Semalaman aku tidak bisa tertidur dengan pulas. Mataku memang terpejam, tetapi pikiranku terus berputar-putar mencari jawaban. Aku membolak-balikkan badan ke kanan dan kiri demi mendapatkan posisi nyaman agar bisa secepatnya disambut oleh sang mimpi. Namun, tetap saja benakku memaksa untukku terus terjaga. Pada akhirnya aku mengalah dan membuka mata. Menatap langit-langit kamarku yang sudah gelap, tetapi ada bentuk bintang dan bulan bersinar kecil di sana. Aku kembali berpikir keras. Penasaran dengan apa yang akan disampaikan esok hari oleh Mbak Vitara. Terlebih dia mengatakan jika aku tidak boleh memberitahu siapapun, terutama Mas Figo tentang pertemuan kami. Jadi bagaimana mungkin aku tidak terjerat rasa penasaran semalaman suntuk ini.
Tepat ketika bel berdering nyaring, aku langsung buru-buru merapikan semua peralatan belajarku ke dalam tas. Aku berlari keluar kelas menuju gerbang. Aku sama sekali tidak peduli dengan siapapun yang menyapa. Aku benar-benar mengabaikan mereka. Bahkan, ketika kakak kelas yang diam-diam aku kagumi tersenyum simpul ke arahku, aku malah terus berlari tanpa peduli. Sial! Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Harusnya ini kesempatanku. Namun, yang terpenting sekarang adalah seseorang yang sudah menungguku di seberang gedung sekolah. Mbak Vitara menjemputku dengan taksi online.
"Hai, Fi," sapa Mbak Vita padaku. Terkadang dalam keluargaku, panggilan 'Fia' sudah tidak asing lagi. Mas Figo yang menceritakannya ke calonnya itu. Pasti.
"Halo, Mbak."
Tanpa basa-basi selanjutnya, Mbak Vita menyuruhku masuk ke mobil. Dia mengajakku ke salah satu Mall di daerah Bogor. Letaknya tidak begitu jauh dari sekolahku. Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan kami, tidak begitu banyak obrolan. Sepertinya kami sama-sama canggung. Mbak Vita hanya bertanya beberapa hal yang tidak begitu penting. Misalnya, bagaimana sekolahku, siapa yang biasa mengantar dan menjemputku di sekolah, dan makanan apa yang aku suka. Tidak ada pembahasan tentang Mas Figo sama sekali. Padahal prasangkaku tadi, Mbak Vita akan banyak mengulik tentang mas-ku yang terkadang menyebalkan itu. Atau mungkin Mbak Vita hanya menunda berbagai keingintahuannya itu sampai kami berada di tempat tujuan.
Sebelum masuk ke tahapan yang lebih serius, Mbak Vita mengisi perutku dengan beberapa menu di restoran cepat saji dalam sebuah Mall. Aku yang awalnya lebih banyak diam lantaran rasa canggung itu tidak ingin pergi, berkat sikap easy going milik Mbak Vita, pelan-pelan akhirnya kebekuan berubah mencair. Perempuan dengan senyum manis itu berhasil membangun kedekatan alami antara kami. Sepertinya aku mulai cocok dengan Mbak Vita. Dan semoga saja semua ini memang tulus dari hatinya. Tidak ada sandiwara yang sengaja dibuat-buat hanya demi menaklukan restu dari salah satu keluarga calon suaminya.
"Fi ...." Akhirnya tujuan Mbak Vita mulai terkuak. Bisa aku nilai dari nada panggilan padaku yang terdengar sedikit berat. Seperti ada hal serius yang akan mulai disampaikannya.
"Iya, Mbak." Aku meletakkan gelas berisi es jeruk yang sebelumnya sedang kuseruput. Perutku juga mulai terasa begah. Dengan seksama aku membuka telingaku lebar-lebar. Sebenarnya aku juga sudah menunggu sesi ini.
"Mbak boleh nanya sama kamu, nggak? Ada beberapa hal yang pengeeeen banget mbak tau tentang keluarga kamu."
Aku mengangguk lalu bekata, "Boleh, Mbak. Tanya aja."
"Sebelum pacaran sama aku, Mas Figo pernah ajak mantannya nikah, nggak?"
Aku berpikir sebentar. Bukannya untuk mengingat-ingat, sebab aku sudah tahu betul jawabannya. Hanya saja otak jahilku sedang tidak ingin diam. Pinggangku seakan tergelitik melihat raut tegang yang kini bersemayam di wajah Mbak Vitara. Calon iparku ini memang menggemaskan. Benar kata Mas Figo.
"Pernah, enggak, Fi?" Mbak Vita mengulang pertanyannya lagi.