Jangan takut! Beranilah!
Decapan air pel di lantai menyeret bola mataku ke kiri dan kanan, menelusuri setiap sudut-sudut toilet pria yang sedang kubersihkan, sebelum pengunjung bioskop masuk tiba-tiba. Pikiranku kembali gusar ketika mencari celah keberanian untuk menghadapi Kevin yang kini sekolompok denganku. Bagaimana bisa kubertahan dari Iblis yang selalu ingin menerkamku? Hey Farhan! Nyalimu tak sekuat yang kau pikirkan! Rrgghh! Pikiran pengecut itu kusayat berulang kali, bersama lilitan serabut pel yang kuayunkan secara kasar, membiarkan cairan pembersih lantai turut melenyapkan kekalutanku. Kau harus dekati Kevin! Apapun yang terjadi!
Kakiku melangkah keluar toilet setelah memastikannya bersih berdecit. Mataku terus terpaku ke karpet lorong bioskop, mengikuti telapak kakiku yang menginjak-injak bayangan pengecut di dalam benakku. Ribuan cara untuk mendekati Kevin sudah menari di kepalaku sejak tadi. Membuatkannya sarapan pagi. Tersenyum padanya saat di parkiran sekolah. Tunduk menciumi sepatunya yang terkena debu pasir saat berjalan ke kelas... TIDAK! AKU TAKKAN MELAKUKANNYA! Rrrgggh! Kenapa pikiran bodoh ini tak kunjung lenyap sejak kusayat-sayat secara bengis? Kenapa hatiku terus mencemaskan Kevin ketika nyatanya ada dua Kesatria yang pasti melindungiku? Jerom dan Pak Fariz. Tidak... aku tak boleh lemah... jangan! Jangan lemah, Farhan! Kau bisa membela diri!
Tubuhku berdiri di samping dinding pembatas lorong masuk studio dan bangku penonton. Tak henti-hentinya telapak kakiku mengentak, menunggu para pengunjung segera keluar setelah cuplikan vertikal muncul sebagai tanda berakhirnya film. Tanganku yang telah dilapisi sarung tangan karet mulai mendorong troli ke barisan depan, membelakangi layar studio yang pancaran sinarnya masih menyilaukan. Dentuman speaker yang menggiring lagu penutup makin antusias menghujam jantungku. Rasa sesak yang kupikul karena bayangan Kevin seperti gejolak amarah yang ingin kuhancurkan dengan berteriak. Sayangnya kau bisu, Farhan. Seperti tarikan kuat, kode jari Senior memaksaku mulai membersihkan bangku-bangku penonton, membiarkanku gusar memasukkan sampah-sampah pengunjung ke kantong hitam raksasa.
"Farhan, nanti jangan lupa standby di toilet, ya?" gerak bibir Senior saat tanganku membersihkan bangku di ujung barisan H. Aku mengangguk, seraya dirinya pergi bersama perlengkapan kebersihan. Setelah yakin setiap sudut studio bersih sesuai SOP, tubuhku menyeret kantong sampah raksasa kembali ke dekat layar, merapikan peralatan kebersihanku, lalu meninggalkan ruangan yang kini begitu senyap bersama biasan lampu jingga.
Terkutuklah...
Tubuhku kupaksa memutar-balik di lorong bioskop, menghindari arah lokasi pembuangan sampah sejauh mungkin yang ku bisa. Mengapa sampah terkutuk itu bisa ada di sini? Seketika, cengkeraman kuat meremas lenganku, dengan mudahnya membalikkan tubuhku, agar manusia terkutuk yang kubenci bisa leluasa menatap wajahku. Wajah tampannya berbinar, namun menyimpan sosok Iblis yang selalu mengusik jiwaku. Tampilan tubuhnya sudah tak seperti siswa SMA, malah seperti model pria kelas atas yang acap kali tampil di sampul majalah mode luar negeri.
Tanganku berontak, mencekik denyut nadi Kevin yang meresponku dengan wajah kesakitan. Sayangnya, remasan jemari Kevin di lenganku berhasil mengunci alat gerakku kembali, meskipun tubuhku susah-payah menarik diri agar Penindas terkutuk itu melepas jeratannya. Mengapa harus sampai sejauh ini? Mengapa dirinya tetap ingin melecehkanku, padahal kami berada di tempat umum? Ketika ubun-ubunku hendak menghantam dagu Kevin, tangan kekar Jerom menarik tubuhku sampai berdiri ke belakangnya. Wajah Kevin menggerutu, berusaha merebutku kembali agar bisa bersanding dengan dirinya. Tiba-tiba, jari Kevin membeku saat seorang wanita keluar dari dalam studio, tepat lima menit sebelum filmnya diputar.
"Loh? Farhan kerja di sini juga?" tatap Alexa berusaha membaca situasi. Tanpa membuang waktu, tangan gadis konglomerat itu menyelubungi dada Kevin, berusaha keras menyeretnya yang masih menatapku tajam, meskipun tubuhku sedang bersembunyi di balik punggung Jerom. Sampai kapan kau akan menyiksaku, Kevin?
"Farhan," tepuk Jerom membuatku kaget. "Kau sebaiknya tetap berada di ruang Karyawan," ucapnya bersama isyarat.
Tetapi aku harus menjaga dan membersihkan toilet sampai jam tujuh malam, isyaratku gemetar. Jerom menggiringku ke sudut yang agak tersembunyi, menggenggam lenganku, dan menatapku serius.
"Kau harus melawan jika dia menindasmu," ucap Jerom dengan gerak bibir tegas. "Bagaimanapun juga harus kau lawan. Mengerti?" perintahnya yang memaksaku mengangguk. Seandainya dia tahu bahwa nyaliku selalu berusaha melawan Kevin. Entah mengapa sesak jantungku selalu hadir tiap kali Iblis itu bangkit melahapku. "Kita harus kembali kerja." Aku dan Jerom berjalan berlawanan arah. Tarikan napasku begitu panjang, kuembuskan bersama kecemasan untuk meredam kecamuk jantungku. Tanganku kembali mendorong troli kebersihan menuju arah tujuanku, terus memaksa nyaliku untuk murka. Aku... harus melawannya.
Tubuhku gemetar berdiri di sisi pintu masuk toilet. Logikaku terus berharap jika saja Kevin bisa menahan pipis-nya dan tak perlu hadir di toilet pria. Mataku terus melirik pengunjung bioskop yang memasuki toilet, berharap-cemas jika Tuhan mengabulkan harapan logikaku. Jari-jariku meremas tongkat pel begitu kuat, yang mungkin bisa kujadikan senjata tambahan jika Kevin menyakitiku kembali.
Namun... Tuhan berkehendak lain.
Kevin dengan aura Iblisnya berjalan memasuki toilet, sekitar 60 menit sejak filmnya diputar. Siratannya begitu kelam, bersama senyum simpul yang mulai mencakar nyaliku. Wajahku menunduk seketika. Tubuhnya melewatiku masuk ke dalam toilet yang lengang. Sepertinya, Kevin tak berminat untuk menyiksaku kali ini. Sekejap, terkaanku musnah. Sebuah tarikan kasar menyeret tubuhku masuk ke dalam toilet, bersama tubuh tegap Kevin yang berhasil mengunci kami berdua di dalam bilik penyandang diffable.
Tubuh Kevin kembali meremukku, sama seperti yang dilakukannya di area belakang sekolah. Mataku menelusuri raut wajah Kevin, berusaha mencari sosok yang mustahil kutemui, sosok yang pernah terpenjara di balik biasan terkaman Iblis di matanya. Mataku menjalari kening Kevin yang berurat, menelusuri sisa-sisa lebam di tulang pipinya, hingga berakhir di goresan luka bibir yang sempat kusentuh. Wajahnya berkeringat, padahal temperatur toilet ini sekitar 22 derajat Celcius. Tanpa kusadari, wajah brutal Kevin kembali sembunyi di sisi leherku, bersama dengusan napas hangat yang memaksaku makin mengepalkan jari.
Kepalanku mendorong paksa bahu Kevin hingga punggungnya menghantam sisi dinding berlawanan. Jariku meraih sekat toilet, namun ditepis Kevin hingga tangannya membanting tulang ekorku ke toilet duduk. "Kau takkan bisa lari kali ini... kau... milikku," dengusnya bersama gerak bibir. Ubun-ubunku menghantam tulang taju pedang Kevin sebagai perlawanan, membiarkannya sesak napas, agar ku bisa membebaskan diri dari kurungan bilik toilet. Begitu beringasnya, Kevin menjenggut rambutku, menarik kepalaku paksa, hingga punggungku kembali dikuncinya ke dinding. Sontak, dengkulku mengentak ulu hati Kevin, membiarkannya tertunduk ke lantai, dan kali ini kupaksakan diri sampai benar-benar terbebas dari sesaknya penjara Iblis. "Kau sekelompok denganku, Farhan! ARGH!!!"
Tubuhku bersembunyi di sudut antar studio, berusaha mengatur ritme napas setelah berhasil melawan terkaman Iblis. Namun anehnya, saat memandang Kevin yang terduduk di lantai tadi, mataku sempat menerka gerak bibirnya.
Kau sekelompok denganku, Farhan.
Apa-apaan dia? Dia pikir, dirinya bisa menyiksaku di waktu diskusi kelompok? Jangan harap! Dia harus sadar jika nyaliku bisa melawannya sampai titik darah penghabisan. Harus!
Tubuhku kembali berdiri di sisi pintu masuk toilet, menunduk ke lantai, bersama jari-jari yang masih gemetar. Bulu kudukku tiba-tiba bergidik saat Kevin berjalan keluar toilet. Tubuhnya berdiri sejenak, lalu menatapku. Lututku yang layu bersiap-siap untuk menendangnya kembali, namun sekejap luluh saat paras sendu Kevin mengatakan, "kau... sekelompok denganku... Farhan." Jantungku berhenti sejenak memahami gerak bibir Kevin yang... tak mungkin! Tak ada keramahan sedikitpun yang disimpan Iblis gila itu! Tubuhnya pergi meninggalkanku begitu saja, membiarkanku tenggelam bersama keanehan yang diciptakannya. Apa yang salah dengan otakmu, Kevin?
"Farhan!" bentakan Jerom menyadarkanku, bersama jari-jarinya yang memaksa perhatianku terarah ke wajahnya. "Kenapa, Farhan? Kevin mengganggumu?" cemas gerak bibir Jerom. Bibirku hanya tersenyum lesu, bersama napas sesak yang masih menyimpan kebingungan terhadap perangai Kevin. Jariku menepuk pundak Jerom, memohon padanya untuk tidak mencemaskanku, tepat sebelum tubuhku beranjak membersihkan toilet.
Kau... sekelompok denganku... Farhan.
***
"Masuklah."
Minggu sore. Semalam, Supervisor memberiku dan Jerom jatah libur di hari padat pengunjung bioskop. Ya, di hari ini. Hari Minggu. Kebaikan Supervisor membuatku bingung, seakan-akan beliau mengerti bahwa siswa remaja sepertiku dan Jerom seharusnya memanfaat akhir pekan untuk menyegarkan otak sebelum datangnya rutinitas sekolah yang mencekam. Saat ini kuyakin jika Jerom masih terlelap, sebagaimana yang diutarakannya di tengah malam ketika mengantarku pulang. Aku akan tidur seharian besok, teriaknya melepas penat padaku. Namun, Supervisor juga menegaskan bahwa hadiah ini takkan selalu hadir, mengingat shift Karyawan bisa saja diperbaharui setiap periodenya.
Sebenarnya juga, kami telah menguras tenaga semalaman akibat bioskop dipadati pengunjung, khususnya kawula muda, untuk menghabiskan kebersamaan di malam Minggu. Lebih dari sepuluh kantong sampah raksasa yang kuhimpun, belum lagi yang dikumpulkan Seniorku. Jerom juga sempat mengeluh karena tangannya serasa ingin copot setelah menyiapkan ratusan paket makanan hampir tanpa henti. Itu pula alasannya kuyakin jika Jerom masih terlelap untuk merecovery energinya yang terkuras habis. Jadi kupikir, hadiah dari Supervisor cukup sepadan dengan kerja kerasku dan Jerom sebagai Karyawan paruh-waktu.
Sekarang, tubuhku duduk di samping Pak Fariz yang menyetir mobil. Tadi siang beliau sempat bertanya apakah kau punya waktu senggang? dan kubalas ada, Pak. Aku tak ingin menolak ajakan beliau dengan berbohong, meskipun tubuhku juga butuh istirahat seharian seperti Jerom. Walaupun fisikku letih, namun hatiku tetap damai karena bisa menikmati paras antusias Pak Fariz yang membawaku rekreasi.
Setelah memarkir mobilnya di basement, Pak Fariz merangkul pundakku, menarik sisi lenganku agar menempel ke rusuknya, dan berjalan bersama ke elevator pengunjung. Rasanya agak canggung, mendebarkan hatiku, karena mengingatkanku pada momen-momen terakhir bersama Ayah sebelum beliau meninggal. Rasanya saat ini, Pak Fariz sedang menggantikan peran Ayahku untuk mengajak Putra remajanya bermain ke mall, seperti yang dilakukan beberapa kasta konglomerat di akhir pekan. Bahkan ketika mataku menelusuri tulang rahang Pak Fariz, wajahnya masih saja mendongak ke layar iklan elevator. Tahu apa yang kulakukan, jari beliau menggosok-gosok rambutku, memberiku aliran hangat yang bisa meredam kebingunganku.
Pak Fariz rupanya membawaku ke zona bermain. Banyak sekali mesin-mesin game yang menyimpan berbagai macam wahana dan dipadati oleh pengunjung. Kukira, zona permainan ini hanya akan dipenuhi bocah kecil. Ternyata, mataku menangkap tak sedikit remaja seusiaku yang turut menikmati hiburan bersama teman sejawat. "Ayo," rangkul Pak Fariz ke pundakku setelah membeli kartu akses wahana. Kakiku hanya bisa mengikuti langkah Pak Fariz, berusaha menerka jenis permainan apa yang akan dipilihnya.
Caranya bagaimana, Pak? bingungku setelah Pak Fariz memilih mesin game dengan senapan laras panjang. Tangan beliau menggesek kartunya ke panel konsol, lalu begitu mahir menuntun tanganku menggenggam senapan hitam, mengarahkannya ke monitor, dan menekan pelatuknya saat monster mengerikan semakin mendekati layar virtual. Mulutku menganga karena takjub memahami cara kerja virtual game di hadapanku.
"Sebisa mungkin kau bunuh targetnya. Kita akan bermain sebagai tim," ujar Pak Fariz yang mulai mengarahkan senapannya. Mataku fokus membidik Monster, bersama telunjukku yang berulang kali menarik pelatuk untuk memecahkan kepala target. Sensasi permainan ini memaksa adrenalinku memuncak, begitu ketagihan untuk menyelesaikan misi dengan score tertinggi. Sayangnya, karakterku mati setelah diterkam puluhan monster akibat kehabisan peluru.
Beralih ke mesin capit, jari-jari Pak Fariz sangat lihai mengarahkan joystick untuk menangkap benda-benda yang terkurung di dalam kotak kaca. Matanya begitu fokus, dengan kernyitan kening saat capit mulai turun ke benda incarannya. Mataku terbelalak ketika Pak Fariz berhasil mencapit sebuah boneka Beruang cokelat yang kini jatuh ke dalam lorong penampung. Baru pertama kali kulihat bibir Pak Fariz tertawa seperti anak-anak saat tangannya merogoh lorong yang menyimpan hasil tangkapannya. Tanpa kusadari, beliau memberiku boneka Beruangnya, membiarkanku bingung setengah mati akibat kekonyolan yang dilakukannya.
Tidak usah, Pak. Untuk Bapak saja, tolakku sungkan. Kupikir, agak aneh jika remaja seusiaku menerima boneka Beruang dari Gurunya. Ini... agak janggal, gumamku dalam hati
"Kau menolak pemberianku?" tatap Pak Fariz murung. Beliau... benar-benar kecewa. Jariku melesat seketika mengambil boneka Beruang yang ditatap Pak Fariz, memaksa bibirku tersenyum bahagia karena dihadiahi benda tak terduga dari sosok yang baik hati. Bibir Pak Fariz pun merekah, menuntun jari-jarinya mengacau rambutku kembali. Dan jujur saja, ini... memang janggal.
Jam makan malam tiba. Pak Fariz membawaku ke restoran Chinese yang iklannya sudah dibidik beliau sejak di elevator. Rupanya, sajian di restoran ini pula yang pernah dipesan Pak Fariz untuk makan siang pertamaku bersamanya. Ganjilnya, mata beliau tak berhenti menatapku, meskipun pandanganku makin menelusuri daftar hidangan sebagai bentuk pengalihan. Perasaanku gugup menanggapi perhatian Pak Fariz yang kuanggap... agak berlebihan. Apakah sepantasnya seorang Guru berlaku seperti ini ke muridnya? Berusaha menenangkan diri, bibirku meneguk air mineral yang sempat disuguhkan Pelayan sebelumnya.
"Jika kau tak suka Beruangnya, katakan saja, Farhan. Tak masalah, 'kok," ucap Pak Fariz tersenyum sendu.
Bukan seperti itu, Pak, responku sesopan mungkin. Bukankah lebih baik jika boneka Beruangnya untuk Anak Bapak saja? Tatapan beliau beku ke arahku, mengentak jantungku keras, sebagai tanda jika isyaratku kelewat batas menyinggung kehidupan pribadinya.
"Aku... belum menikah. Dan belum... punya Anak," jawabnya murung menatap menu hidangan. Suasana canggung mengurung kami berdua, membiarkanku diliputi keheningan yang semakin dalam dan menegangkan.
Aku... sudah kelewat batas.
Makanan kami hadir dan berjejer mewah di atas meja. Jari-jariku masih betah terlipat di atas dengkul, bersama pandanganku yang tertuju ke boneka Beruang di dekatku. Mata Pak Fariz masih belum berdalih dariku, bisa kurasakan, seperti berusaha meyakiniku jika hatinya tak tersinggung dengan saran lancangku. Dengan perlahan, jari-jari Pak Fariz menggerakkan sumpitnya, meletakkan potongan-potongan dori krispi dan tumis pakcoy ke piringku. Jari beliau juga mendorong jar berisi chili oil, yang sempat diutarakannya sebagai condiment kesukaan di makan siang pertama kami.
Mataku sedikit berlinang menatap Pak Fariz, merasa bersalah karena telah menyinggung perasaannya. Maafkan saya, Pak, isyaratku tulus pada beliau. Entah mengapa air mataku mengalir, seperi bodohnya kekonyolanku yang tiba-tiba merajai benakku.
"Untuk apa kau menangis, Farhan," Pak Fariz beranjak dari kursinya untuk memelukku. Tak tahu mengapa, tanganku langsung mengunci erat punggung Pak Fariz, membiarkan air mataku membasahi area kemejanya yang sudah mengirimiku detak jantung hangat. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Hatiku rasanya seperti dicekam rasa rindu terdalam sejak kepergian Orangtuaku. Rasa janggal yang berkecamuk di benakku sejak bersama Pak Fariz... adalah buah dari rasa kehilangan yang selama ini kukubur dalam-dalam. Dan beliau... beliau berhasil membangkitkannya dari kubur... menggantinya dengan perhatian dan rasa aman yang sudah lama kunanti. "Aku di sini menjagamu, Farhan."
Tangisku tak mengalir lagi. Saat ini, hanya ada percakapan hangat yang menyelubungi meja makan. Aku menjelaskan ke Pak Fariz tentang kerinduan yang selama ini kupendam, rasa kehilangan Orangtua yang memaksaku hidup sebatang kara. Tanganku dengan mudahnya mengalirkan isyarat perasaanku, membiarkan beliau tahu tentang apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di hatiku. Pak Fariz memahaminya dengan bijak, meyakiniku seperti biasa bahwa dirinya bisa diandalkan sebagai Pelindungku. Senyumnya, tawanya, caranya yang hangat untuk menghiburku semakin mengikis sedikit demi sedikit kesedihan yang melekat di sanubariku.