Mati. Apakah saat ini jiwaku sudah berpisah dari ragaku? Terangkat ke dunia berbeda yang tidak pernah aku pijaki sebelumnya. Apakah hayatku benar-benar selesai? Melebur ke sebuah tempat di mana Tuhanku berada. Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Pupil hitamku masih nampak, tetapi tidak ada yang bisa kulihat dengan nyata. Dengung di telingaku masih ada, tetapi samar. Dan tubuhku masih utuh, tetapi seluruh organku merasa resah. Aku melayang. Bukan sekadar berhalusinasi, tetapi benar-benar melayang seolah terbang.
4 November 2019. Tanggal yang ingin sekali kuhapus di dalam kertas bertumpuk dua belas dengan urutan angka satu sampai tiga puluh di setiap lembarnya. Memiliki pola sama, nama hari serupa, dan beberapa tinta merah di angka tertentu. Acap kali kumelihat tanggal itu, jantungku berdebar hebat. Hatiku panas seketika. Seluruh tubuhku kaku, rasa ingin menghilang detik itu juga. Aku membenci hari kelahiranku sendiri. Hari di mana seharusnya aku paling bahagia karena sebelum 4 November lima tahun lalu, semua kasih sayang dilimpahkan hanya padaku. Hari yang setiap tahun aku nantikan kala itu, sejak lima tahun lalu menjadi hari yang ingin sekali aku hindari. Hari yang menakutkan. Hari yang kelam dan hancur.
Aku pikir aku kuat. Selama lima tahun belakangan, aku berusaha dengan seluruh kemampuan terbaikku. Aku tersenyum, meski bibirku terasa kaku setiap melakukannya. Aku bersikap ramah kepada siapapun, meski hatiku dilanda duka setiap detiknya. Aku mencoba bahagia, meskipun kenyataannya batinku selalu berbisik. Menyuruhku untuk mati.
Sekarang. Aku benar-benar melakukannya. Menuruti perintah batinku yang selama ini tertunda. Bukan-bukan. Entah sudah kesekian kalinya aku mencoba mati, tetapi sulit dan tidak pernah berhasil. Dan kini, rasanya aku berhasil. Semakin lama tubuhku terasa ringan. Terombang-ambing mengikuti arus kecil di kolam milik rumah mewahku sendiri. Semakin kumemeluk erat diriku sendiri, maka semakin cepat pula ujung jemari kakiku menyentuh lantai dingin berwarna biru. Lantai yang aku pilih sendiri saat pertama kali kolam renang ini dibangun.
Sudah tiga ratus detik sejak aku melempar tubuhku ke dalam kotak persegi panjang penuh air di belakang halaman rumah. Seingatku, tidak ada seorang pun di setiap sudut rumah. Aku yang sengaja mengusir mereka pergi. Entah itu meminta Mbak Susi ke minimarket ujung jalan atau Mas Burhan yang aku paksa mencuci mobil pribadiku di Car Wash seberang jalan perumahanku. Padahal Mas Burhan sudah kukuh ingin mencucinya di halaman luar saja. Namun, jelas aku menolaknya. Sebab ada hal penting yang akan kulakukan. Ya, ini. Aku berusaha untuk mati.
Aku, Frisia Anjani. Anak bungsu dari ketiga bersaudara. Satu-satunya gadis di antara dua Masku. Aku bak putri kerajaan di antara mereka. Kami memiliki keluarga utuh yang sempurna. Namun, siapa sangka dua tahun terakhir aku memilih untuk hidup sendiri. Tentu saja bersama dua orang yang kusebutkan tadi. Aku mengikat diriku di dalam keheningan yang kuciptakan sendiri. Seolah dunia di luar sana begitu kejam untukku arungi. Padahal aku sadar, aku tahu jika ada beberapa orang yang masih mencintaiku. Mereka membutuhkanku dan aku tidak bisa hidup tanpa mereka.