Kau adalah anugerah, Anakku.
Denyut nadi masih saja menguburku ke dalam teka-teki Pak Fariz. Pikiranku gundah, berusaha memecah kerumitan kematian Ayahku.
Kevin. Namanya begitu nyaman menari di urat sarafku, mengantarku pada sosok pemuda tegap berparas elok, yang begitu kuharapkan bisa menjadi seorang teman, sosok pelindung, karena karisma Kesatrianya. Namun semua itu hanya kedok yang melindungi Iblis mematikan, makhluk terkutuk yang telah mempermalukanku di hadapan para siswa tanpa belas kasih. Kevin. Sayangnya, Penindas itu menjadi salah satu kunciku agar bisa lebih dekat ke titik terang dari permasalahan yang sedang menerkamku.
Air dingin mengalir ke sekujur tubuhku, melenyapkan sisa-sisa kantuk dari kekalutan mimpi terkutuk. Semalam, mataku begitu betah menantang sinar radiasi monitor saat menelusuri artikel-artikel tentang Miranda Lubutin. Entah mengapa pipiku terasa panas memikirkan nama wanita itu, seakan-akan amarah berusaha merajai logikaku. Hanya ada satu artikel yang mengulas tentang kehidupan pribadinya, di antara ratusan artikel yang mendeskripsikannya sebagai wanita tangguh penerus bisnis multinasional. Artikel itu mengulas tentang pemakaman Wira Lohia yang dihadiri jejeran kasta konglomerat, yang menyimpan sosok bocah berparas sendu di tengah para manusia terhormat. Artikel itu juga menegaskan bahwa sang Raja mewariskan tahta kerajaan bisnisnya kepada Permaisuri, sekaligus Putra Mahkotanya yang baru saja menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Sang Putra Mahkota, Kevin Abraham Lohia.
Artikel lain yang kutemukan adalah sebuah ulasan mengenai kesuksesan perusahaan manufaktur Wira Lohia di Surabaya. Pengusaha itu sedang merayakan kolaborasi anak perusahaannya yang sukses menopang komoditas ekspor di pangsa pasar Asia. Wira Lohia tampak begitu bahagia diabadikan di dalam foto tajuk utama, tersenyum puas di antara jejeran Direksi dan para Karyawannya. Namun, mataku lebih terpaku ke sosok pria yang berada di posisi terdekat Wira Lohia, bernama Arman Aditama, yang merupakan mendiang Ayahku.
Tanganku membaluti tubuh yang lembab dengan seragam putih-abu-abu. Jantungku mulai berdetak kencang mengingat kembali kebengisan Kevin di hari pertamaku sekolah. Hari ini aku harus menghadapinya lagi. Apa dirinya sudah menyiapkan penindasan yang lebih kejam dibandingkan hari kemarin? Apa kali ini, aku harus merasakan lagi pelecehan yang meruntuhkan harga diriku di depan kelas? Tidak, Farhan! Kau harus tegar dan mencoba bertahan. Kau harus bisa membela diri meskipun itu sulit. Alasan lainnya, jika Kevin memang darah daging Miranda Lubutin, tak ada cara lain kecuali kau harus bisa mendekatinya. Ini begitu sulit! Setelah kupendam rasa takut, jariku mulai mengemas barang bawaanku, beriringan dengan tubuhku yang beranjak menantang Mentari pagi Jakarta.
Di perjalanan ke sekolah, pikiranku bercampur aduk, meyakiniku untuk menghapus pikiran negatif tentang keganasan Kevin, mencoba percaya bahwa si Putra Mahkota masih memiliki nurani di dasar sanubarinya. Meskipun kemungkinannya sangat tipis. Namun, janji Pak Fariz juga berdiri tegak di samping kekalutanku, memberiku keberanian bahwa diriku takkan sendirian melawan remaja konglomerat itu.
Meskipun telah kukumpulkan nyali hingga menumpuk di ubun-ubun, sekaligus sedikit rasa amarah ketika terngiang nama Miranda Lubutin, wajahku pada akhirnya hanya bisa tertunduk, bersama langkah cepat kakiku melewati gerbang sekolah. Tubuhku sebisa mungkin menjauhi bidikan Kevin yang sedari tadi sudah kuintai dari jendela taksi online. Mataku memicing, diikuti lariku yang tergopoh-gopoh, seperti orang pandir yang ketakutan setengah mati. Tolong jangan lihat aku! Tolong jangan lihat! Sebagai balasan tingkah konyolku, keningku tanpa sengaja mengentak punggung tegap seseorang yang langsung memaksa lututku gentar. Kenapa kau begitu bodoh, Farhan?
“Farhan?” Seorang siswa menggenggam pergelangan tanganku yang masih sibuk mengusap kening. Dengan pandangan gugup, kuberanikan diri meliriknya. Ternyata Jerom! Bibirku langsung merekah menyampaikan rasa lega. “Sakit?” usap jarinya ke keningku. Kubalas dengan gelengan kepala.
“HEY ANAK PELAC*R!” getaran mengerikan merambat dari arah Kevin berdiri. Amukannya berusaha menerkamku... atau mungkin pemuda di dekatku. Jerom seketika memejamkan matanya, masih betah memunggungi Kevin yang wajahnya penuh kemurkaan. Tampak olehku seorang siswi dari grup konglomerat sedang bersusah-payah memeluk tubuh tegap Kevin. Rasanya, Penindas itu sudah tak tahan untuk menghajar tubuhku dan Jerom. Namun yang ada, lengan kekar Jerom tiba-tiba menyelubungi leherku, tak meladeni rasa cemasku, malah memutar tubuhku untuk ikut memunggungi Kevin. Dengan langkah kaki santai, kami pun berjalan menuju kelas. Jerom... seperti sedang... mengejek Kevin.
“Abaikan saja si sinting itu,” gerak bibir Jerom cekikikan. Mungkin, perkelahian sengit kemarin sempat membuatnya gegar otak, sampai-sampai nyalinya tak gentar menyelubungi ekspresinya. Hanya… terkaanku saja. Meskipun kuragu, namun Jerom berhasil memberiku keberaniannya agar jiwaku tak terlalu terintimidasi oleh perangai Kevin.
“JEROM! KEMARI KAU!”
Bentakan yang lebih tajam tiba-tiba menghujam jantungku. Getarannya lebih mengerikan dibandingkan bentakan Kevin. Kupikir, jantung Jerom juga berdegup kencang karena denyutnya mengalir ke sisi pundakku yang menempel di dadanya. Mataku menoleh ke arah Kevin berdiri, menangkap sosok Pak Fariz yang wajahnya menyimpan aura kelam, seperti sudah memusnahkan keramahan yang sempat dibaginya kepadaku tempo hari.
“Farhan, kau ke kelas duluan,” rangkulan Jerom lepas dari tengkukku. Kakinya melangkah ragu mendekati Pak Fariz, seperti terancam oleh sosok karismatik yang mampu melahap pertikaian dua Iblis. Aku… aku menuruti perkataan Jerom, meninggalkannya, dan melangkah cepat menuju kelasku.
Apa yang mereka bertiga bicarakan, ya? Bukan… apa perintah Pak Fariz yang harus dipatuhi oleh kedua saudara tiri itu? Benakku penasaran jika saja Pak Fariz benar-benar memenuhi janjinya begitu cepat, sebagaimana yang telah diikrarkannya padaku. Tetapi, sudah kujelaskan padanya bahwa Jeromlah yang membantuku. Lalu, mengapa aura menakutkan Pak Fariz seakan-akan tak peduli dengan pernyataanku, seperti dirinya juga ingin memberi hukuman kepada Jerom yang sudah berkelahi dengan Kevin?
Berada di kelas, mataku melirik Jerom yang masih betah menggaruk sisi kepalanya. Meskipun hatiku senang karena dirinya memutuskan duduk di sampingku, kekalutan Jerom tak bisa lenyap sejak pelajaran dimulai. Apa sebenarnya isi percakapan Jerom bersama Pak Fariz di lapangan parkir tadi, sampai-sampai butiran keringat mengalir dari kening pemuda baik hati di sebelahku ini? Apa yang…
“Jerom!” getaran suaran Bu Hilda merambat ke telingaku. “Apa jawaban soal nomor tujuh?” Tampaknya, Bu Hilda sadar jika Jerom tak memperhatikan pelajaran Bahasa Inggris sejak awal. Sikutku menyentuh sikut Jerom, bersama jariku yang menggeser buku tulis berisikan jawaban yang diminta Bu Hilda.
“Um… karena kalimatnya berbentuk perfect past tense… jadi, butuh verb ketiga. Karena bentuk verb-nya irregular, jadi… jawabannya… sung?” gugup Jerom. Bu Hilda hanya mengangguk dengan tatapan tajam ke arah pemuda di sampingku. Sepertinya, beliau juga menyadari kecuranganku yang membantu Jerom, namun membiarkannya kali ini saja. Syukurlah. “Terima kasih,” bisik Jerom bersama isyaratnya.
Kau kenapa? —tulisku di secarik kertas.
Tak perlu cemas —tulisnya membalasku. Jerom tersenyum penuh percaya diri, seperti berusaha menenangkan kecemasanku. Ya. Wajah pribumi-oriental-nya benar-benar tampan saat membohongiku.
Bagaimana lukamu?
Lebih baik.
Aku sungguh nakal. Di samping rasa jengkel akibat kebohongan Jerom yang berusaha menenangkanku, perangaiku sudah mengalihkannya dari pelajaran agar fokus membalas tulisan pertanyaanku. Tetapi jujur saja, melihat Jerom sembunyi-sembunyi menahan tawa, dengan raut wajah antusias, membuatku semakin betah mengalihkan perhatiannya agar terus meladeniku. Mungkin karena dirinya satu-satunya siswa sebaya, memiliki alat indra berfungsi normal, yang mau berinteraksi dengan siswa tuli dan bisu sepertiku. Ya. Ini pertama kalinya untukku. Biasanya, orang-orang ber-indra sempurna yang berinteraksi denganku usianya jauh lebih tua. Pemilik kedai jajanan pasar. Ketua Yayasan. Mendiang Ayah dan Ibuku. Juga Pak Fa... riz... oh, tidak... sosok beliau... Memikirkannya saja… memaksaku kembali cemas mencari tahu… apa yang disampaikannya untuk Jerom dan Kevin di parkiran sekolah?
Kau bisa Bahasa Inggris? —tulis Jerom kembali di secarik kertas.
Tentu. Bahasa Isyarat juga memiliki versi internasional yang diakui. Dan semuanya berdasarkan Bahasa Inggris. Istilahnya ASL —balasku.
Kau keren sekali —pujinya kubalas dengan tawa hen...
PRAK!
"Farhan!"
Argh! S-sakit sekali...
Tak kuasa wajahku menunduk, diselubungi jari-jari yang menekan sisi kepala belakang. Hentakan keras baru saja menghantam area kepala yang sedang kuusap, menciptakan denyut tajam yang membuatku meringis kesakitan. Mataku tertuju ke lantai, melihat kotak pensil besi yang isinya sudah berserakan akibat lemparan dari belakangku. Jerom sedang memaki seseorang yang dituduhnya sebagai pelaku ke-iseng-an, memaksa tubuh Kevin berdiri bersama mata murka yang mengintimidasiku kembali.
"Ada apa ini!?" bentak Bu Hilda yang berjalan mendekati barisan kursiku. "Tidak luka," jengkelnya menatapku. "Sudah. Jangan cari masalah," ketusnya sinis seraya beranjak kembali ke area papan tulis.
"Bu! Bukan Farhan yang salah! Baj*ng*n di belakang itu..."
"Jaga bicaramu!" hardik Bu Hilda menerkam Jerom. "Dasar anak kurang ajar!" Seluruh siswa di kelas sontak menatapku dan Jerom jijik, menyimpan gelak tawa mereka akibat malangnya nasib kami yang tak diberi pembelaan. Gerutu Jerom begitu kental terasa saat dirinya duduk kembali, memaksa matanya menahan amarah yang sesekali membidik Kevin di barisan paling belakang. Putra Mahkota itu hanya tersenyum simpul, menyimpan ejekan atau lelucon untuk memuaskan dahaganya. Seketika, pandangannya menusuk mataku, mengantarkan kemurkaan yang berusaha kulawan dengan amarahku.
Pria itu tak seharusnya menganiaya orang lain hanya untuk bahan candaan.
Bel istirahat menggema. Seluruh remaja berjalan cepat keluar ruangan, mengikuti Guru yang telah mengabaikan hak perlindungan bagi seluruh siswa dari perundungan apapun di sekolah. Bukankah hak perlindungan siswa adalah aturan baku yang harus dipatuhi? Melihat perlakuannya itu, tampaknya, hak perlindungan hanya berlaku bagi siswa elit yang keluarganya berada di strata konglomerat tertinggi, selayaknya Kevin.
Seperti Iblis, remaja labil yang manja itu menendang sisi mejaku, menatap Jerom penuh ejekan, bersama kunyahan permen karet yang decapannya menyayat telingaku. Sial! Kenapa rasa takut begitu cepat merajaiku!? Kepalaku tertunduk begitu saja, padahal sudah kupaksa sekuat tenaga untuk menatap intimidasi Kevin yang mendekatkan bibirnya ke daun telingaku.
"Kau pikir bisa lepas dari cengkeramanku?" napas Kevin mengelus sisi leherku. Wajahnya tiba-tiba berada di hadapanku, mengantarkan rasa tidak puas atas keheningan yang kuberikan padanya. "Kau bisa baca gerak bibir, 'kan?" dengusnya memaksaku makin menunduk. "JAWAB!" Bentakannya meremuk jantungku, kubalas dengan anggukan cepat saat menatapnya.
"Kevin! Sudahlah!" Seorang siswi mendekat saat jari-jari Kevin meremas tengkukku. Sontak, tubuh Jerom hendak mendorong Kevin menjauhiku, namun secara cepat dikunci dan diseret ke sudut kelas oleh pengikut konglomerat. Aku akan disiksa lagi...
"HEY!" Lagi-lagi... getaran menggelegar itu ampuh mengusir rasa takutku yang sedang diterkam kebiadaban Kevin. Mataku terpana ke sosok Pak Fariz yang berdiri tepat di pintu kelas, mampu membekukan sisa murid di dalam ruangan, bersama siratan mematikan yang memaksa sekujur tubuhku bergidik. "Kalian berdua ke ruanganku. SEKARANG!" Begitu saja. Hanya itu perintah beliau. Ucapannya memaksa para bawahan konglomerat melepas kuncian mereka di tubuh Jerom, membiarkan dua pemuda yang berseteru itu berjalan mengikuti langkah Pak Fariz tanpa sepatah katapun. Sungguh, aura pembunuh masih bisa kurasakan saat ini, tak henti-hentinya menggetarkan lututku yang padahal telah terbebas dari jeratan Kevin. Apakah... Pak Fariz bisa kuandalkan sebagai... Penyelamatku?
Kuputuskan untuk duduk sendirian di dalam kelas selama istirahat berlangsung. Rasa cemas masih saja bergelut di benakku, mengkhawatirkan Jerom yang sedang berada di ruangan Pak Fariz, tak kunjung datang untuk menemaniku, semakin membuatku kalut apakah dirinya baik-baik saja? Rasa cemasku buyar ketika seorang remaja wanita tiba-tiba duduk di hadapanku, menatapku dengan empati yang terasa oleh logikaku. Gerakan tangannya sama seperti Jerom saat menyebar berbagai jajanan kantin ke permukaan mejaku. Keramahannya membuatku... takut. Mungkin saja dia menyimpan maksud tertentu, mengingat dirinya adalah teman sebangku Kevin, dan juga... kupikir... memiliki hubungan dekat dengan Penindas itu.
"Kita," jari-jarinya yang elegan dan diselubungi kulit putih bersih melayang ke hadapanku, "belum berkenalan." Tanganku menjabat jari-jarinya, lalu kutarik kembali secara perlahan. Bibirnya tersenyum menanggapi rasa gugupku. "Aku Alexa." Kutunjuk pula nametag-ku untuk memperkenalkan diri. "Aku tahu namamu, Farhan," senyumnya kembali padaku. "Makanlah apa yang kau mau. Well, aku tak tahu jajanan favorite-mu apa," suguhnya saat melahap kroket kentang. Aku mengangguk tanpa mengambil jajanannya sama sekali. Malah, tanganku mengeluarkan botol minum yang langsung kuteguk. Aku... takut. "Oh ya," celetuk Alexa sambil menguncir rambutnya dan menggigit kertas pembungkus kroket, "kau bisa baca gerak bibir?" tanyanya melanjutkan kunyahan kroket. Aku mengangguk. "Apa aku... membuatmu tidak nyaman? Karena dari tadi... kau hanya menunduk saja menatapku."
T-tidak, panikku dengan isyarat. Aku hanya... sedikit... Alexa mengernyit menatapku, membuatku paham jika dirinya masih asing dengan Bahasa Isyarat. Kukeluarkan ponsel lalu mengetiknya cepat. Kuarahkan padanya.
"Kau gugup karenaku?" senyumnya menanyaiku. Aku mengangguk canggung. Tangan Alexa menepuk pundakku sekali, lalu tertawa seperti seorang bandit yang mengincar uangku. "Farhan... Farhan..." usap Alexa ke matanya, "...aku bukan perundung seperti Kevin. Tetapi, aku juga tak memiliki sihir yang bisa mencegah sifat penguasanya," Alexa mulai menyeruput jus jeruk kemasan. "Aku takkan menindasmu. Aku janji," tatap Alexa ke arahku. "Tetapi, cobalah untuk... ya paling tidak... belajar membela diri. Seperti yang dilakukan Jerom," Alexa kembali tertawa dengan seruputan jusnya. "Makanlah," paksa Alexa ke tanganku agar menyentuh jajanan yang dibawanya. Kuambil satu, roti lapis yang bentuknya sungguh mewah, mengingatkanku pada restoran Jepang yang pernah kukunjungi bersama Orangtuaku dulu. "Bagaimana bisa kau dekat dengan Jerom begitu mudahnya?" penasaran Alexa menatapku.
Memangnya itu hal aneh? ketikku yang kuarahkan ke Alexa. Sekejap dia tertawa, lalu berusaha mengatur ritme napasnya yang terengah-engah. Dia... kenapa?
"Ha-Ha... maaf, Farhan," tepis telunjuk Alexa ke kelopak matanya. "Membaca ketikanmu tadi, otakku langsung membayangkanmu sedang ngomel dengan nada ketus, seperti orang posesif yang takut... pacarnya diambil orang! Ha-Ha-Ha!" tawa Alexa begitu puas tak kumengerti. "Maaf... maaf... huff! Aku terbawa suasana. Maksudku," ucapnya memperbaiki posisi duduk, "Jerom bukanlah tipe remaja yang suka bersosialisasi. Dia tak mau berteman dengan siapapun di sekolah ini. Atau mungkin..." tatapnya ke awang-awang sejenak, "sejak SMP, kurasa... sejak pertama kali kumengenalnya," lalu membidik tajam ke arahku. "Apa yang kau lakukan sampai-sampai dia mau mendekatimu?"
Aku tak melakukan apapun. Sungguh! Aku tak menyangka jika Jerom tipe remaja seperti itu. Dia baik hati dan ramah padaku. Bahkan melindungiku dari penindasan Kevin, ketikku untuk Ale... xa... oh, tidak! Aku panik, teringat sudah menulis 'penindasan Kevin' tanpa sengaja. Kutarik ponselku, kuketik ulang, lalu kuarahkan kembali ke Alexa, aku tak bermaksud menghina Kevin, gugupku.
"Tak masalah. Semua orang juga tahu jika dirinya Penindas," sendu Alexa ke lantai, lalu melihatku kembali. "Apa saja yang kau obrolkan dengan Jerom sejauh ini?"
Tentang kemampuan Bahasa Inggrisku. Tentang lukanya. Tentang hal konyol lainnya, aku cekikikan mengingat obrolanku bersama Jerom tentang SpongeBob SquarePants. Alexa juga ikut tersenyum.
Bel berakhirnya istirahat mulai bergetar. Alexa dengan ramah menghimpun seluruh bungkus jajanan di mejaku, membuangnya ke tong sampah, lalu langsung beranjak ke kursinya setelah menepuk pundakku tiga kali. Kupikir, tak semua makhluk konglomerat di kelas ini yang benci akan kehadiranku. Paling tidak, sudah ada dua sosok sebaya yang mau membuka obrolannya denganku. Jerom dan Alexa.