HARI KETIKA KAU HIDUP

saiko
Chapter #15

#15

Kau dimana?

Berdiri terengah-engah setelah berlari kencang di lorong Rumah Sakit... memandangi kamar pemulihan yang kosong... hanya terisi kasur pasien yang rapi... bersama lantai bersih yang tak ada ceceran makanan sama sekali... memaksa hatiku ingin menangis. Pria yang kutemani hampir seminggu terakhir, kini, hilang begitu saja. Tak memberiku kabar jika dirinya telah diperbolehkan pulang. Bahkan tak memedulikan pesan singkatku. Mungkin, inilah saatnya membayar perlakuan burukku padanya. Tentu. Tak masalah. Aku siap. Namun... mengapa rasanya... hatiku begitu hancur...

Tega sekali kau membuatku kecewa...

Begitupun di sekolah. Masih belum muncul tanda-tanda kehadirannya. Pikiranku masih melayang ke cuplikan saat menyuapinya makan. Sulit sekali. Selalu diberi perlawanan... pecahan keramik.... bahkan ludahan. Selalu berulang tiap hari. Kupikir, perlakuan buruk itu hanya perlu kuterima sekali saja. Namun sepertinya, dia sungguh kesal padaku. Sekali lagi tak masalah. Kuterima. Karena rasa bersalahku... takkan bisa... terhapuskan.

Menepis air matanya... menyelimutinya yang tiba-tiba kedinginan... mengusap rambutnya saat membalas genggamanku... seluruh sisi rapuh itu adalah secercah harapan yang diberikannya untukku, meskipun amarahnya tak kunjung usai. Kelembutan hatinya masih tersisa, masih enggan ditunjukkannya, karena rasa sakit hati masih belum puas terlampiaskan. Paling tidak, ketika terakhir kutemani, laporan medisnya menunjukkan progress memuaskan. Bahkan, tubuhnya mulai bisa berjalan meskipun harus menggunakan crutch dan dituntun oleh Perawat. Tak henti-hentinya rasa syukur kupanjatkan, melihatnya semakin membaik, masih diberi kesempatan hidup untuk melakukan apapun yang diinginkannya. Akan kutepati janji. Diriku... takkan lagi... menjadi bebannya.

Dikarenakan rekan kelompokku belum tiba, Pak Fariz memintaku untuk duduk di kursi Guru. Lagi, beliau akan memberiku tutorial private mengenai Adobe Premiere di Macbooknya. Beliau pula-lah yang memberitahuku perihal kepulangan Kevin, memaksaku memburu waktu segera ke Rumah Sakit, berharap bisa menjumpai rekan kerjaku sebelum pergi ke Istana Putra Mahkota. Sayangnya, aku terlambat. Ya. Sekali lagi kusadar. Harus menerima karma atas kebiadabanku sendiri.

Sebelum tubuhku berdiri sempurna, seorang pemuda tegap ber-pelipis lebam tiba-tiba memasuki kelas. Langkahnya begitu tak stabil ditopang crutch, menghardik pria berjas hitam untuk segera meninggalkannya, lalu tubuhnya berjalan ke bangku kosong di sampingku. Tanpa adanya perintah, Martin dengan sigap menyentuh lengan kekar Putra Mahkota, bermaksud membantunya melangkah, namun sayang hardikan-kasarlah yang harus ditelannya mentah-mentah. Mataku hanya bisa menelusuri wajahnya, tanpa tersenyum, membiarkannya duduk di sampingku sambil meletakkan Macbook ke permukaan meja. Wajahnya terus tertuju ke lantai, bersama deru napas berat, membiarkanku menunggunya tersenyum.

Sungguh... permintaanku... sungguh-sungguh kelewatan.

"Okay! Sepertinya, Farhan sudah kedatangan belahan jiwanya," tawa Pak Fariz memecah keheningan kelas. Bukannya menjadi ceria, malah suasana mencekam timbul akibat guyonan beliau yang berlebihan. Sungguh... ku tak suka. Jariku mengepal kuat di atas meja, beriringan dengan wajah merah-padam Kevin yang menahan kesal... untukku.

Tutorial pun dimulai. Lagi, mataku hanya bisa tertuju ke fitur Adobe Premiere yang harus kami kuasai untuk menyunting scene film pendek. Kubiarkan saja apa maunya rekan kerjaku, tak memintanya mengajariku, hanya...

"Kau bisa tekan ini," tuntunnya jariku ke touchpad, "arahkan kursor ke panel kiri," mataku mengikuti arah gerak panah putih yang menekan icon animasi, "dan jadi seperti itu," hingga transisi sinematik hadir di antara potongan video kami. Wajahku ingin sekali memandanginya saat ini, namun hanya bisa terpaku menantang layar Macbook. Gerakan bibirnya yang terpantul di layar... sungguh... mendamaikanku. Sialnya, radiasi cahaya memaksa mataku berair, membiarkanku menahan tetesan itu yang sudah ingin jatuh sejak kelas dimulai. Genggamanmu... juga memaksaku... ingin menangis.

Kini, jari-jariku hampir mahir menguasai fitur esensial Adobe Premiere. Kevin membiarkanku mengoperasikan Macbooknya, membiarkanku ketagihan dengan skill baru yang bisa kugunakan untuk menyelesaikan progress mingguan. Lengannya... terus saja... tertempel ke lenganku. Ketika hendak menanyai pendapatnya tentang hasil kerjaku, mata Kevin membeku menatap barisan kursi depan. Dirinya termenung menatap keceriaan Alexa bersama Jerom. Ingin sekali kuusap punggungnya agar kesedihan dan rasa cemburu itu hilang. Namun, tubuh Kevin berusaha berdiri dan mulai melangkah bersama crutch-nya.

"KEVIN!"

Seluruh murid panik melihat Putra Mahkota terjatuh di barisan tengah. Susah-payah Martin menolong Kevin berdiri, lagi-lagi hanya bentakan yang harus diterimanya sebagai bayaran. Pak Fariz yang kutatap di depan kelas hanya membeku, tak berbuat apa-apa, hanya tertegun melihat salah satu siswanya sedang berusaha mengumpulkan harga diri untuk berpijak di kakinya sendiri.

Tak bisa kutahan. Kakiku melangkah mendekati Kevin, membiarkan tanganku menggenggam lengannya, berusaha menopang tubuhnya agar bisa berdiri tegak. "LEPAS!" tepisnya tanganku. Kuabaikan. Tetap kubantu agar dirinya berdiri tegak. "KAU TAK DENGAR, HUH!?" berontaknya mendorong tubuhku hingga terjerembab ke lantai. Kubangkit, lalu mendekatinya lagi.

Aku tuli! Aku tak paham apa yang membuatmu marah! bentak isyaratku. Kutahan penolakannya yang begitu beringas ke tubuhku, hingga kucengkeram kuat lengan kekarnya, memaksanya berdiri tegak, dan memposisikan crutch-nya sestabil mungkin. Kuminta Pak Fariz mengizinkanku keluar bersama Kevin. Meskipun si Anak Manja terus melampiaskan ketidak-puasannya padaku, tubuhku sudah kebal menerima kebiadabannya sejak hari pertamaku di sekolah ini.

Menungguinya di pintu toilet, mataku hanya terpaku ke lantai. Saat getaran di dinding terasa, wajahku menoleh ke Kevin yang sedang mengalirkan air keran wastafel. Pandangannya tertuju ke genangan air di kantong tangannya, kemudian membasuhnya ke wajah, dan menunduk kembali. Punggungnya mulai terisak-isak, meluruhkan tangisannya bersama aliran air keran. Kubiarkan. Tak kuhampiri. Hingga hatiku gusar dan terpaksa memberinya tisu. Hanya hening yang kudapat. Tubuhnya bergeming memandangi bayanganku di cermin, memaksaku menghela napas panjang, dan membiarkan jariku mulai mengusap mata basahnya.

Kami melangkah berdampingan menelusuri pekarangan sekolah. Saat melewati bangku taman, Kevin secara perlahan mengarahkan tubuhnya duduk, kuikuti, sampai kami menerima terpaan cahaya Mentari. Sisi wajahnya kutatap. Matanya terpejam. Alisnya mengikuti arah semilir angin. Bibirnya terbuka sedikit mengembuskan napas sesak. Menyadari tatapanku, Kevin pun membalasnya, memandangiku dalam, seperti memberiku kekesalan yang bercampur patah hati. Kuusap pundaknya perlahan, membiarkan wajahnya tertunduk kembali, lalu menempel ke sisi leherku.

"Aku sungguh... membencimu, Farhan..."

Tetap saling berpegangan, aku dan Kevin kembali ke dalam kelas, kemudian duduk di barisan kursi belakang. Melanjutkan pekerjaanku, Kevin hanya menggeser Macbooknya ke arahku, membiarkanku sendirian mengerjakan tugas kelompok kami, sedangkan dirinya melamun mengikuti rasa jengah di sisa-sisa akhir pelajaran Pak Fariz.

Setelah selesai mengirimkan email progress mingguan, tanganku menutup Macbook Kevin, mengembalikannya, dan langsung memasukkan buku-buku kelas filmku ke dalam tas. Tubuhku beranjak meninggalkan Kevin, berpapasan dengan Alexa yang menepuk pundakku, bersama senyum sendu yang kubalasi anggukan. Bersabarlah, gumamku untuknya.

Bagaimana progress filmmu? tanyaku ke Jerom sambil menyenderkan tas ke kursi. Belum lagi dijawabnya, getaran keras mengalir ke punggungku, memaksaku menoleh ke barisan belakang, mendapati kursi Alexa sudah rebah di lantai. Wajah Kevin begitu geram, sedangkan Alexa menatap langit-langit kelas. Gadis itu mulai memandangi setiap makhluk di ruangan ini, berharap jika ada yang sudi bertukar posisi duduk dengannya. Saat hendak kuhampiri, Jerom sudah berjalan duluan ke belakang punggung Alexa, menarik lengan gadis berwajah murung itu, lalu membiarkannya duduk di sampingku.

"Jerom..." ucap Alexa berlinang air mata. Tubuh pria gentleman itu tetap berdiri gagah di sisi meja kami, tak memedulikan prasangka siswa yang menatapnya penuh... caci-maki. Tanganku merentang, menyuruhnya duduk di sebagian permukaan alas kursiku, tepat berada di tengah setelah Alexa menempelkan kursinya ke kursiku. Tampaknya, kami seperti murid taman kanak-kanak yang sedang menunggu giliran divaksin. Entahlah. Logikaku berusaha tak menyalahkan siapapun... karena kebiadabanku sendiri... belum bisa... termaafkan.

"Kalian nyaman?" tanya Jerom ke masing-masing sisi wajahku dan Alexa. Kuusap pundaknya agar hatinya tak perlu khawatir.

Nyaman. Seperti di bangku KRL, ejekku yang dibalasi Jerom gosokan ke rambutku. Senyum Alexa pun hadir menanggapiku, menyimpan ganjalan hati sejak kutemui di lorong Rumah Sakit. Apa yang membuatnya berlari dan menangis saat menabrakku waktu itu? Apa yang dibicarakannya... bersama Kevin?

Ketika tertawa membalas kekonyolan Jerom, getaran langkah kaki seseorang begitu terasa di telingaku. Lengan seragamku seperti ditarik-tarik, membiarkanku tak nyaman akibat keusilan seseorang, sampai-sampai bentakan keras menggema ke tengkukku. Kevin. Dia mencengkeram tanganku, namun seketika terlepas akibat tenaga lemahnya. Hardikannya kembali muncul, memberiku rasa hampa, hingga kumembereskan seluruh perlengkapan belajarku. Aku ke sana dulu, isyaratku mengikuti Kevin ke barisan belakang. Akhirnya, dirikulah yang menggantikan posisi duduk Alexa... di samping Kevin... untuk sisa-sisa jam pelajaran selanjutnya.

Jam sekolah kulalui dengan fokus memperhatikan Guru di depan kelas. Jariku begitu teliti mencatat poin-poin penting yang kuperkirakan akan berguna untuk menghadapi ujian semester. Alam sadarku berhasil mengabaikan Kevin yang hanya duduk hening di sampingku. Tanpa bentakan. Tanpa tendangan. Tanpa tindakan anarkisnya. Bahkan, jam istirahat pun hanya dihabiskannya di dalam kelas. Sendirian. Hingga bel pulang sekolah bergema, diiringi senyumanku yang merespon Jerom agar kami segera ke bioskop. Saat tubuhku hendak beranjak pergi, cengkeraman kuat berusaha meremas pergelangan tanganku di sisa-sisa tenaganya. Terpaksa kutepis karena ingin menghampiri Jerom yang masih sibuk menolong Alexa. Akibatnya, hardikan Kevin kembali melumat akal sehatku.

"KAU HARUS IKUT DENGANKU!"

Aku harus bekerja! Cari makan! bentakku muak.

"AKU TAK MENGERTI BAHASA ISYARATMU, TOLOL!"

Hinaannya... memaksaku... terdiam. Iblisnya... kembali muncul di hadapanku. Tarikan kuat berusaha menyelamatkanku dari terkaman makhluk buas, namun tubuhku tetap membeku akibat cengkeraman erat di pergelangan tanganku.

"Lepas dia," tarik Jerom paksa hingga kuberdiri di belakangnya. Aku...

"KAU PUAS MENDAPATKAN SEMUA KEINGINANMU, HUH!?" hardik Kevin yang berusaha berdiri di hadapan Jerom. Crutchnya kehilangan tumpuan, hampir membiarkannya terbanting ke lantai jika tak kudekap. "LEPAS!" berontak Kevin mendorong tubuhku.

"Biarkan saja dia," rangkul Jerom ke pundakku, menarikku berjalan menjauhi Kevin, menerjang pundak para penjilat bangsawan yang kini berusaha menenangkan amukan Putra Mahkota.

Kevin berhasil membungkam seluruh indraku dengan perkataan kasarnya. Tak sekalipun alat gerakku berani membalasnya dengan isyarat terburuk, hanya pasrah membiarkan Iblis menyerap seluruh keberanianku. Entah itu memaksaku menjadi pecundang, atau bahkan menyerahkan seluruh hidupku untuk disiksa. Entahlah. Tanganku kini melekatkan seragam kerja ke tubuhku, menutup loker Karyawan, lalu menepuk pundak Jerom untuk menyerap sedikit keberaniannya.

"Kau baik-baik saja?" sentuh Jerom ke sisi leherku. Kugenggam punggung tangannya, berharap dirinya tahu jika jiwaku hampir menyentuh batas kewarasan.

Aku pergi duluan.

Wajahku terpaku menantang biasan layar bioskop di menit-menit terakhir pemutaran film. Tusukannya yang tajam bisa memusnahkan rasa bersalahku yang makin memuncak. Rasa bersalah itu menyerap seluruh energi kehidupanku, membiarkanku berjalan hampa, memaksaku memalsukan seluruh beban hati, dan mengubahnya seakan-akan hidupku aman sentosa. Setelah lautan manusia meninggalkan studio, tubuhku segera beranjak untuk mengutip sampah-sampah yang berserakkan di seluruh barisan bangku. Kurahap, sampah-sampah ini juga bercampur dengan rasa bersalah yang menyesakkan dadaku.

Berapa kantong sampah raksasa yang kukumpulkan? Sepuluh kantong dari lima studio. Mengumpulkan mereka... membantuku melarikan diri dari terkaman penyesalan. Mendorong troli kebersihan ke area pembuangan... membuatku berharap jika seluruh beban hati ikut terbuang sampai tak tersisa. Mereka hanyalah sampah, seperti parasit, yang makin lama makin menggerus keberanianku menjalani hidup.

"Eh, Farhan!" sebuah getaran menyapaku dari arah pintu masuk bioskop. Di sana, telah berdiri Alexa dan Jerom. Jelas sekali mereka ingin pulang bersama. Kuhampiri, tersenyum, dan memahami situasi. Kurasa, hati Alexa butuh sosok pelindung yang bisa mengobati luka perasaannya. "Kami bisa menunggumu," ujar Alexa yang hendak menumpangiku pulang.

"Ya. Kami bisa menunggumu," tepuk Jerom ke pundakku dengan senyuman, meskipun bola matanya menyiratkan kehampaan. Tenanglah... takkan kuganggu, Jerom, gumamku dalam hati.

Duluanlah, senyumku melepas kepergian mereka.

Tampaknya, aku menjadi yang terakhir keluar dari bioskop. Suasana mall sungguh lengang, hanya dibiasi cahaya lampu utama dan display-display beberapa toko. Kakiku semakin cepat menuruni eskalator yang padam, berjalan ke pintu basement, melewati beberapa sektor parkiran yang masih menghimpun kendaraan-kendaraan pemilik usaha. Merasakan kejanggalan, sorotan lampu dari arah belakang memaksaku berbalik, menerima seretan kuat seseorang, hingga tubuhku berontak ketika melewati beberapa jejeran mobil. Dengan kasar tubuhku dihempas ke lantai, dibiarkan berguling, lalu ditinggalkan begitu saja. Pandanganku panik, berusaha mencari sosok yang menyeretku, namun hanya kesunyian yang mengelilingiku. Kakiku sontak berdiri dan berlari kencang, melewati portal, dan akhirnya sampai di ruas jalan utama.

Untung sekali taksi online tak membiarkanku menunggu semenit pun di titik penjemputan. Pikiranku masih kalut menelusuri kejanggalan yang baru saja menerpaku. Hal serupa pernah terjadi, hingga kuberakhir duduk di samping Kevin. Wajahku langsung beralih ke belakang, berusaha mencari apakah ada kendaraan yang mengikutiku, namun hanya jalanan sepi yang kutemui. Logikaku berusaha menenangkan kekhawatiran, berusaha meyakini jika hanya paranoid belaka yang sedang mengontrol kewaspadaanku kini.

Kuputuskan turun di taman kota, hanya beberapa meter dari gerbang masuk komplek rumah Donaturku. Pikiranku butuh udara segar. Tubuhku sedang duduk nyaman di ayunan, memandangi hamparan Bintang di pekat malam, berusaha mencari secercah harapan yang bisa kugunakan untuk menjalani hidup tanpa harus memikirkan apapun. Air mataku mengalir karena jiwaku begitu hampa. Mungkin juga karena semilir angin atau debu jalanan. Tiap tetesan yang mengalir semakin menyesakkan dadaku, membiarkanku sekali lagi menjadi pecundang yang tak mampu menahan beban hidup... atau rasa bersalah.... atau mungkin penyesalan.... atau rasa rindu yang teramat dalam...

Ayah... apakah bisa jemput aku di sini? Aku sudah letih... tak ada lagi rasanya yang bisa kulakukan setelah kuputuskan berhenti membalas kematianmu. Aku... ingin semuanya... berakhir...

***

Melewati gerbang sekolah yang diterpa Mentari pagi, sebuah rangsangan mistis tiba-tiba menyemangatiku membunuh waktu hingga larut malam tiba. Rangsangan itu telah muncul sejak tiga hari yang lalu... sejak kuhabiskan waktu merenungi tujuan hidupku di taman kota. Bukankah mudah saja... hanya tinggal kembali ke sosok Farhan yang fokus berprestasi... lalu mengubur dalam-dalam sosok Iblis yang ingin balas dendam? Hanya seperti membalikkan telapak tangan saja 'kok... tak perlu berbagai macam drama... yang ujung-ujungnya menyusahkan perasaan. Sayangnya, manusia diciptakan memiliki emosi kompleks, yang bahkan cinta tak berbalas saja bisa mengakhiri nyawa seorang remaja. Lalu, bagaimana dengan emosiku... yang diterpa dengan berbagai macam permasalahan hidup... apakah ku masih... bisa bertahan?

Kakiku berhenti tepat di garis batas antara pos keamanan dan lahan parkir. Mataku sedang terpaku ke sedan mewah dengan pahatan emas makhluk bersayap di ujung terdepan kap mesinnya, mengantarkan seorang pemuda bangsawan yang berdiri goyah ditopang crutch. Setelah membentak Pengawalnya agar segera meninggalkan sekolah konglomerat, mata pemuda itu membeku ke arahku, terus mengamati langkahku berjalan, meskipun tahu jika tubuhku enggan menghampirinya. Namun, telingaku merasakan langkah memilukan yang berusaha secepat mungkin menyusulku, memaksaku melambatkan sedikit langkah kaki, memastikan tubuh pemuda di belakangku tak terjatuh akibat gebu crutch yang tak stabil. Atau mungkin sebenarnya... tubuhku masih betah berlama-lama di dekatnya... karena... rindu bercampur penyesalan begitu sadis merajai keangkuhan.

Kami berdua berhasil memasuki kelas. Kakiku melangkah ke barisan belakang, dibiarkannya berjalan lebih dulu, lalu duduk dengan tenang selama kelas film berlangsung. Setelahnya, langkah goyahnya mulai mengikuti jejakku, menyelip ke ruang belakangku duduk, dan hinggap di sampingku. Wangi parfumnya sungguh ampuh membawaku ke gerbang kediaman bangsawan, mengingatkanku kembali akan percikan Surga dunia yang memanjakan para manusia terhormat. Tatapanku hanya bisa terpaku ke meja belajar, menerka sedikit bayangan dari sisi wajahku tentang seseorang yang sembunyi-sembunyi memandangiku. Ingin sekali kubalas binaran matanya... tetapi rasa sungkan... mencegahku untuk memperbaiki... keadaan.

Bahkan di tengah puncak kebencian, jiwa Malaikatmu masih rela memastikanku duduk dalam keadaan selamat. Sadarkah kau jika perhatianmu makin menumpuk rasa bersalahku?

Bruk!

Jerom? Sahabat karibku masuk dan langsung duduk mengentak di kursinya... dengan raut... tak bersahabat. Bukan hanya itu, wajah merah-padamnya seperti menyimpan murka, terlebih lagi ketika Alexa mulai duduk di sampingnya. Aura kelam yang dipancarkan Jerom menyerang logikaku sampai ke barisan belakang, memaksaku gundah jika saja ada masalah yang sedang berkecamuk di benaknya. Memang sudah tiga hari dirinya murung, namun sungguh, suasana hati Jerom kini sangatlah berbeda ketika kulihat dirinya bersama Alexa di pintu masuk bioskop malam itu. Apa mereka... sedang ada masalah?

"Pagi," Pak Fariz masuk dan langsung memulai kelas. Beliau berhasil memaksaku fokus ke tutorial lanjutan di layar proyektor. Mataku bahkan tak beralih ke Macbook yang digeser Kevin, hanya terus merekam poin-poin penting yang nantinya bisa kulatih sendiri di PC rumah Donaturku. Akan kuminta Pak Fariz menginstall software itu selepas sekolah. Seharusnya, sudah kumintai sejak awal. Menahan kejut, tubuhku secara spontan menjauhi usapan lembut di belikatku, membiarkan kepalan tangan pemuda di sampingku berurat menanggapi penolakan alam bawah sadarku. Biarlah. Tak ada ruang lagi di benakku untuk menerima kebaikannya. Dirinya... hanya membuatku... makin merasa bersalah.

"Farhan..." ucapnya merangsang air mataku. Jari-jarinya menggenggam telunjukku, berusaha mengarahkannya ke touchpad, namun kutarik cepat agar bisa menulis catatanku kembali. Embusan napasnya berat, bahkan terpantul ke sisi lenganku, memaksaku sadar bahwa sisi manusianya sedang sekuat tenaga membenam kemurkaan Iblis akibat ulahku. Lampiaskanlah. Jangan berhenti menyakiti fisikku. Mungkin saja jika ku sekarat, rasa bersalahku bisa terbayarkan... setelah berkontribusi membuatmu celaka. "Farhan..." panggilnya kembali... memaksanya tercengang... setelah tubuhku bergerak dengan sendirinya ke depan kelas.

Bapak, ujarku linglung, sepertinya... saya masih bingung memahami Track Matte Key. Rupanya, alam bawah sadar sedang mencari cara menghindari rekan kerjaku.

"Bukankah Kevin mahir mengg-"

Lihat selengkapnya