HARI KETIKA KAU HIDUP

saiko
Chapter #14

#14

Farhan...

Menelusuri jejak awal di saat Kevin menatapku dengan kebaikan hatinya, pikiranku sejenak terbawa ke sebuah momen di lapangan bola basket. Di kala itu, Kevin yang terduduk di lantai menatapku dengan binaran mata yang menyimpan rahasia. Sebuah prasangka yang mencekam otakku bahwa dirinya tak sepenuhnya jahat. Ketika jariku menelusuri garis luka di bibirnya, matanya makin berbinar menahan air mata itu jatuh. Kevin adalah seorang Penguasa, takkan mungkin menunjukkan sisi lemahnya pada kaum jelata sepertiku. Karenanya, tangan Kevin menghempas kuat tubuhku, secepat mungkin memusnahkan sisi lemahnya, sebagai tanda pilu perihnya hati menahan luka. Bukan karena luka fisik... melainkan... luka jiwa.

Kini, rasa penyesalanku hanyalah kiasan belaka. Percuma. Takkan berguna sama sekali. Sifatku mempertahankan ego, yang tak mau menerima permohonan Kevin... bahkan dengan alasan untuk menyelamatkan hidupku... menjadi salah satu alasan kedua tangan ini tak mampu mencegahnya dari terkaman maut. Naluri pembunuh... hanya menciptakan pribadi terburuk yang merajai jiwaku... menciptakan sosok terkejam... yang bahkan tak memedulikan... hidup-matinya manusia.

Itu bukanlah aku...

Aku bukanlah Iblis...

Aku hanya seorang remaja bisu-tuli yang tersakiti hatinya...

Setelah mengetahui Ayahku tewas terbunuh...

Setelah amarah menguasai rasa dendam...

Aku...

Ingin kembali seperti dulu...

Aku...

Ingin melupakan... segalanya...

Gerakan lemah jari Kevin di keningku memaksaku terjaga dari mimpi buruk. Mataku seketika menelusuri wajahnya, ditemani usapan jariku ke sela-sela rambut pria malang yang kini matanya terbuka sedikit. Air matanya mengalir, kuusap seketika dengan tisu lembut, berusaha membuatnya percaya jika dirinya tak sendirian. Binaran bola matanya kembali melemahkanku, sama seperti ketika dirinya membekukanku di lapangan bola basket. Binaran mata yang membiarkanku menerima rasa sakit terdalam... yang harus dilumat mentah-mentah... oleh dasar sanubarinya yang terluka.

Kevin, tuturku mencoba mencari kesadarannya. Jariku telah memencet tombol merah untuk memanggil Paramedis segera mendatangi ruang pemulihan. Namun, genggaman lemahnya di jariku memaksaku setuju untuk tidak pergi meninggalkannya. Kuingkari sejenak, memberi ruang untuk Dokter yang kini sibuk mengecek kondisi tubuh Kevin. Tubuhku hanya bisa menjauhi mereka beberapa langkah ke belakang, menahan isakan tangisku, menyimpan rasa penuh syukur karena Kevin berhasil siuman.

"Kondisi vitalnya membaik," ucap Dokter mendekatiku setelah dirinya melakukan serangkaian pemeriksaan. "Apa Walinya masih belum datang?" Jawabku menggeleng hampa. Mataku masih tertuju ke Kevin yang sedang diberikan medical-treatment oleh Perawat. Air matanya terus saja mengalir, membiarkanku gusar setengah mati. Sampai kapan kau membuatku cemas, Kevin? "Kalau begitu, tetaplah di sisinya. Coba ajak dia... berkomunikasi," tepuk Dokter di pundakku, seraya pergi beriringan dengan Tim Medisnya.

Tubuhku kembali ke sisi Kevin, mengusap rambutnya, menerima mata sayunya yang terus mengunci pandanganku. Dia memberitahuku rasa sakit yang sedang dideritanya. Air matanya terus mengalir, terus kuusap lembut, berusaha memberitahunya jika tubuhku juga merasakan sakit yang sama.

Kevin, maafkan aku... gerak bibirku hening mencoba menyampaikan penyesalan. Aku benar-benar bersalah... hingga kau harus... seperti ini... tetesan air mataku membasahi perban di kening Kevin, cepat-cepat kuusap kelopak mataku, langsung kuganti dengan garis lengkung akibat senyuman pilu. Tak bisa. Air mataku terus saja mengalir, terlebih lagi saat telapak tangan Kevin yang kugenggam mengarah ke pipiku. Hatiku haru penuh rasa syukur... bisa merasakan kembali kehangatan jari-jarinya yang sempat dingin-membiru. Hingga matanya terpejam kembali, mengikuti lamunan alam bawah sadar yang membawaya semakin dalam ke dasar danau biru. Kuletakkan kembali tangannya ke kasur, beranjak menjauhinya, memunggunginya saat tangisku tak bisa tertahan lagi.

Tuhan... kumohon... jagalah dia...

"Farhan," tepukan Alexa membalikkan tubuhku. Tak kuasa kumemeluknya, membiarkannya merasakan sesak hatiku saat diriku harus menemani Kevin di kondisi kritis. "Maaf... aku baru membaca pesanmu," usap Alexa ke air mataku. "Kau benar-benar keletihan. Biar kugantikan menjaga Kevin," ucapnya menatap pria malang yang kembali terlelap. Air matanya juga ikut menetes, kemudian ditepisnya secepat mungkin.

Apa sudah ada kabar dari Ibunya? tulisku di secarik kertas karena daya ponselku habis.

"Sudah berulang-kali kuhubungi. Tetap nihil. Kemana dia..." gusar Alexa terus menghubungi Miranda.

Apa yang membuatnya terlalu sibuk sampai-sampai tak mengangkat panggilan penting? Apa dirinya terus saja terlelap? Atau malah menghabiskan malam dengan meneguk alkohol sampai terbujur kaku di kasurnya? Kemana kau, Miranda? Anakmu kesakitan di sini! muakku melantunkan isyarat yang tak dimengerti Alexa. Tubuhnya memelukku lagi, mengusap punggungku, berusaha menenangkan kemurkaanku terhadap wanita jahanam. Meskipun dirinya sadar bahwa benaknya tak mengerti makna isyaratku... paling tidak... dia memahami kekesalanku.

"Farhan," usap Alexa ke tengkukku. "Kau pulang saja dan beristirahatlah. Biar Supirku yang mengantarmu. Kantung matamu sungguh bengkak," ujar Alexa yang langsung kugenggam tangannya.

Tetaplah di sisinya! Jangan sampai kau meninggalkan Kevin sedetikpun! Dia masih dalam pemulihan! Berjanjilah! tulisku untuk Alexa yang langsung memeluk tubuhku.

"Terima kasih sudah melakukan yang terbaik untuk menolongnya. Kau sungguh mulia, Farhan."

Tatapanku hanya bisa menelusuri langit subuh yang masih pekat, tanpa Purnama, hanya dibiasi temaram jingga lampu-lampu jalanan. Mataku terpejam, merasakan jiwaku yang sedang bersembunyi di antara sela-sela kebimbangan. Bagaimana jadinya jika kuakhiri pencarianku terhadap keadilan Ayah? Apa keputusan itu akan mengembalikan jati diriku ke sosok Farhan yang dulu, yang hanya memikirkan prestasi di atas segalanya? Apakah logikaku mulai letih... atau malah takut... jika saja... makin banyak lagi yang harus tersakiti? Diriku... bahkan Kevin? Apa yang harus kulakukan?

Di kamar, tanganku merapikan jurnal misteri yang turut menjadi alasanku mendatangi kota metropolitan ini. Kususun rapi semua catatan dan bukti-bukti yang diberikan Kevin, kuikat, dan kuletakkan ke dalam laci lemari. Jika kelak diriku harus menghadapi kebrutalan Miranda, ketika dirinya tahu maksudku memanfaatkan Anaknya sebagai bentuk balas dendam... kuharap... jurnal ini bisa membantuku dengan caranya sendiri... sebagaimana misterinya yang hadir di depan pintu rumahku... hingga memaksa jiwaku berakhir seperti ini.

Paling tidak nanti, saat kusampaikan keputusanku mengakhiri segalanya, Kevin bisa menghapus seluruh kecemasannya padaku. Dia hanya perlu fokus ke perawatannya saja, pulih, dan beraktivitas normal seperti biasa. Tak masalah jika dirinya harus kembali ke sosok Iblis yang merundungku, menyiksaku, asalkan... asalkan dirinya kembali hadir ke kelas, menghabiskan sisa-sisa masa SMA-nya... dengan penuh tawa. Di saat itu... aku... takkan jadi... bebannya lagi.

Jantungku mengentak, menyadari jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6.30 AM. Aku ketiduran! Bergegas, kuguyur tubuhku secepatnya, mengeringkannya, membalutnya dengan seragam sekolah, lalu bersiap-siap menunggu jemputan taksi online. Kepalaku rasanya mau pecah, kekurangan istirahat, namun harus tetap kupaksa karena beban yang kupikul kini tak sebanding dengan rasa sakit yang sedang diderita Kevin.

Aku tak boleh lemah.

Tergopoh-gopoh berlari di lorong sekolah, ketika bel masuk sudah bergema, memberiku debaran jantung yang ingin meledak. Tubuhku berdiri di depan pintu kelas, meminta Bu Nanda mengizinkanku masuk, lalu berjalan cepat ke kursiku. Rupanya Jerom sudah hadir, namun pikiranku langsung teralihkan untuk menenangkan deru jantung yang masih menggebu.

"Kau kenapa?" cemas Jerom menatapku. Kuabaikan. Napasku masih terengah-engah mencari ritme yang tenang, berusaha mengembalikan kesadaranku, hingga mataku memandangi gerak-gerik bibir Bu Nanda yang mengumumkan,

"Kevin mengalami kecelakaan tadi malam. Saat ini sedang dirawat di RSCM Kencana," ucapnya pucat-pasi. Wajahku hanya tertunduk, berbeda dengan masyarakat kelas yang kini heboh dan sibuk mengetik layar ponsel mereka. Jerom di sampingku pun membeku dengan mata terbelalak, menerima berita besar yang kupikir... mengguncang jiwanya. Walau hanya sedikit. Seberapapun besar rasa bencinya untuk Kevin, ikatan darah Ayah mereka masih bisa menyentuh sisi persaudaraan.

"Kejadiannya di mana, Bu?"tanya seorang siswa di barisan depan. Bu Nanda terbata-bata memikirkan jawaban yang tepat. Dia tak tahu. Tanpa membuang waktu, jariku menepuk pundak Jerom, menyadarkannya segera memperhatikan isyaratku.

Di depan mall kita bekerja, ujarku. Tetapi, pandanganku malah dihadiahi kernyitan alis tebalnya, seakan-akan kewarasannya tak percaya dengan apa yang kuisyaratkan. Katakanlah! desakku agar Jerom memberitahu informasi ini ke Bu Nanda.

"Di... Dr. Satrio, Bu," sahutnya mengajukan tangan. Isyaratku kembali menjelaskan inti kejadian yang dikhawatirkan para penghuni kelas. "Kejadiannya tadi malam. Mobil Kevin menabrak bahu jalan," ucap Jerom menerjemahkan.

"Kau tahu kondisi Kevin saat itu?" balas Bu Nanda. Saat hendak mengisyaratkannya, gerakan tanganku disela Martin yang menatap Jerom jengah.

"Dia takkan peduli!" bentaknya dengan mata merah. "Dia pasti berharap Kevin celaka!" Seluruh mata tertuju ke kursiku, memaksaku membalas tatapan mereka dengan kemurkaan yang kutahan.

Mengharapkannya celaka? Kau pikir... apa yang kulakukan semalam... membuktikan akal sehatku masih menginginkannya celaka? Dasar tolol! Meskipun luapan emosi Martin lebih ditujukan ke Jerom, namun perkataannya benar-benar membuatku kesal! Dia mengingatkanku pada tujuan Iblis yang hampir saja kuselesaikan. Berulang kali malah. Untuk... membunuh Kevin.

Tak kupedulikan kericuhan yang terjadi di dalam kelas, baik akibat sisi emosional Martin, ataupun pengumuman Bu Nanda. Sudahlah. Mereka toh akan tahu dengan sendirinya. Lagi pula, otakku masih butuh ketenangan, tak harus meladeni kacung konglomerat itu yang terus menyalahkan Jerom secara sepihak.

"Farhan," Jerom menyikutku, menarikku kembali dari lamunan. "Kau melihat kejadiannya langsung?" gerak bibirnya bersama isyarat.

Aku yang mengantar Kevin ke rumah sakit. Jalanan begitu sepi. Untung para Senior juga ikut menolong, isyaratku hampa. Aku... terkesan malas-malasan merespon Jerom. Selain beban pikiranku yang masih membludak... logikaku berusaha... menghapus ingatan mengerikan saat menggenggam... wajah berdarah Kevin.

"Itu kenapa?" tunjuknya ke buntalan kapas. Tak kusangka masih melekat di lipatan lenganku.

Kevin harus ditindak cepat dan kehilangan banyak darah. Rumah Sakit kekurangan stok A Rh(-). Kebetulan golongan darahku sama dengannya. Jadi...

"Kau menunggui Kevin?" tanyanya heran menyelaku. Kubalasi anggukan. "Ibunya tak ada di sana?" Wanita jahanam itu? Di sana? Mungkin dia sudah mati dan mayatnya hilang entah ke mana, muakku dalam hati. Berusaha membunuh pikiran buruk, kepalaku menggeleng sebagai jawaban.

Sekitar jam dua malam, Kevin baru bisa dipindahkan dari ruang operasi. Untung sekali Dokter di sana mengenalnya dan langsung memasukkan Kevin ke ruang VVIP. Aku menungguinya, mencoba terus menghubungimu dan Alexa... tetapi tak ada jawaban, isyaratku agak kesal ke Jerom. Tangannya seketika meraih ponselnya, menunjukkan wajah menyesal karena dirinya lupa menonaktifkan flightmode. Penyesalannya kini percuma, sama seperti penyesalanku, karena kami tak bisa memutar waktu. Sekitar jam empat subuh, Alexa menjawab pesanku dan langsung bergegas ke Rumah Sakit. Dia menggantikanku menjaga Kevin dan tak masuk sekolah hari ini. Alexa juga mencoba menghubungi Ibu Kevin. Namun hingga kupergi, masih tak ada jawaban, isyaratku panjang-lebar. Rasanya letih sekali mengenang kejadian semalam.

"Apa menurut Dokter... Kevin baik-baik saja?" Aku tertegun menerima pertanyaan Jerom. Menghapus prasangka buruk, kuisyaratkan padanya,

Lihat selengkapnya