Jujur saja, aku pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan seseorang. Tidak begitu serius tentunya. Atau bisa dibilang hanya sekadar 'cinta monyet'. Wajar, sebab aku masih di usia belia. Aku sudah penat dengan berbagai mata pelajaran. Jadi tidak ada salahnya aku menyenangkan diri sendiri dengan mendengar berbagai kata manis dari para laki-laki itu. Tidak banyak yang pernah berpacaran denganku. Seingatku hanya lima orang sejak aku duduk di kelas delapan. Sepanjang perjalanan asmaraku, tidak ada yang begitu istimewa. Anehnya, aku sering mendengar curhat teman-temanku tentang masalah dengan kekasih mereka. Aku hanya bingung, apa hanya aku yang tidak pernah memiliki masalah selama berpacaran? Atau hanya aku yang terlalu cuek?
Intinya, aku tidak pernah menjalani hubungan yang rumit. Namun, malam ini aku malah mendapati kerumitan dalam sebuah hubungan yang dimiliki mas-ku. Bukan hanya sekadar menyaksikan saja, tetapi aku kerap terlibat di dalamnya. Di beberapa waktu aku tergelitik sendiri. Aku, gadis remaja enambelas tahun, yang tidak pernah memiliki badai dalam hubungan asmaraku, tetapi kini malah aku ikut terseret dalam badai di hubungan Mas Figo dan Mbak Vitara. Sebenarnya tidak ada keributan di antara keduanya. Akan tetapi bagiku, yang bisa menghancurkan segalanya justru badai yang datangnya dari luar.
Pertemuanku dengan Mbak Vita kemarin memakan waktu yang cukup lama. Aku bahkan harus sedikit berbohong pada ibu dengan mengatakan ada bimbingan belajar menjelang ujian di sekolah. Setelah pembicaraan awal yang tidak begitu serius, Mbak Vita mulai menceritakan segala tentang hidupnya. Bahkan, ada satu hal yang Mbak Vita belum pernah mengatakannya pada Mas Figo, tetapi justru aku yang mendengarkan kali pertama tentang satu masalah terbesarnya.
Di awal, Mbak Vitara mengatakan tidak memiliki hubungan harmonis dengan papanya. Ya, aku pikir itu hal biasa. Toh, terkadang aku juga suka beradu mulut dengan ayahku. Tidak dengan kedua mas-ku, hanya aku anak gadis satu-satunya yang pernah beberapa kali bersitegang dengan ayah. Bisa dibilang hanya aku yang berani menentang keputusan ayah jika dirasa aku benar-benar tidak menyukainya. Namun, ketidakharmonisan yang dimaksud Mbak Vitara sangat berbeda dari yang aku tahu.
Sudah hampir sepuluh tahun Mbak Vitara tidak pernah bertatap muka dengan papanya. Sebut saja pria itu memiliki nama 'Doni'. Selama ini Mbak Vita dan Om Doni hanya saling bertelepon. Itupun tidak terlalu sering. Hanya ketika Om Doni sedang membutuhkan beberapa nominal kertas mematikan, aku menyebutnya. Bahkan, Mbak Vita sendiri tidak segan-segan menyebut dirinya sebagai mesin uang milik papanya. Papa kandungnya. Sontak aku meringis begitu ngeri mendengar istilah tersebut. Salah satu hal terburuk yang pernah aku temui. Sangat bertolakbelakang dengan apa yang aku terima dalam hidupku yang selalu mendapat nafkah penuh dari ayah.