HARI KETIKA KAU HIDUP

saiko
Chapter #11

#11

Terkutuklah kau, Kevin!

Sensasi terbakar akibat tamparan Kevin masih melekat jelas di sarafku. Tamparan makhluk terkutuk itu menciptakan bekas merah yang susah-payah kututupi ketika Pak Fariz menjemputku dari Surga Konglomerat, atau ketika diriku harus menghadapi Jerom di bioskop. Bibirku terkunci rapat melenyapkan perlakuan Iblis Kevin terhadapku. Aku tak bisa membiarkan pertikaian terjadi hanya karena penindasan yang seharusnya bisa kulawan sendiri. Aku... tak ingin seseorang sekarat karenaku. Belum saatnya aku butuh bantuan mereka. Belum saatnya nyawaku... terancam.

Rasanya, ingin kuhunuskan pisau ke jantung Kevin, menancapnya berulang-kali, mengeluarkan Iblis yang bersemayam di tubuhnya, agar remaja berparas elok itu terlepas dari sifat brutalnya. Namun, semua itu hanyalah imajinasi yang selalu mendebarkan jantungku. Bahkan sejak lima hari setelah mengunjungi huniannya, kepalan tanganku terus menyimpan dendam yang ingin sekali meretakkan pelipis Kevin.

Nyaliku masih berani menolak permintaan Kevin —baik di sekolah maupun melalui pesan singkat— untuk mengunjungi kediamannya lagi. Yang lebih memalukan, sepatuku bisa-bisanya tertinggal di apartemen remaja sinting itu, membiarkan kakiku tanpa-sungkan-tanpa-izin membawa selop mewahnya bersamaku. Untung saja di ruang Karyawan tersedia sepatu kerja cadangan yang pas di kakiku, sehingga ku tak harus mempermalukan diri bekerja dengan alas kaki mahal milik bangsawan. Bagaimana caranya mengembalikan selop mewah itu, ya? Apa kutitipkan ke Martin saja? Mana mau bawahan konglomerat itu membantuku! Sial!

Satu alasan yang meredam nyaliku untuk menyakiti Kevin adalah takdirnya yang dilahirkan sebagai Putra Miranda Lubutin. Bukankah kau ingin tahu... kebenaran di balik... kematian Ayahmu? Penawaran Kevin tempo hari pun meyakini logikaku bahwa dirinya akan memenuhi permintaanku. Mengungkap hubungan Ibunya dengan kematian Ayahku. Namun di balik itu semua, ada upeti yang harus kuberikan untuk memuaskan Iblis konglomerat itu... dan pastinya harus kubayar mahal. Apa yang dia inginkan? Menyiksaku selamanya sampai tubuhku meregang nyawa? Seluruh skenario terburuk mengejek benakku yang berusaha fokus ke pelajaran, makin parah sejak tubuhku berganti posisi duduk dengan Alexa selama kelas Pak Fariz berlangsung... di samping Iblis terkutuk ini.

"Psst!" hentak sikut Kevin ke lenganku. Apa 'sih yang diinginkannya? Jari kasarnya menggeser secarik kertas ke hadapanku, meniru keusilan yang sering kulakukan bersama Jerom, memaksa mataku menelusuri pertanyaan kau magang hari ini? Tak kugubris. Mataku kupaksa fokus ke presentasi Pak Fariz di depan kelas mengenai sudut pengambilan gambar. Secara kasar, Kevin meremas pipiku agar menoleh ke wajahnya. Mata Iblisnya kembali menusukku, memaksaku segera menjawab pertanyaan-sampahnya tentang kegiatanku hari ini.

Tidak, isyaratku menampar remasan jari Kevin. Sekejap, pria sinting itu kembali menarik kertas yang terimpit sikutku, menulis sesuatu, dan mengarahkannya kembali ke hadapanku. Ikut denganku sepulang sekolah, bacaku dalam hati. Sekejap, mataku membidik Kevin sebagai tanda penolakan untuknya. Wajahnya yang geram memaksa tangannya merebut kembali kertas usang itu, menulis dengan gerakan pulpen mengentak, lalu menghempasnya ke arahku. Jika menolak, fakta yang kau butuhkan akan kuhancurkan, cemasku dalam hati, memaksa aliran listrik menyengat seluruh permukaan kulitku. Wajahku tertunduk, tak memiliki pilihan kecuali mematuhi perintah si Brengsek. Jangan beritahu Jerom dan Pak Fariz, ancamnya yang digumam benakku.

"Baiklah!" teriak Pak Fariz mengejutkanku. "Kirimkan progress tugas akhir kalian ke email saya. Jangan sampai lupa," ucapnya menutup kelas beriringan dengan bel pulang sekolah. Jantungku berdegup kencang, mencari bualan-bualan tepat untuk membohongi Pak Fariz yang berjalan ke arahku. Beliau seperti biasa akan mengantarku pulang, memaksa keringat dingin mengalir dari ubun-ubunku ketika tubuhnya sudah berdiri tegak di sampingku. "Ayo pulang! Tapi, kita makan siang dulu," tempel jemari Pak Fariz ke pundakku. Tatapannya memaksa jantungku ingin meledak. Apa yang harus kulakukan?

Bapak, isyaratku yang memunggungi Kevin, bolehkah kali ini saya pulang sendirian? gugupku menatap Pak Fariz.

"Alasannya?" kulik beliau lebih dalam. Dia... pasti tahu ada yang kusembunyikan.

"Farhan dan saya harus mendiskusikan tugas kelompok," tukas Kevin tanpa memandangiku dan Pak Fariz.

"Mendiskusikan tugas kelompok, sampai-sampai Farhan meneleponku hening? Pasti kau melakukan sesuatu padanya," respon Pak Fariz yang membuat Kevin pucat pasi.

Sebenarnya, Pak, isyaratku menengahi kebohonganku, saya dan Kevin akan melihat beberapa lokasi pengambilan gambar. Dan waktu itu... saya tak sengaja menekan nomor Bapak sebelum saya mengirim pesan, lanjut kebohonganku. Aku... tak punya pilihan lain.

"Kau sedang tidak membohongiku, 'kan, Farhan?" tatapnya tajam ke mataku. Aku menggeleng cepat.

Sungguh tidak, Pak. Progress tugas kami jauh tertinggal. Saya mohon, izinkan saya pergi bersama Kevin. Sejenak, Pak Fariz memandangiku hampa, hingga tubuhnya condong ke arah Kevin yang masih menatap papan tulis.

"Jangan sampai kau menyesal karena mencelakai Farhan," sayup-sayup bisikkan Pak Fariz merambat ke telingaku. Tegukan jakun Kevin terlihat jelas, mengirimiku kecemasannya akibat intimidasi Pelindungku. Tubuh beliau kembali berdiri di sampingku, mengusap ubun-ubunku, lalu pergi meninggalkan kelas. Mataku menelusuri gemetar jemari Kevin yang memasukkan bukunya ke dalam tas, berdiri menungguku, lalu kami berjalan mengikuti sinar Matahari. Jiwanya... pasti terguncang.

"Farhan," genggam jari Jerom ke pergelangan tanganku di teras kelas. Matanya cemas melihatku mengikuti Kevin yang sudah berjalan beberapa langkah, membiarkanku tersenyum, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.

Jangan cemas, Jerom. Aku akan baik-baik saja.

Terpaan angin siang menghapus keringat dari keningku ketika benakku masih menerka-nerka kebrutalan apa yang akan dilakukan Kevin. Setiap krikil yang kupijak menampilkan perlakuan kasar yang telah dilakukan Iblis itu sejauh ini. Jariku mengepal kuat, mencari cara untuk memanfaatkan kunci jurnal misteri tanpa harus menuruti perintahnya.

"Masuk," perintah Kevin saat kuberdiri di samping pintu sports-car-nya. Tubuhku hanya membeku, menatap tajam Kevin agar tidak terlalu mengikuti alur permainannya.

Beritahu dulu informasi yang kau punya tentang kematian Ayahku, isyaratku tegas ke arah Kevin. Lengan kekarnya terlipat ke atap mobil, bersama wajah yang mengejekku dengan senyuman Iblis.

"Takkan kuberitahu sebelum kau turuti perintahku," cengengesannya memaksaku ingin meludahinya.

Lupakan! geramku membalikkan tubuh menjauhi Kevin. Dia pikir, dirinya bisa mengontrol hakku sebagai manusia untuk terlepas dari tipu-daya-muslihatnya? Lupakan!

"F-Farhan! Farhan," genggam jari Kevin ke pundakku. Dia... berlari mengejarku... dan menyentuhku... pelan-pelan? M-mustahil... Mata Kevin menutup disertai embusan napas panjang. "Dengar," matanya kembali memandangiku, sungguh jauh berbeda dari siratan Iblis yang tadi kulihat. Wajahnya tampak sendu... seperti bocah yang kupandang di foto keluarga konglomeratnya. "Mamaku berada di Surabaya tepat sehari sebelum perayaan anak-perusahaan Papaku. Hanya itu... yang baru kuketahui," ucapnya... panik? Namun, informasi itu tidaklah cukup. Sontak, tubuhku menerjang Kevin, menjauhinya agar bisa berjalan bersama para siswa lain yang mendekati gerbang sekolah. Kevin menarik tanganku agar tubuhku berputar menghadapnya.

Kau mengada-ada! Informasi yang kau berikan tak membantuku sama sekali. Bahkan percuma! isyaratku geram.

"BERI AKU WAKTU!" bentak sang Iblis membekukanku. Para manusia di halaman parkir menatapku serentak. Kevin membidik mereka agar segera melenyapkan rasa ingin tahu terhadap urusan kami. Tangan remaja gila yang kasar kembali menyeretku mendekati mobilnya, memposisikan tubuhku menghadapnya, ketika bibirnya bergerak meminta, "beri aku waktu. Kumohon," ucapnya dengan wajah menunduk. Mata Kevin kembali membidikku, menunggu responku pada permohonannya yang sungguh... langka.

Logikaku akhirnya menyetujui permohonan Kevin. Tubuhku sudah duduk di sampingnya, canggung menikmati pengalaman baru saat terkurung di dalam sports-car yang biasanya kupandangi di komplek perumahan Crazy-Rich-Surabayans. Kepalaku berusaha membuang muka ke Kevin, semaksimal mungkin tak membuka obrolan dengannya, meskipun raut wajahnya kini tampak murung. Jika Miranda berada di Surabaya sehari sebelum kematian Ayahku dan Suaminya, bisa jadi benar adanya kalau wanita itu dalang di balik pembunuhan. Namun, aku harus punya bukti lebih akurat untuk menggiringnya ke penjara.

Kau harus...

"Aku sudah memenuhi permintaanmu sekali. Kini, patuhi perintahku," ucap Kevin memotong isyaratku.

Penuhi janjimu, Kevin, paksa isyaratku padanya. Jika kau ingkar, jangan harap aku akan berdiam diri, ancamku ditatap Kevin dari spion dalam. Meskipun kugundah, karena belum tahu upeti apa yang akan dituntut Kevin, logikaku setuju jika ini adalah pilihan tepat agar dendam Ayah terbalaskan. Harus kubuktikan kaitan Miranda dengan selongsong peluru di jurnal misteriku.

Sports-car memasuki lobi di salah satu pusat perbelanjaan elit ibu kota. "Pakai ini," Kevin melempar bomber-jacket-nya ke pahaku. Tanganku segera melapisi tubuh dengan jaket yang harumnya sungguh menenangkan dan... mahal. Ini... aroma tubuh Kevin... atau malah... parfumnya, ya? pikirku yang langsung kumusnahkan. "Ayo," Kevin —sudah memakai topi dan jaketnya yang satu lagi— menyuruhku mengikutinya keluar. Dirinya memberi kunci mobil ke Petugas Valet dan terus mengarah ke pintu lobi. Kakiku berusaha mengiringi langkah cepat Kevin, memasuki area dalam mall yang suasananya sungguh bertolak belakang dengan kastaku, disertai rasa janggal ketika nyatanya diriku di samping... Putra Mahkota.

Setelah menaiki tiga eskalator, Kevin menuntunku masuk ke salah satu brand-store ternama dunia. Banyak sekali koleksi pakaian... magnifique, takjubku dalam hati. "Bienvenue, Monsieur Kevin. Mari saya antar ke bilik VVIP," ucap seorang Karyawan yang langsung menuntun kami ke bilik mewah lainnya. Gerak bibirnya tak bisa kuterka, seperti mengucap bahasa asing yang belum pernah kupelajari.

Aku duduk di samping Kevin yang sibuk membuka lembaran katalog berisi kumpulan model pria. Mereka mengenakan baju keluaran terbaru saat berjalan di runway. Karyawan yang baik hati menyuguhkan kami dua cangkir teh beraroma chamomile, bersama tatanan kue-burger-mini-warna-warni di penampang emas bertingkat. Kevin meneguk tehnya dan masih tertuju ke lembaran katalog. Sedangkan aku? Aku hanya bingung mencari tahu apa yang akan terjadi, bersama bola mataku yang masih terpaku ke sepatu-sepatu mewah di etalase temaram.

"Kau tak suka French macaroon?" tanya Kevin menolehku. Jarinya tiba-tiba saja menuntun macaroon merah muda ke bibirku, memaksa wajahku menarik diri menghindarinya, bersama kernyitan alisku. Apa-apaan dia? T-tapi... ekspresi itu... beku menatapku... seperti... berharap. Kuberanikan diri mengambil kue mewah itu dengan jariku, lalu melahapnya sendiri. "Enak?" Anggukku.

Sungguh... sifat tak terduganya membiarkanku luluh dan percaya bahwa... Kevin masih menyimpan sisi manusia di dalam hatinya.

"Monsieur Kevin," ucap seseorang memecah keheningan, "ini beberapa busana yang anda minta, benar-benar langsung dari Paris Fashion Week, khusus untuk anda," Karyawan yang menyambut kami menggiring lima Asisten yang masing-masing membawa setelan baju mewah. Ada yang berbentuk tuxedo, ada yang berbentuk mantel, dan ada yang berbentuk seragam pemain golf. Entahlah. Aku tak mengerti. Hanya saja, mataku terpaku karena Kevin sudah bertelanjang dada, membiarkan para Karyawan itu membaluti baju-baju mahal ke tubuh kekarnya. Sungguh... Kevin tak tampak seperti siswa SMA biasa. Dia... memang seperti... Putra Mahkota.

"Bagaimana?" tatapnya membuyarkan imajinasiku. "Hey," geramnya tertahan memaksaku merespon.

Aku... tak mengerti, jawab isyaratku polos karena tak tahu harus berkomentar apa. Bagiku, apapun yang dikenakan tubuhnya, pasti akan terlihat...

"Tak mengerti?" Dengan kasar, Kevin melucuti pakaian mahal dari tubuhnya, melemparnya ke lantai, dan menatap para Karyawan dengan mata Iblis tak terduga. "Kalian tak becus," ujarnya mematikan, memaksa para Karyawan pucat pasi berdiri di atas dengkul mereka. Apa yang terjadi?

"M-Monsieur... m-maafkan kami. Akan kami carikan koleksi terba..."

"Kalian gagal," potong Kevin ke janji salah satu Karyawan yang begitu memohon padanya. "Kalian semua dipecat," singkatnya memaksa seluruh Karyawan makin memohon meminta pengampunan. Tanpa sadar, tubuhku mendekati Kevin yang mulai memakai seragam sekolah.

Apa yang terjadi? isyaratku bingung menerka keadaan.

Lihat selengkapnya