Papa lenyap dari rumah ini. Tanganku berusaha menggenggam jari-jari elegan Mama, berhiaskan cat-cat merah di kukunya, beserta sematan cincin emas bermata berlian. Ketika niatku hendak menghibur Mama muncul, jari-jarinya yang runcing meremuk kedua sisi lenganku, membiarkan rasa perih menjalari tubuhku, hingga air mataku mengalir menyaksikan kebengisan Mama.
"Sudah sadar betapa biadabnya Papamu!? Memang apa salahnya menjadi Pelac*r hanya untuk mengikatnya dengan kehadiranmu!? Ha!?" teriakan Mama memaksaku gentar, menangis sejadi-jadinya, sampai-sampai suara serakku memohon Mama untuk berhenti mengikuti kebiadaban Papa. "JANGAN MENANGIS!" tamparan Mama menciptakan rasa terbakar di pipiku. Tubuhku berusaha melarikan diri, namun cabikan kuku Mama berhasil membekukanku di hadapannya. "Baj*ng*n itu tak menganggapmu sebagai darah dagingnya! Baj*ng*n itu telah dikelabui oleh Pelac*r yang hanya memberinya fantasi cinta! HAHAHAHA!!!" tatap wajah bengis Mama ke awang-awang lampu kristal, bersama gelegar tawanya yang menerkam telingaku. Sekejap, wajahnya kembali membidikku. "Ingatlah Kevin... Kau adalah Anak sahnya... Tak ada seorangpun yang bisa menyangkalnya! Camkan itu!" Jari tajam Mama kini mendorong tubuhku hingga terpuruk ke lantai, seraya berdiri terhuyung-huyung, meninggalkanku yang meronta dengan suara tertelan.
Mataku yang berlinang memandangi tetesan darah di lantai, menikmati genangannya yang kuharap segera melumatku ke semesta paralel. Mimpi buruk yang tak lekang oleh waktu berhasil mengguncang jiwaku, hingga memaksa bocah berusia delapan tahun lebih baik memilih mati... daripada harus tersiksa di tengah gelimangan harta mengerikan.
Kaki kecilku melangkah, membiarkan sekujur tubuhku menahan rasa sakit akibat penyiksaan Mama, terus menelusuri lorong mewah yang ditopang pilar-pilar kayu Mahogany dan sanding-sanding emas murni. Mataku sesekali melihat jejeran foto keluarga besar, berisikan para anggota konglomerat dari klan Lohia dan Lubutin, begitu apik dan agung. Namun, mataku begitu takut melihat mata Papa di setiap barisan foto itu. Matanya menyimpan sejuta kemurkaan... ketika tubuhnya... terpaksa bersanding bersamaku dan Mama.
Sesampainya di kamar, kututup pintu perlahan, memastikan tak ada gema yang merambat ke lorong agung hingga menyentuh telinga Mama. Hatiku takut jika Mama tiba-tiba datang dan menghardikku kembali, memaksa jiwaku harus memilih antara hidup dan mati... atau bahkan... menerima takdir bahwa diriku tak berharga. Tubuhku hanya ingin sendirian, membiarkan biasan Purnama di luar sana menghangatkan jiwaku yang... kesepian.
Tanganku merangkak menjalari bawah kasur, merogoh boneka Beruang yang kuterima secara diam-diam dari salah satu Karyawan kepercayaan Papa di anak perusahaan Surabaya. Om Arman Aditama. Beliau memberiku sebuah boneka Beruang bernama Farhan setelah diriku dibentak habis-habisan oleh Papa. Jariku tak sengaja menjatuhkan pulpen dari meja kerjanya. Mungkin saat itu, Om Arman iba padaku karena Papa meninggalkanku begitu saja di unit perusahaan, sedangkan Mama juga pergi entah ke mana. Om Arman, dengan usapan hangatnya, berhasil menenangkan kecemasan bocah berusia enam tahun yang tak tahu harus berbuat apa. Beliau menemaniku sepanjang malam, bahkan memberiku boneka Beruang ini yang dulu tersimpan di dalam loker kerjanya. Om Arman juga bilang bahwa beliau memiliki seorang Anak seumuranku yang sedang menyukai hewan Beruang. Aku menerima bonekanya penuh rasa syukur, menikmati usapan lembut tangan beliau di rambutku, beserta lantunan merdu suaranya yang berusaha melelapkanku di sofa empuk. Sayangnya, seorang Pengawal Pribadi menarik tubuhku paksa untuk segera menemui Papa, memisahkanku dari sosok Malaikat... yang kini... begitu kurindukan kehadirannya.
Sungguh... kuingin hidup... bersama Om Arman saja.
Boneka Beruang inilah satu-satunya Sahabatku, yang tak pernah bosan mendengar keluh-kesahku, setelah diriku merasakan penyiksaan Papa dan Mama. Farhan. Aku selalu berimajinasi jika dirinya memahami kepiluanku yang tak tahu harus kubuang ke mana. Tubuhku selalu memeluk Farhan, membiarkan bulu-bulu lembutnya menari di sisi leherku, dan mengarahkan bibirnya ke keningku sebagai kecupan selamat malam.
Aku menyayangimu Farhan. Sungguh... kau adalah Sahabat terbaikku. Kumohon... jangan tinggalkan aku sendirian... di Neraka Jahanam ini...
Mata kecilku berderai semalaman, membiarkan sarung bantal sutra menjadi lembab, bersama pelukan eratku di tubuh Farhan. Dia sudah menemaniku sejak dua tahun terakhir. Sayangnya, Farhan hanya bisa menjaga jiwaku di kala tidur. Ya... hanya di kala tidur... karena nyaliku terpaksa menyembunyikannya di siang hari. Jika Mama atau Papa tahu keberadaan boneka ini, mereka pasti akan membunuhnya, dan menjadikan tubuhku sebagai sasaran amarah lagi. Mereka, terutama Mama, menempa mentalku menjadi sosok Iblis terkutuk, yang tak seharusnya lemah... bersama boneka Beruang.
"Farhan... aku harus pergi seko..." bibirku seketika membeku mendengar bantingan pintu kamar.
Mama, yang telah lengkap dengan baju mewahnya, bersama kacamata hitam yang menutupi lebam di area matanya, berjalan begitu cepat ke kasurku. Tanganku gemetar menyembunyikan Farhan di balik punggungku, bersama rintihan hati yang meminta Tuhan untuk menyelamatkan satu-satunya Sahabatku. Barisan kuku tajam Mama kembali meremuk sisi lenganku, mendirikanku tegak ke hadapannya, hingga wajahnya tepat berada di depan hidungku. Mataku hanya bisa menunduk menahan air mata... karena kecemasanku terhadap Farhan... makin menjadi-jadi.
"Kau tak perlu sekolah hari ini," bentak Mama bernada rendah.
"T-tetapi, Ma... K-Kevin ada uj..." tamparan keras kembali membakar sisi pipiku. Tubuhku bergeming, dengan buyaran konsentrasi yang melahapku ke dalam linangan air mata. Bibirku kembali bergetar, begitu susah payah menahan tangis yang hendak meluncur ke daguku. Aku tak ingin Mama membentakku lagi... sebagai seorang... pengecut.
"Ganti bajumu sekarang!" gelegar perintah Mama memaksaku terbirit-birit ke walk-in-closet, membiarkanku sesekali melirik bantal yang sedang menindih Sahabatku. Kumohon, Tuhan... lindungi dia. Tanganku begitu cepat menelanjangi diri, menarik pakaian apa saja yang ditangkap mataku, lalu segera menutupi tubuhku kembali. Kakiku berlari lagi ke hadapan Mama, berdiri bergeming, menanti perintahnya untuk segera kupatuhi. "Hari ini, kau akan melihat tingkah laku menjijikkan Papamu itu," tarikan kasar Mama menyeretku mengikuti langkahnya yang menggebu. Namun, yang paling kucemaskan adalah Farhan. Dia masih terjebak di bawah bantalku. Bagaimana jika ada yang menemukannya... lalu melaporkannya ke Mama atau Papa? Aku... tak bisa kehilangan... satu-satunya Sahabatku...
Mama menyetir mobil dengan kecepatan penuh, begitu fokus menatap jalanan meskipun kening beruratnya dialiri keringat dingin. Hatiku berdegup kencang, memikirkan nasib Sahabatku yang masih terimpit bantal, berharap jika saja dirinya bisa merangkak ke kolong kasurku, atau ke tempat persembunyian lain yang telah kusiapkan untuknya. Kaki kecilku tak berhenti gemetar, diiringi jari-jariku yang terus mengikis ujung-ujung kuku, terus meyakini prasangka jika Farhan takkan celaka.
Tembang lawas yang diputar Mama, Ain't No Way oleh Aretha Franklin, selalu berhasil menciptakan senyum khas saat bibirnya melantunkan lirik lagu. Kuyakin, lagu itu sedang menyemangati jiwanya untuk menjadi sosok wanita tangguh tanpa harus menyembunyikan jati diri aslinya. Mama telah sekuat tenaga mencintai Papa, dengan cara apapun, agar perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Seperti lagu itu. Mama berharap jika Papa sekali saja, dengan rasa jujur, meminta Mama untuk mencintainya... dan pasti... akan Mama korbankan seluruh jiwa-raga hanya untuk Papa seorang. Melihat tawanya di klimaks lagu... selalu memberiku harapan bahwa... keluargaku akan berakhir bahagia. Sayangnya harapan itu musnah, beriringan dengan tangisan Mama di saat lagunya berakhir. Wajahku kembali beku memandangi jalan, membiarkan Mama memutar ulang puluhan kali... lagu yang berhasil... mengguncang cintanya.
Mama... aku takut...
Mobil Mama memasuki lingkungan asri yang dipenuhi hamparan rumput hijau. Mataku pun bisa menangkap desiran ombak danau biru yang diterpa angin. Langit hari ini tak begitu terik, ditutupi awan-awan putih untuk melindungi tiga manusia yang sedang bermain di rerumputan lembut. Mereka... tampak sungguh... bahagia. Seperti cabikan Harimau... tanpa belas kasih... jari-jari tajam Mama meremas pipiku, menarik kepalaku agar secepatnya mendekati sisi jendela pintu mobilnya. Cengkeramannya begitu perih, seperti sayatan pisau yang mengiris kulitmu, kemudian dipercikkan perasan jeruk lemon hingga bernanah.
"Kau lihat Baj*ng*n itu... TATAP WAJAHNYA!" hardik Mama ke telingaku. Tetesan air mata ke tengkukku... sama sekali gagal meredam gejolak batinnya... ketika Mama melihat Papa tertawa lepas... bersama seorang wanita dan bocah seumuranku. Mereka berlarian... bermain lempar lembing plastik... begitu bahagianya... bahkan tangan kasar Papa, yang biasanya menyiksaku sampai babak belur, dengan lembut menggendong tubuh bocah itu.
Papa... mustahil bermain bersamaku... seperti yang sedang dilakukannya... kini...
"Ingatlah Kevin... Papamu lebih memilih Pelac*r dan Anak haramnya ketimbang menghabiskan waktu bersamamu. Pendam dendam ini dalam-dalam. Jangan biarkan pudar oleh waktu. Bencilah mereka... seakan-akan kau ingin membunuhnya. KAU MENGERTI!?" bentakan Mama makin memaksaku menguatkan kepalan tangan, membiarkan urat-urat biru menjalari tangan kecilku, hingga denyutnya terasa ingin pecah. Sebuah hasrat, begitu bengisnya, mulai membakar hatiku, mematuhi perintah Mama untuk... menyimpan dendam yang semakin lama semakin tumbuh tak terkendali. "KAU HARUSNYA MENGAMBIL HATI PAPAMU! DASAR ANAK BERANDALAN!"
Hantaman keras sikut Mama membanting tubuhku ke lantai mobil. Rasa perih mulai menjalari bibirku, bersama denyutannya yang kuat, bahkan terasa sampai ke ubun-ubunku. Tanganku dengan cepat membungkus kepalaku, menghalau keanarkisan Mama yang sedang menyiksaku kembali. Mata Mama tak henti-hentinya membidik Papa yang masih riang-gembira bersama manusia pilihannya... memendam rasa ingin membunuh... yang ditularkannya... ke benakku.
"Ampun, Ma! Ampuni, Kevin!" puluhan kali kuteriak, memohon kemurahan hati Mama untuk segera menghentikan penyiksaannya. Yang ada... tinjunya makin menggebu-gebu meremuk tulangku... hingga sikutnya tak sengaja mengentak bantalan klakson... dan memaksa wajah Papa menoleh. Begitu panik, Mama langsung menyalakan mesin mobil dan melaju secepat mungkin.
Jangan sampai Papa mencurigai keberadaan kami yang sedang... mengintainya. Jika itu terjadi... hidup kami berdua akan lenyap... malam ini.
Umpatan kasar dan hardikan Mama tak terbendung lagi. Meskipun lagu kesukaannya sudah terputar puluhan kali. Wajah saljunya memerah, bersama mata murka yang membiarkan air asin terus meluncur ke dagunya. Riasan Mama kembali luntur, sama seperti di malam ketika dirinya menerima pukulan Papa. Bibirnya tak berhenti menyembur kata kasar untukku, namun lebih sering mengutuk wanita dan bocah yang tadi riang gembira bermain bersama Papa... layaknya... sebuah keluarga harmonis. Telapak tanganku terus melekat erat ke telinga, menghalau sebisa mungkin kata-kata kasar Mama yang menghujam lipatan benakku... dan itu semua... sia-sia.
"MASUK KE KAMARMU! ANAK BERANDALAN!" hardikan Mama memecut kakiku agar segera berlari ke kamar. Kulakukan. Sungguh kulakukan. Tak ada rasa sungkan sedikitpun untuk menolak perintah Mama yang sudah kunanti sejak tadi. Kakiku melesat sekencang-kencangnya, melewati jejeran foto maha agung yang kini tersenyum seperti Iblis ke arahku. Mereka mengolok-olok kemalanganku yang terlahir di tengah keluarga konglomerat. Tanganku akhirnya meraih pintu kamar, membukanya, dan tanpa sengaja membantingnya untuk melenyapkan gelak tawa Iblis di jejeran foto itu. Tawa mereka masih betah menari di lipatan benakku! Tubuhku merangkak ke atas kasur, menemukan Farhan yang kini kupeluk erat, seraya tanganku membaluti kami dengan selimut tebal.
Siapa saja... kumohon... selamatkan aku...
"Farhan... aku takut..." cemasku mengarahkan bibir lembut Farhan agar menempel ke sisi leherku, bersama gelitikan bulu-bulu cokelatnya yang sedikit-demi-sedikit menghancurkan terkaman Iblis di benakku.
Kevin... jangan takut. Aku di sini bersamamu.
"Aku tak mengerti mengapa Papa dan Mama begitu tega menghancurkan jiwaku... menyiksa fisikku... padahal bukan salahku terlahir ke dunia ini untuk menjadi darah daging mereka. Kenapa aku tak memiliki kesempatan untuk disayangi oleh kedua Orangtuaku, selayaknya yang dialami teman-temanku di sekolah, selayaknya yang dibicarakan Guruku jika kasih Ibu sepanjang masa? Kenapa tubuhku tak diberi kasih sayang selayaknya seorang anak? Apakah diriku begitu hina untuk mereka, Farhan?"
Tidurlah, Kevin. Aku akan selalu di sini... menjagamu... dan menyayangimu selamanya.
***
"Farhan..."
Kelembutan musik klasik menyadarkanku dari kejamnya semesta paralel. Entah kapan mimpi buruk itu sirna... berhenti menerkam jiwaku... yang lama-kelamaan semakin ditelan kebengisan Iblis. Tubuh telanjangku masih betah berbaring di permukaan kasur empuk, terkurung di dalam kamar bangsawan, menerawang biasan lampu kristal yang cahaya redupnya diserap oleh gorden-gorden tinggi berwarna anggur merah. Begitu halus memaksa lirikanku, sentuhan rambut di sisi leherku tak kuasa meminta jari-jariku mengusap kulit kepalanya, agar dengan senang hati memberikan rasa aman untuk gadis yang sedang memelukku. Alexa
Pipi meronanya masih betah menempel di dadaku, bersama gerak bibir yang sesekali menghangatkan jantungku, dengan genggaman jarinya yang kuat menyelubungi leherku. Perlahan, tanganku melepas tubuhnya dari tubuhku, menyelimutinya dengan sutra terbaik, lalu mengusap ubun-ubunnya begitu lembut tanpa harus membangunkannya. Bola mataku tertuju pada jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi, membiarkan tubuhku beranjak ke kamar mandi untuk memulai hari baru di Neraka Jahanam.
Langkahku terhenti di depan cermin walk-in-closet. Di dimensi seberang, telah berdiri seorang remaja yang selalu membentuk tubuh tegapnya bak Petarung Colosseum. Paras berdarah oriental-kaukasoid-nya mampu menenggelamkan ekspresi setengah sadar akibat darah yang belum sempurna mengalir ke otak. Alis dan bibir tebalnya begitu simetris, membiarkan rona merah di tulang pipinya menyimpan kerapuhan yang sudah dikuncinya rapat-rapat sejak belia. Di belakang bayangan itu, muncul sesosok Iblis yang mulai mencengkeram lehernya. Lidah api mulai menjilati daun telingaku, mengantarkan hawa panas sebagai ucapan selamat pagi, sang Raja yang meremuk jantungku. Denyut nadiku mengentak kuat, berulang kali, membiarkan kemurkaan sang Iblis... merajai sisi manusiaku.
Mustahil menghentikan Iblis ciptaanku sendiri. Menyesalinya... hanya membuang tenagaku percuma. Kekuatannya begitu dominan, sedikit-demi-sedikit menggerus jati diriku, bahkan menghancurkan rasa empatiku untuk peduli terhadap ratapan manusia. Paling tidak, sesekali, Malaikat menarik sisi rapuhku untuk mencerna konsekuensi dari ratusan kebiadaban yang telah kuperbuat... sepeninggalan Pria yang kusebut Papa. Namun hasutan Iblis... adalah percikan Surga yang tak mampu kutolak keberadaannya.
Semua itu terjadi karena Farhan mengingkari janjinya. Tidurlah, Kevin. Aku akan selalu di sini... menjagamu... dan menyayangimu selamanya. Janjinya itu selalu terngiang-ngiang di benakku, tepat sebelum Mama menghancurkannya menjadi buih-buih kapas yang terbakar api Jahanam.
Hancurkan sosok lemah itu! Kau harus tumbuh menjadi anak tangguh! Boneka itu hanya membuatmu cengeng! Sadar, Kevin! Jangan jadi pecundang! KAU ANAK BERANDALAN!
Mama menemukan satu-satunya Sahabatku ketika rasa damai membelengguku lebih lama di semesta paralel. Secara bengis, Mama merebut tubuh Farhan dari pelukanku, menghardikku dengan umpatan terkasar yang dimilikinya, hingga tubuhku bersujud ke kaki Mama untuk memohon belas kasihnya mengampuni Farhan. Yang ada, ujung runcing sepatunya menyayat pelipisku. Mama membentakku selayaknya Iblis yang merajai tubuhnya, menginjak-injak tubuh Farhan sebagai alasan yang menjadikanku lemah dan tak mampu mengambil hati Papa.
Bukan salahku jika Mama tak bisa memuaskan hasrat Papa... atau... melampaui ekspektasi beliau!
Mama secara kejam menyeret Farhan ke pekarangan belakang, diikuti langkah kecilku yang tak memedulikan tetesan darah dari pelipisku. Dengan pisau yang digenggamnya, Mama mencabik-cabik tubuh Farhan menjadi gumpalan-gumpalan kapas yang sebagiannya diterbangkan angin. Tak sampai di situ, koyakan tubuh Farhan disulut api, hingga terbakar hangus tanpa belas kasih. Tubuhku yang meronta-ronta dikunci Mama ketika berusaha menyelamatkan Farhan yang semakin cepat menjadi abu.
Jari-jari tajam Mama mencengkeram pipiku, membiarkan mata merahnya murka, menghinaku kembali sebagai seorang pengecut tanpa henti. Sekejap, tubuhku membeku, meskipun linangan air mata tak berhenti menetes ke daguku. Mama mendorong tubuh kecilku, membiarkanku menikmati tatapan Farhan... yang semakin lama semakin dilahap api Jahanam.
Kau berjanji untuk berada di sisiku... menjagaku... dan mencintaiku selamanya! Tetapi... tetapi... MENGAPA KAU INGKAR, FARHAN!?
Pikiranku kembali selamat dari terkaman memori buruk di masa lampau. Tubuhku beranjak ke kamar mandi, memaksa pancuran air sedingin es mengguyur tubuhku untuk melenyapkan sisi lemah yang sempat menghangatkan hatiku. Aku... merindukanmu, Farhan. Air es mampu menyembunyikan tetesan air mata ketika mengenang kematian boneka Beruangku, menyembunyikanku dari kehadiran Iblis yang sejak tadi terjebak di sisi kaca area shower. Wajahnya begitu bengis, mengolok-olokku untuk segera memusnahkan sosok melankolis, memaksaku membiarkan tubuh panasnya kembali merajai hatiku.
Dia gusar saat menunggu air dingin lenyap dari kulitku.
Aku kalah. Lagi-dan-lagi. Iblis mengambil-alih tubuhku yang kini sedang dikeringkan dari embun air es. Tangannya begitu cermat memilih seragam sekolah, ikat pinggang, kaos kaki, jam tangan, dan sepatu yang langsung dibalutnya ke tubuhku. Kakinya melangkah keluar walk-in-closet, berhenti sejenak di hadapan seorang wanita bertubuh telanjang yang terbalut selimut tebal. Iblis kembali melangkah ke hadapan cermin kamar, mendekati sisir yang biasa kupakai untuk menyisir rambut menjadi klimis. Alexa memeluk tubuhku dari belakang, menempelkan dadanya, berharap agar jiwaku menyerap detak jantungnya yang tenang. Jari-jarinya mulai meraba permukaan dadaku, berusaha mencari detak jantungku agar bisa menyatu dengan miliknya. Seketika, Iblis menepis pelukan Alexa agar tubuhku segera beranjak keluar kamar.
Waktu berangkat sekolah akan segera tiba. "Bergegaslah," tukasku ke Alexa sebagai perintah yang harus dituruti.
Di meja makan, telah tersaji beragam jenis sarapan bangsawan yang selalu kunikmati sejak belia. Mungkin bagi kaum jelata, hidangan ini adalah kemewahan tiada tanding yang mustahil untuk dinikmati. Bagiku, sarapan ini hanya sekedar sampah penunjang energi, yang nantinya berguna untuk menindas para budak di sekolah elit ibu kota.
Cuplikan mengerikan kembali muncul saat bibirku melahap croissant saus karamel. Semesta paralel menyerapku ke memori masa kecil... ketika tubuhku duduk di samping Mama saat sarapan sebelum berangkat sekolah. Jiwa beliaku kembali disiksa dengan doktrin-doktrin mengerikan, memaksa hatiku terus menanamkan dendam ke sosok Pelac*r dan Anaknya... yang lebih dipilih Papa sebagai pendamping hidupnya.
Mereka makhluk biadab yang pantas mati! Mereka telah mencuri Baj*ng*n itu yang seharusnya mengakuimu sebagai darah dagingnya! Jangan biarkan mereka hidup bahagia! Bagaimanapun caranya, kau harus menghancurkan mereka!
Seluruh doktrin biadab Mama harus kutelan selama bertahun-tahun, membiarkan jiwaku terguncang, hingga akhirnya menciptakan Iblis untuk menggantikan sosok Farhan. Sebagai Pelindungku. Hingga akhirnya kumenginjak SMA, tubuhku bisa terlepas dari kekangan Mama yang mulai sibuk menikmati kemenangannya sejak kematian Papa. Aku diberikan kekuasaan untuk tinggal sendiri di apartemen ini, berusaha menyelamatkan jiwa suci yang terkubur jauh di dalam sanubariku, bersama mayat Farhan yang berabu. Namun sayang... sosok Iblis yang kuciptakan begitu kuat, hingga melampaui batas kekuatanku untuk membinasakannya.
"Sayang..." Alexa tiba-tiba mengecup bibirku. "Hmm... kau sungguh manis," lidahnya yang menjilati karamel membiarkanku menatapnya datar. Kini, tubuhnya telah rapi dibaluti seragam sekolah. "Aku akan bawa mobilku sendiri," ujarnya duduk, bersama tangan yang menggerayangi roti bakar madu, "karena hari ini harus pulang ke rumah. Tak ingin 'kan Papaku curiga," liriknya, "karena Anak gadisnya sudah menginap di rumah teman selama tiga hari berturut-turut?" tawa Alexa menyindir alibinya. "Bagaimana tidurmu semalam? Masih... mimpi buruk?" Pertanyaan Alexa memaksaku berdiri sekejap. Jiwaku harus menahan Iblis yang ingin sekali menampar gadis pujaanku. Tubuhku beranjak ke meja di samping grand piano, mengambil kunci mobil dan tasku, lalu pergi ke pintu keluar.
"Titipkan kunci apartemen ke Resepsionis," banting tanganku menutup pintu. Iblisku mengamuk, merasa tak puas akibat hasratnya tak tersalurkan... setelah Alexa mengingatkanku kembali ke trauma masa lalu. Kakiku kupaksa masuk ke dalam elevator, bersama kepalan tinju yang mulai menghantam sisi sanding kaca. "ARRRGGHH!!! BAN*SAT!!!" Napasku terengah-engah, membiarkan luapan emosi sang Iblis tersalurkan sebagai pengganti siksaannya ke tubuh Alexa. "Kumohon... jangan paksa aku..." jiwaku merintih agar Iblis berhenti menghasutku. Aku... tak ingin lagi... menganiaya manusia tak bersalah. Dan ketika pintu elevator terbuka, aliran hawa panas menyeret tubuh-gemetarku menelusuri parkiran mobil.
Musik klasik kuputar sekeras mungkin agar logikaku teralihkan dari pandangan Iblis. Makhluk terkutuk itu masih betah membakarku. Cengkeraman jemariku begitu kuat ke lingkaran stir, membiarkan denyut dari urat-urat nadi menyayat otakku. Pikiranku harus teralihkan dari hasrat ingin membunuh seseorang. Jika terus kubiarkan, sampai kapan sisi nuraniku harus terkubur bersama Farhan yang semakin lama semakin lenyap?