Tujuh tahun lalu ...
"Yah, Figo yakin kalau Vitara bisa berubah," ucap Figo, mas-ku yang pertama. Dia tengah berusaha meyakinkan kedua orang tuaku agar memberikan restu pada hubungannya bersama Mbak Vita. Perempuan yang sudah setahun belakangan menjalin hubungan dengannya.
Ayahku tidak menggubris Mas Figo. Pandangannya juga sengaja dialihkan ke arah lain. Tidak ingin menatap ekspresi memelas Mas Figo yang sudah berlangsung selama duapuluh menit tadi. Sejak pembicaraan serius ini dimulai.
"Figo pasti bakalan menuntun Vitara untuk jadi istri dan menantu yang baik. Figo udah sayang banget sama Vitara, Yah, Bu." Mas Figo masih saja memohon. Dari lirikan mataku yang sedang berpura-pura fokus pada ponsel di sebelah ibuku, aku yakin mata Mas Figo mulai berkaca-kaca. Atau bahkan sebentar lagi akan menangis. Sepertinya Mas Figo memang sangat mencintai Mbak Vitara.
Aku merasa iba dengan Mas Figo. Dari yang kuingat, dia belum pernah sebegininya karena seorang perempuan. Memang yang aku tahu, Mas Figo memiliki kebiasaan gonta-ganti kekasih. Apalagi aku sering jahil dengan membuka galeri ponselnya di mana banyak terpampang wajah cantik di sana. Namun, entah kenapa saat ini Mas Figo membahas soal pernikahan, dengan serius. Tidak-tidak, tapi sangat teramat serius. Mencerminkan sebagaimana tekadnya yang sangat kuat. Semoga saja.
Dan yang disebut Mbak Vitara itu, pernah beberapa kali aku bertemu dengannya. Sekitar tiga atau empat kali saat aku berada di rumah, Mbak Vita selalu membawa martabak ketan hitam untuk kami. Menurutku, dia juga tipe perempuan yang baik. Wajahnya yang manis dan memiliki kulit kuning langsat. Mbak Vita termasuk perempuan yang paling ramah dari sekian mantannya Mas Figo. Semoga saja hal tersebut tidak dibuat-buat hanya karena ingin mencari perhatian ke keluarga kami.
"Yah ... Bagaimana keputusannya?" Sekarang ibuku yang mencoba bersuara. Kalau dari yang terlihat, ibu sudah setuju dengan permintaan Mas Figo. Dia hanya selalu ingin membahagiakan anak-anaknya.
Sebelum membuka mulutnya, Fajar, nama ayahku, dia mengembuskan napas panjang. "Go ... Sebenarnya ayah bukan tidak setuju dengan pernikahan kamu dan Vitara. Hanya saja ayah takut jika nanti kamu tidak bisa memenuhi kebutuhan Vitara yang sepertinya jauh di atas keluarga kita."
"Enggak akan, Yah. Vitara enggak akan begitu. Dia juga bisa hidup sederhana," sahut Mas Figo.
Mbak Vitara berprofesi sebagai DJ. Mungkin untuk sebagian orang, pekerjaan seperti itu dipandang tidak baik. Akan tetapi Mas Figo dan keluargaku tidak pernah mau atau suka menghakimi orang lain. Kami selalu menghargai semua yang dilakukan orang lain.
"Dan apakah calonmu itu tidak keberatan jika memiliki mertua yang hanya penjual sayur-mayur di pasar?" tanya ayahku memastikan.
"Tanpa penjual sayuran semua orang bakal kelaparan dong, Yah. Emang apa salahnya dengan profesi itu?" Akhirnya aku memutuskan bersuara. Mengeluarkan sepatah dua patah kata yang sebenarnya sejak tadi lidahku sudah terlalu gatal lantaran ingin ikut andil dalam rapat keluarga ini. Berbeda dengan Frodi, mas keduaku yang terlalu acuh untuk urusan sesakral ini. Sejak tadi pandangannya tidak pernah berpaling dari permainan di layar ponselnya.
"Frisia benar, Yah. Vitara bukan orang yang pilih-pilih juga. Dia malah selalu bilang kalau dia ingin sekali jadi bagian keluarga kita. Figo udah cerita semua seluk beluk keluarga kita ke Vitara," lanjut Mas Figo, masih dalam usahanya mendapatkan kata 'setuju'.