Kau harus mati!
Derap langkahku menggebu memasuki kediaman para bangsawan. Di tengah pekat malam, tubuhku bergerak untuk membalas kebiadaban Iblis yang telah melukai Sahabatku. Tak kupedulikan Petugas yang menyeretku paksa menjauhi lobi. Yang ada, kakiku terus berjuang mencapai titik Resepsionis berada. Jariku mencengkeram sisi meja keramik, melempar ponsel ke permukaan meja saat Iblis menjawab panggilanku, dan memaksa Resepsionis itu segera memberiku akses ke lantai teratas. Mereka tak punya pilihan. Tanpa pikir panjang, tubuhku mengikuti Lobby Boy memasuki elevator, menahan puncak amarah yang ingin menghabisi nyawa seseorang.
Melewati lorong bergradasi merah, keagungannya sama sekali tak meredam naluri pembunuhku. Kepalan tanganku tak henti-hentinya menghantam pintu Mahogany, tak memedulikan jari-jari hinaku yang merusak pelindung Iblis terkutuk. Mataku makin berlinang ketika pintu di depanku terbuka, bersama dengusan napasku yang melayangkan tinju ke wajah...
Oh, Tuhan...
Jangan berhenti! Lanjutkanlah, Farhan! Bunuh dia sekarang! BUNUH DIA!!!
Arah tinjuku seketika membeku di udara. Wajahku berderaian air mata, menatap iba Baj*ng*n terkutuk yang menahan pintu dengan napas sesaknya. Tubuhnya belum sempurna terlilit perban putih. Wajah babak-belurnya, dengan mata lebam, goresan luka di tulang pipi, bahkan bercak darah di bibirnya, memaksaku luluh dan mengurungkan niat untuk... membunuhnya. Tubuhnya kehilangan pijakan, terjatuh begitu saja ke tubuhku, dengan dagunya yang menancap ke pundakku. Napasnya begitu berat, seakan-akan jiwanya berusaha menahan sakit akibat perlawanan Sahabatku. Seharusnya... tanganku membunuhnya malam ini, di saat dirinya tak berdaya, di saat hawa nafsu menuntunku mengikuti bisikan Iblis. Namun apalah dayaku. Sikap pengecut memaksaku membopong pria malang di sisiku, membawanya perlahan menuju kasur lembut yang biasa ditiduri oleh para Pemegang Kekuasaan.
Tubuhnya belum terlilit sempurna oleh perban. Bahkan, hanya asal-asalan membalut luka. Jemariku menghapus seluruh upaya amatirannya yang seorang diri merawat cedera. Kemana otak cerdasmu pergi, huh? Peralatan pertolongan pertama sudah berserakkan di lantai kamar, yang kuhimpun kembali dan kuletakkan di samping pahaku. Tanganku mengompres lebam-lebam biru di rusuk, perut, dan dada Kevin secara perlahan, menciptakan raut wajahnya yang meringis kesakitan, disertai cengkeraman kuatnya ke pergelangan tanganku. Setelah kuolesi gel pendingin, wajah Kevin mulai tenang, diikuti linangan air mata yang menetes ke jambangnya. Lukanya terbilang cukup... parah. Apalagi, Kevin tak membawa tubuh-penuh-lukanya ke Rumah Sakit untuk mendapatkan treatment mumpuni. Luka yang telah kubaluri gel kemudian kubalut dengan perban baru bersama ikatan sempurna, sesuai dengan yang kupelajari selama pelatihan relawan bencana profesional.
Selesai dengan luka di tubuhnya, jariku mulai menelusuri wajah Kevin. Kuusap rambut yang menutupi dahinya agar mataku bisa melihat koyakan daging di pelipisnya. Belum sembuh total dari luka sebelumnya, kini, area itu harus terluka lagi. Itu semua karena ketololanmu yang hampir membunuh Sahabatku! Kuusap koyakan daging itu dengan kapas anti-septik, membiarkannya mencengkeram sisi perutku akibat perih tak tertahankan. Sabarlah sedikit! Bukannya kau berandalan yang kerjanya menyakiti orang! Sialnya, umpatan-umpatan kasar di hatiku tak terdengar olehnya, hanya memaksaku makin menimbun amarah yang sebentar lagi meledak.
Jari-jariku kembali mengusap kumpulan lebam di wajah Kevin, mengolesi gel anti-inflamasi, lalu merawat garis-garis luka yang perlu ditutupi plester anti-septik. Setelah sempurna merawat seluruh lukanya, tubuhku menyelimuti Baj*ng*n terkutuk ini dengan selimut tebal, hendak pergi meninggalkannya, namun terhenti oleh genggaman kuat di pergelangan tanganku.
"Tetaplah... di sisi... ku," ceracaunya memohon. Kutepis genggamannya, berdiri memunggunginya, berusaha menghancurkan rasa iba di benakku."Farhan," pilunya memutar tubuhku, "apa diriku tak pantas... untuk kau... pedulikan juga?"
Tidak. Sama sekali tak pantas, isyaratku hampa. Kau seharusnya mati malam ini. Sekuat tenaga, kukumpulkan nyali untuk membunuhmu. Kau adalah Iblis yang menyiksa Sahabatku, manusia terkutuk yang lahir dari rahim wanita jahanam, hinaku dengan bahasa terkejam yang melintasi nuraniku. Kau dan Miranda pantaslah mati. Aku begitu ingin membunuh kalian berdua, kepal jariku kuat, tetapi, tubuhku sekejap runtuh ke lantai, menahan isakan tangis yang kukutuk kehadirannya, tetapi... mengapa tubuhku begitu lemah... untuk menghabisi... nyawamu?
Hatiku benar-benar hancur, berkecamuk ketika bimbang mengikuti sisi manusiawiku yang dihantam kebengisan Iblis. Susah payah Kevin merangkak ke tepian kasur, meraih tubuhku yang masih meratapi lantai dingin, lalu memelukku erat bersama degup jantungnya yang... hangat. Aku... sungguhlah... lemah...
"Memelukmu... entah mengapa bisa... menyembuhkanku, Farhan," gerak bibirnya begitu jelas ditangkap mataku. Tubuhku berdiri, membiarkannya terduduk di lantai, menatapnya kosong sebelum jari-jariku sempat meremuk lehernya.
Lupakan permintaanku. Kembalilah ke sosok Iblis yang kau puja. Paling tidak, beri aku kesempatan, sekali saja, untuk bisa membunuhmu dan wanita jahanam itu. Tubuhku berbalik meninggalkan Kevin, membiarkan tangisku pecah ketika tanganku meraih pintu kediamannya. Hatiku hancur, entah mengapa, setelah mendeklarasikan harapan yang dihasut alam bawah sadarku.
Aku... sungguh menyesal.
Kembali ke rumah Jerom, setelah membawa perlengkapan sekolah dari rumah Donaturku, Tante Anita menyapaku dengan senyuman hangat. Dirinya masih terjaga jika saja Jerom tiba-tiba terbangun dan meminta sesuatu. Beliau merangkulku, seraya tubuh kami melangkah memasuki kamar Sahabatku. Dia meninggalkanku bersama Anaknya, membiarkanku istirahat di samping remaja yang sekali lagi ingin membuatku menangis. Kuletakkan barang bawaanku, berjalan ke kasur, lalu berbaring di samping Jerom. Sesak di dada kembali muncul, memaksaku melelehkan air mata akibat kegagalanku membunuh Kevin. Mata Jerom terbuka sedikit, menyadari tangisku, lalu mengarahkan jarinya menepis air mataku. Tubuhnya memelukku, membiarkanku meluapkan kekecewaan yang gagal... melindunginya. Kuharap... di kehidupan selanjutnya... Jerom bisa tertawa bahagia tanpa harus diterkam kebiadaban Iblis.
Menelusuri jejak masa lalu, mengikuti biasan semesta paralel, pandanganku tertuju ke sosok kecil yang sedang bermain di hamparan rumput hijau nan luas. Mungkin sekitar lima atau enam tahun usianya, ketika tangannya bermain lempar-tangkap bersama Ayah. Dari kejauhan, muncul pria tegap yang berdiri di bawah rindangan pohon, menatapku dengan senyuman ramah, dan mulai berjalan mendekati kami. Tubuh Ayah merasakan kehadirannya, berbalik, dan menyembunyikanku ke belakang punggungnya. Jari-jariku ikut gemetar mencengkeram ikat pinggang Ayah, bersama hardikan beliau ke arah pria tegap itu. Tak mengerti apa yang memaksa Ayah naik pitam, namun sesungguhnya, mataku menangkap binaran keramahan pria yang menggenggam boneka Beruang. Ketika dirinya mengarahkan boneka itu ke mataku, telapak tangan Ayah menampar pipi si Pria Tegap begitu keras, sampai-sampai Beruang cokelatnya jatuh ke tanah. Tangan pria itu meraih kembali boneka Beruangnya, menatapku, lalu pergi begitu saja. "Farhan," ucap Ayah mengalihkan perhatianku, "akan Ayah belikan boneka Beruang yang lebih bagus. Jangan khawatir, ya, Nak," sekejap, semesta paralelku hancur berkeping-keping.
Tepat sebelum alarm ponsel berdering, jariku dengan sigap menonaktifkannya. Jerom di sampingku masih terlelap damai, bersama embusan napasnya yang begitu tenang. Kuusap rambutnya perlahan, menelusuri perban di pelipisnya, memastikan tak ada rembesan darah dari garis luka yang kujahit sempurna. Pukul lima subuh. Saatnya tubuhku bersiap-siap pergi ke sekolah.
Selamat pagi, Jerom.
Tubuhku yang sudah segar dan terbalut seragam kini berjalan menemui Tante Anita di dapur. Beliau begitu sibuk memasak nasi goreng yang aromanya membuatku keroncongan. Aku mendekatinya, menepuk lembut pundaknya, dan mengisyaratkan selamat pagi untuknya. Beliau tersenyum dan mengusap pipiku. "Kau tidur nyenyak, Farhan?" tanyanya yang kubalasi anggukan.
Tante Anita menyajikanku hidangan nasi goreng, bersama potongan buah segar, dan segelas jus jambu biji. Saat ini, diriku seperti melayang ke masa lalu, bersama Ibu yang juga selalu menyajikanku sarapan lezatnya. Kenangan. Mulutku tak berhenti melahap nasi goreng, membiarkan Tante Anita tertawa dan mengusap rambut lembabku. Kugeser layar ponsel ke sisi jarinya, ditangkap oleh siratan matanya yang membaca, nasi gorengnya sungguh lezat, Bu. Beliau tertawa bahagia di tengah keletihannya.
"Farhan," panggil beliau menatapku, "bagaimana keseharian Jerom di sekolah?" cemas wajahnya menuntunku segera menjawab.
Jerom anak yang baik hati, Bu. Dia juga cerdas, bisa menerima pelajaran sebaik mungkin. Jerom juga sering membantuku jika aku kesulitan. Bukan hanya di sekolah, tetapi juga di lokasi kerja, tulisku di layar ponsel. Sekejap, Tante Anita berlinangan air mata bersama senyum sumbringahnya.
"Benar, 'kah, Farhan?" pintanya memastikan. Kujawab anggukan semangat. "Aku sungguh bersyukur. Aku... tak punya waktu mengurusinya karena sibuk kerja. Aku... benar-benar Orangtua yang payah," tatapnya murung ke arah meja.
Setiap Orangtua di dunia ini, yang saya tahu, pasti akan melakukan yang terbaik untuk Anaknya, tulisku dihadiahinya elusan ke pipiku.
"Kau terlalu bijak di usiamu yang masih remaja, Farhan," kami pun tertawa akibat guyonannya. Pagi ini, beliau mampu mengusir sebagian kegundahan hatiku. Jerom sungguh beruntung memiliki Ibu seperti beliau.
Taksi online sudah datang menjemputku. Tak lupa, Tante Anita memberiku bekal makanan yang bisa kulahap nanti di sekolah. Setelah memberinya salam, tubuhku langsung beranjak ke mobil jemputanku, menghirup udara segar di pagi Jakarta, berharap jika saja naluri pembunuh takkan hadir selama jam pelajaran berlangsung.
Barisan pencakar langit menghipnotisku ke arah lamunan pria bangsawan. Bagaimana kabarnya kini? Apa luka-lebamnya berangsur pulih? Apa dirinya tak menangis lagi? Sebagian jiwaku terhanyut memikirkan remaja yang kupikir juga sama hancurnya seperti Jerom. Takdir pahit berpihak padanya yang terlahir ke dalam lingkaran Iblis, dicengkeram keegoisan wanita yang berusaha mempertahankan harga diri sebagai bentuk balas dendam. Wajahnya sungguh iba kutatap ketika jariku menelusuri kulitnya, begitu hancur, menyisakan ruang kecil yang diharapnya terisi oleh ketulusan sosok yang dirindukan. Apa dirinya sanggup ke sekolah dengan cedera seperti itu? Apa diriku nanti... bisa menghadapinya... dan memeluknya sebagai... permintaan maaf?
Langkah kakiku lesu menelusuri lorong menuju kelas. Mataku berusaha mencari keberadaan Alexa yang kuharap bisa menemaniku selama Jerom absen sekolah. Tubuhku masuk ke dalam kelas, langsung terperanjat menatap Martin yang tiba-tiba saja meremuk kerahku, lalu membanting punggungku ke dinding. Wajahnya begitu merah padam, beringas, disertai cekikan jari yang kulawan setengah mati. Apa yang diinginkannya dariku?
"DIMANA ANAK PELAC*R ITU?" bentaknya bersama cipratan ludah. "AKAN KUBUNUH DIA YANG MELUKAI KEVIN!" Dengkulku menerjang perut Martin, memaksanya tertunduk, meskipun tangannya masih betah meremuk leherku. "Bocah... brengsek!" Ketika jarinya menjenggut rambutku... tubuhnya tiba-tiba... terhempas ke lantai... akibat bantingan manusia tegap. "ARGH!!!" Jari-jari Martin yang mencekikku kini diremuk oleh pijakan kuat remaja yang wajah dan tubuhnya penuh memar. Perban yang kubalut semalam mengintip dari sela-sela kancing seragamnya, masih begitu rapi, yang memaksaku berpikir bahwa dirinya hanya membasuh muka sebelum pergi ke sekolah. "K-Kevin... k-kumohon..."
Pijakan brutalnya seketika melepas jari-jari Martin, beralih ke hadapanku, membiarkan ekspresi hampanya menusuk jiwaku. Kutatap balik matanya, menelusuri kegelapan yang memenjara jiwa berparas elok. Ingin sekali kupeluk tubuh hangatnya, meminta maaf padanya, setelah kuikrarkan permohonanku untuk mengakhiri hidupnya. Yang ada, pundakku menghantam pundaknya, membiarkanku berjalan ke kursi, dan duduk termenung dalam keadaan hening.
Hampa. Hanya itu yang dirasakan hatiku kini. Seluruh perasaanku sirna entah ke mana, tergantikan oleh kekosongan yang mungkin saja akan membuatku gila. Jari-jariku hanya betah meremas sisi kepalaku, memaksaku fokus ke pelajaran Bahasa Inggris, sebelum Guru wanita itu menyadari ketidak-seriusanku mengikuti pelajarannya. Sebagaimana yang pernah dilakukannya ke Jerom. Masa bodoh! Lakukan saja! Mungkin itu akan lebih baik daripada harus terpenjara di pikiran bimbang dan rasa bersalah.
Di jam istirahat, Pak Fariz memanggilku ke ruangannya. Tubuhku duduk di sofa lembut tamu, menunduk ke arah sajian teh yang aromanya menenangkan kekalutanku. Pak Fariz mendekatkan wajahnya ke mataku, berusaha mencari nyawaku yang sedang berkelana, hingga akhirnya dihadiahi kepiluan. Jari-jariku menutup rapat mata dan memaksanya berhenti menangis. Tak bisa! Rasa bersalah, penyesalan, kekecewan, hasrat ingin mengakhiri nyawa seseorang, semuanya bangkit menerkamku sekali waktu. Hingga akhirnya, pelukan hangat Pak Fariz hadir untuk melawan beringasnya hati yang menawan jiwa.
Berjalan sendirian di pekarangan sekolah, melahap roti lapis buatan Tante Anita di sisa jam istirahat, malah menuntunku ke remaja yang berdiri tegak di samping tiang bendera. Matanya masih hampa menatapku, bersama raut wajah datar yang begitu ragu mendekatiku. Tubuhku berbalik arah, berjalan menjauhinya, hingga bayangan hitam terus mengikuti langkahku pergi. Langkahku tak berhenti sama sekali, membiarkannya terus mengikutiku tanpa arah... hingga akhirnya... bel masuk kelas bergema.
Pelajaran Pak Fariz memaksaku duduk di samping makhluk yang ingin kuhindari. Rasa antusias yang biasanya meliputiku saat mempelajari video-editing, kini musnah dan berganti dengan sesak di dada. Tubuhku beranjak dari kursi, meminta Pak Fariz mengizinkanku ke toilet, lalu berlari sekuat tenaga di lorong kelas.
Kupaksa wajahku terbenam di kubangan air wastafel, teriak sekeras mungkin, berusaha memusnahkan sesak yang mencengkeram logikaku. Kurangnya asupan oksigen memaksaku menegakkan wajah, memandangi bayanganku yang terengah-engah di balik cermin, bersama butiran air yang jatuh dari garis rahangku. Mataku melirik bayangan remaja yang berdiri di belakangku, diiringi tatapan hampanya untukku, memaksaku bergumam apa yang kau lakukan di sini? Sayangnya, wajahku hanya tertunduk memandangi dasar wastafel, membiarkan sisa-sisa butiran air keran bercampur dengan lelehan air asin dari kelopak mataku.
Kumohon... pergilah...
Jika Kepala Yayasan tahu perangaiku hari ini, yang bolos ketika jam pelajaran masih berlangsung, pastilah beasiswaku dicabut. Bukan hanya itu, ketololanku kini akan mencoreng nama baikku dan prestasi cemerlang yang sudah kuraih sejak belia. Namun, ketololanku kini adalah satu-satunya jalan keluar yang berhasil meredam kecamuk hatiku. Rasa sesak yang merajai otakku berangsur sirna ketika menatap Kevin yang sedang melajukan sports-car di jalur bebas hambatan. Profil wajahnya yang dibiasi Mentari, beserta kumpulan memar dan plester luka, mampu melenyapkan sedikit-demi-sedikit rasa bersalahku padanya. Jarinya yang mencengkeram stir mobil, sekejap, menggenggam jemariku. Kubiarkan. Tak kulawan sama sekali. Karena yang dilakukannya sekarang memaksaku menangis sejadi-jadinya, memaksaku meluapkan penyesalan... dari hasil kebiadabanku... untuknya.
Duduk memandangi danau biru, ditemani semilir angin hamparan rumput hijau, mampu menjernihkan pikiranku sesaat. Kevin duduk di sampingku, memberiku roti lapis kesukaan Ekspatriat, membiarkanku melumatnya dengan kunyahan nyata. Rasa lapar akibat menahan beban di hati sudah menguras energiku. Kupikir, hasutan Iblis yang kulampiaskan ke Kevin semalam benar-benar... menjadikanku sebagai... pecundang.
Apakah benar... memaafkan itu... lebih baik... daripada... membalaskan dendam?
Tangan Kevin menggeser map cokelat ke samping pahaku. Kuletakkan roti lapis di permukaan kursi semen, lalu kutarik dokumen yang berada di dalam map itu. Ada salinan bukti pembayaran dengan nominal fantastis, sepuluh miliyar rupiah, ditujukan ke sebuah organisasi yang namanya dilapisi bar hitam. Di kolom pengirim, hanya ada tanda tangan yang menciptakan lekuk rangkaian huruf Z-A-F. Wajahku pun langsung menatap Kevin.
"Dari Informanku, orang itu memberikan bayaran ke Organisasi Mafia yang membunuh Papaku. Pencarianku masih buntu mengungkap sosoknya," wajahnya menunduk sungkan. "Maafkan aku." Tanpa adanya paksaan, tubuhku memeluk erat Kevin, membenamkan wajahku ke pundaknya, bersama isakan tangis yang kupendam dalam-dalam. Bahkan setelah tahu keinginanku untuk membunuhnya, dirinya masih berusaha menepati janji. Kevin menerimaku ke dalam pelukannya, mengusap tengkukku yang sering kali diremuknya, bersama detak jantungnya ke permukaan keningku. Jarinya mengarahkanku ke wajahnya ketika bibirnya berkata, "Farhan, aku sungguh cemas," gundahnya mengalir ke benakku.
Apa yang kau cemaskan, Kevin? isyaratku menggenggam lengannya.
"Bagaimana jika... kau urungkan niat... membalas kematian Ayahmu?" tatap matanya penuh ketakutan. Wajahku hanya bisa membeku mencerna gerak bibirnya. "Mamaku bukanlah sosok yang pantas dijadikan musuh. Dirinya... manusia terkejam... yang pernah kutemui selama hidupku," ujarnya bersama linangan air mata. Sosok rapuh yang pernah kulihat di belakang sekolah... kini hadir sepenuhnya di hadapanku. "Dia... mulai mencurigaiku... yang menggali kembali kematian Papaku," cemasnya menatapku. "Aku tak ingin kau... celaka."
Kevin, genggamku ke pundaknya, aku bisa menjaga diri, isyaratku berusaha meyakininya. Apapun akhirnya, Pembunuh Ayahku harus menerima ganjaran setimpal. Aku... akan membunuhnya, isyaratku mengalir begitu saja. Tubuh Kevin tiba-tiba berlutut ke hadapanku, memaksaku bingung melihat ketakutan yang dipancarkannya. I-ini... terlalu berlebihan. Jarinya menggenggam dengkulku kuat, mengalirkan getaran akibat intimidasi makhluk yang lebih ganas dari Iblis di tubuhnya.
"Kumohon, Farhan... kita hentikan saja. Katakan apapun yang kau inginkan... pasti akan kuwujudkan. Hanya saja... kumohon... urungkan niatmu menelusuri kematian Ayahmu," genggam jarinya kuat ke punggung tanganku. Kulitku bergidik akibat sengatan listrik yang meruntuhkan keberanian. Tubuh Kevin bangkit, mendekapku erat, bersama deru tangisnya yang menciptakan kekalutan di benakku. "Aku tak bisa lagi... kehilangan... sahabatku..."
***
Martin sudah menitipkan tasku dan Kevin yang tertinggal di kelas ke meja Resepsionis. Tentunya, atas perintah pria di sampingku. Berdiri di dekatnya, di dalam elevator, setelah menerima kecemasannya di tepi danau biru, mendorong kebimbanganku mendekati jurang. Kini, rasa bersalahku terhadap Jerom makin membesar, setelah kembali tergiur untuk menyelesaikan tugasku mengungkap misteri kematian Ayah. Aku tak tahu! Otak dan hatiku sungguh jengah! Begitu banyak dipenuhi ketidakpastian! Benar yang dikatakan Kevin, kubutuh pengalihan sejenak untuk mencari akal sehatku, seperti yang yang disarankannya, mari angsur film pendek kita.