Kedatangan Mbak Vitara sejak dua jam lalu benar-benar tidak aku sadari. Aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di antara empat orang di ruang keluarga itu. Aku juga tidak mengerti suasana seperti apa yang saat ini sedang berlangsung. Kehadiranku di sudut paling pinggir ruangan tidak membuatku langsung bisa membaca alasan apa yang membuat Mbak Vita menangis hingga terisak. Hanya dua perkiraanku saat ini. Antara masalah sudah terselesaikan atau malah badai besar yang semakin menguat. Rasanya belum tepat jika aku melontarkan pertanyaan pada Mas Figo atau Mbak Vita. Aku hanya bisa menyimak.
"Sekarang Vitara tenang saja dulu. Nanti biar kita cari solusinya bersama," ucap ayahku. Satu kalimat yang pada akhirnya membuatku bisa memahami maksud dari pipi Mbak Vita yang basah.
"Kamu sudah makan, Nak?" tanya ibuku ke Mbak Vita dengan pelan. Sambil menyentuh sisi bahu Mbak Vita begitu lembut. Dari tatap mata ibu pun sangat jelas kalau Mbak Vita adalah perempuan yang tepat untuk anak laki-laki sulungnya.
"Belum, Tante. Tadi Vita langsung ke sini habis dari tempat kerja."
"Kamu gimana sih, Go. Jam segini kok, Vita belum makan malam. Bukannya tadi diajak makan di luar dulu." Ayahku memarahi Mas Figo.
Bukannya merasa bersalah, aku melirik Mas Figo yang malah mengulum senyumnya. Seolah teguran dari ayah adalah hal yang menyenangkan untuknya. Aku sangat mengerti perasaan Mas Figo. Karena dengan begitu ayah sudah menentukan keputusannya. Ayah sudah menerima Mbak Vitara dalam keluarga kami.
"Nak Vita suka sama soto ayam? Biar ibu buatkan, ya?"
"Vitara suka apa aja kok, Bu," cetus Mas Figo mendahului Mbak Vita.
"Yang ditanya siapa, yang jawab siapa. Semangat banget, sih." Rasanya tidak sempurna kalau aku tidak meledek mas-ku ini.
Sudut bibir Mbak Vita terangkat sedikit. Tangisnya seketika berganti dengan suasana hangat yang mulai keluarga kami ciptakan. "Vitara suka soto kok, Tante. Tapi nanti malah jadi ngerepotin Tante."
"Ndak. Ndak sama sekali. Bahannya sudah ada. Kuahnya juga sudah dibikin tadi pagi. Tinggal dihangatin. Sebentar, ya." Ibu tampak semringah. Dia buru-buru beranjak ke dapur.
"Enggak apa-apa, Vit. Kamu kan, udah sering nyobain soto buatanku. Sekarang kamu cobain juga soto buatan pawangnya," kata Mas Figo.
Lagi-lagi terlihat jelas rona bahagia yang terpancar dari wajah bulat milik Mbak Vita. Aku yang memperhatikannya sejak tadi ikut pula merasakan kesenangan itu.
"Ya sudah, kalian mengobrol saja dulu di sini. Ayah mau bantu ibu dulu di dapur."
"Biar Vita yang bantu tante, Om." Mbak Vita beranjak dari sofa.
"Oh, ndak usah. Ayah sudah biasa bantu ibu. Kamu kan, tamu. Jadi kamu tunggu saja di sini." Ayah melenggang pergi, sementara Mbak Vita kembali ke tempatnya.
"Keluarga kalian seru, ya," ucap Mbak Vita.
"Itu baru sebagian kecilnya aja, Mbak. Nanti kalo Mbak Vita udah resmi jadi mbak iparku, pasti ada aja hal seru yang Mbak temuin di keluarga ini," ungkapku.
"Aamiin. Semoga aja semuanya dipermudah." Mas Figo ikut-ikutan sambil mengambil salah satu telapak tangan Mbak Vita dan digenggamnya erat. Mereka sama sekali tidak sungkan walaupun sejak tadi mataku tidak pernah berpaling dari keduanya.
"Oiya, Frodi kemana? Kok, enggak keliatan?" tanya Mbak Vita.